MENGACU pada pengertian sebelumnya, bahwa
kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang
berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran,
metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud
dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas).
Sesuai dengan sistem kurikulum nasional
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat,
antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk
memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi
ruhani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga
menghasilkan prestasi ruhani (iman) yang disebut taqwa. Amal shaleh itu
menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan
manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas
sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap
alam sekitar (Muhaimin, 2001: 75). Kualitas amal saleh ini akan menentukan
derajat ketaqwaan (prestasi ruhani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata "PAI" atau Islam adalah nama
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran
tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber
pada al-qur'an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya
mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum
teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi
titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia.
Tujuan Kurikulum PAI
Tujuan adalah sesuatu yang penting untuk
dicapai oleh setiap manusia. Menurut Muhammad Munir, seperti yang dikutip
Abdul Majid dan Dian Andayani (2004:74), menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
agama Islam yaitu:
1. Tercapainya manusia seutuhnya, karena
Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya. "Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku,
dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu (QS. 5:3). Di antara tanda
predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk
mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa:
"sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia".
2. Tercapainya kebahagiaan dunia akhirat,
merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah "Di antara mereka ada
yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka". Untuk
mencapai tujuan ini sangat dibutuhkan tidak saja ilmu agama yang sebatas
ritual (spritual) semata-mata, melainkan juga perlu ilmu umum yang berkaitan
dengan kehidupan dunia.
3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi,
dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti pesan dalam
sebuah ayat Allah : "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
mengabdi ke pada-Ku". Tujuan pendidikan Islam diproyeksikan agar hidup
manusia menjadi dekat dengan sang khaliq, karena itu ia harus mengabdi setiap
saat kapan di manapun.
Metode Kurikulum PAI
Untuk mendesain kurikulum pendidikan Agama
Islam yang menarik dan bermanfaat, dibutuhkan metode yang relevan dengan isi
dan konteks sosial. Isi dan konteks sosial itu terjadi dalam proses belajar
mengajar di kelas atau di manapun berada. Untuk mengemas pembelajaran itu
maka perlu metode yang efektif. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern
Gontor pernah menyatakan bahwa: "Al-thariqatu ahammu min al- maddah,
walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min
al-mudarris nafsihi" (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan
tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru
itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa metode yang diperankan guru akan
sangat menentukan keberhasilan proses dari interaksi belajar-mengajar.
Metode adalah cara yang digunakan tenaga
pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode
merupakan alat untuk menciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari
sebuah materi tertentu. Dalam hal ini, guru berperan sebagai penggerak,
fasilitator, pembimbing dan seterusnya. Sementara siswa, dapat berperan aktif
dalam kegiatan tersebut.
Ahmad Tafsir memandang bahwa metode
pendidikan Islam yang saat ini digunakan oleh para pendidik itu merupakan
hasil dari metode yang dikembangkan orang Barat. Karena saat ini kita dengan
mudah mengakses sumber referensi itu dan dapat digunakan untuk memperbaiki
cara dan strategi pembelajaran kita. Metode yang kita terapkan itu misalnya,
metode ceramah, brainstorming, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, bermain,
resitasi dan lain-lain. Untuk mengadaptasikan metode itu, maka membutuhkan
cara yang tepat dari para guru agar compatible dengan visi-misi materi,
tujuan materi dan karakteristik materi (Tafsir, 1994: 131).
Hal yang sama ditunjukkan pula oleh
Muhaimin, dkk., bahwa metode yang digunakan untuk implementasi kurikulum
pendidikan agama Islam tak jauh berbeda dengan metode yang digunakan
pendidikan umum. Memang, hampir tak jauh beda antara keduanya, bahwa proses
pendidikan apa pun namanya, kerangka atau aspek domainya yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.
Hanya saja, pendidikan PAI harus
berorientasi pada "penyadaran" dalam ketiga aspek di atas. Ketiga
aspek tersebut, dalam pembelajaran pendidikan PAI, tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Atas dasar inilah, menurut A. Malik Fadjar, bahwa pendidikan
agama Islam adalah proses pendidikan yang mampu menggugah kesadaran peserta
didik untuk menjadi pribadi muslim sejati (Fadjar, 1998:157).
Metode yang perlu digunakan, menurut A.
Malik Fadjar (1998:159-160), haruslah memiliki dua landasan. Pertama,
landasan motivasional. Yaitu pemupukan sifat individu peserta didik untuk
menerima ajaran agamanya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap
pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, landasan moral. Yaitu tertanamnya
nilai keagamaan dan kayakinan peserta didik sehingga perbuatannya selalu
mengacu pada isi, jiwa dan semangat akhlak karimah. Selain itu, agar
tersusunnya tata nilai (value system) dalam peserta didik yang bersumber pada
ajaran yang otentik, sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap
tantangan dan perubahan zaman.
Materi Kurikulum PAI
Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam
itu adalah ajaran pokok Islam yang meliputi masalah aqidah (keimanan),
syari'ah (keislaman), dan akhlak (ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian
dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan Ihsan. Dari ketiganya lahirlah
ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak. Namun menurut hemat penulis, kontens
pendidikan agama Islam semacam itu belum sepenuhnya mampu menjadikan peserta
didik memiliki keunggulan yang utuh dan integratif dalam dirinya. Sebab Islam
perlu dijabarkan lebih luas, seluas jagat raya ini. Kurikulum pendidikan
agama Islam seharusnya bersentuhan dengan segala aspek kehidupan manusia yang
bersumber pada al-qur'an dan hadits serta penalaran logis dan hasil observasi
yang kaya dengan pengetahuan dan pengalaman hidup dan kehidupan.
Ketiga kelompok di atas (iman, islam dan
ihsan) yang diterjemahkan ke dalam cabang ilmu seperti aqidah, fiqih,
tasawuf, tarikh dan seterusnya itu baru pada tataran ilahiyah yang cenderung
melahirkan perbedaan dan konflik. Yang belum mampu menjawab dan merespon
secara cepat terhadap perubahan dan perkembangan zaman saat ini. Ajaran Islam
harus merujuk pada ajaran al-Qur'an dan hadits yang memiliki jangkauan visi
nilai-nilai kehidupan manusia yang lebih luas dan tak pernah terbatas oleh
ruang dan waktu.
Manurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip
Ahmad Tafsir, mengemukakan bahwa merumuskan kurikulum atau materi pendidikan
Islam harus mempertimbangkan 5 (lima) prinsip. Pertama, mata pelajaran
ditujukan untuk mendidik ruhani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan
dengan kesadaran ketuhanan yang mampu diterjemahkan dalam setiap gerak dan
langkah manusia. Manusia adalah makhluk yang senantiasa melibatkan sandaran
kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah Swt.
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi
tentang tuntunan cara hidup. Pelajaran ini tidak saja ilmu fiqh dan akhlak
tetapi ilmu yang menuntun manusia untuk meraih kehidupan yang unggul dalam
segala dimensinya. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya
mengandung ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia
terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui. Ilmu yang dibutuhkan untuk
mencari karunia Allah melalui cara-cara yang mulia dan penuh perhitungan.
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus
bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan
suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas. Kelima,
mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya.
Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu lainnya.
Evaluasi Kurikulum PAI
Untuk menentukan hasil atau proses dari
sebuah kegiatan dan aktifitas memerlukan apa yang disebut dengan evaluasi.
Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan
apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan
sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa. Menurut Stufflebeam, seperti
yang dikutip Suke Silverius (1991:4), menyatakan bahwa evaluasi merupakan
proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk
menilai alternatif keputusan.
Menurut Wayan Nurkancana & Sumartana,
evaluasi ialah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala
sesuatu dalam aktifitas pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa,
serta aspek pendukung lainnya (Nurkancana, 1986:1). Evaluasi digunakan untuk
mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi
berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan
Sumartana, bahwa evaluasi berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui taraf kesiapan peserta
didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik
sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
b. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang
telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil
yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum,
maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan
tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya.
c. Untuk mengetahui apakah suatu mata
pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus
mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal
evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup
menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta
didik secara keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi
yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran.
d. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi
dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang
cocok untuk peserta didik tersebut.
e. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi
guna menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak.
Apabila berdasarkan hasil evaluasi dari sejumlah bahan pelajaran yang
diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa
dinaikkan ke jenjang berikutnya.
f. Untuk membandingkan apakah prestasi yang
dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
g. Untuk menafsirkan apakah peserta didik
telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke
lembaga pendidikan yang lebih tinggi (Nurkancana, 1986: 3-6).
Hasil evaluasi mempunyai makna bagi berbagai
pihak. Evaluasi bermakna bagi semua komponen proses pengajaran terutama
siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Dari hasil
evaluasi ini sangat menentukan langkah serta kebijakan yang akan direncanakan
berikutnya.
Eavaluasi kurikulum pendidikan agama Islam
tidak hanya diukur dengan alat atau instrumen test tulis, melainkan dapat
dilihat dari segi performance akhlak dan tindakannya. Sebenarnya pendidikan
agama Islam justru mudah dilihat dari domain afektif dan psikomotornya
ketimbang kognitifnya, walaupun kognitif juga penting.
Karakteristik Kurikulum PAI
Tiap jenis kurikulum mempunyai ciri atau
karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman
al-Nahlawi, seperti yang dikutip Majid (2004: 78-80), menjelaskan bahwa
kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi
yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan jiwa
manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia
sebagaimana diisyaratkan hadits Qudsi sebagai berikut: "hamba-hamba ku
diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu syetan menyesatkan
mereka."
b. Tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan
ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum pendidikan Islam yang
disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, baik dalam aspek intelektual,
pengalaman, fisikal, maupun sosial. Ibadah tidak hanya sekadar diartikan
shalat atau dzikir akan tetapi pekerjaan dan perbuatan pun merupakan ibadah.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan
baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta
tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
d. Memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat
yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang
ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan
spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
e. Tidak bertentangan dengan konsep dan
ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini
belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif
yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan
manusia.
f. Rancangan kurikulum harus realistis
sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai
dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin
masyarakat.
g. Harus memilih metode dan pendekatan yang
relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan
pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
h. Kurikulum pendidikan Islam harus efektif,
dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan
usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum
yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai oleh peserta
didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa
yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum
tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang
segi-segi perilaku yang bersifat aktifitas langsung seperti berjihad, dakwah
Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang islami, etis dan anggun.
Sedangkan menurut Syaibani, seperti yang
dikutip Muhaimin dan Abd Mujib (1993: 187-197), menempatkan empat dasar pokok
dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar
psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004.
Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi
Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimain, dkk., 2001. Paradigma Pendidikan
Islam; Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung:
Rosdakarya.
Muhaimin dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran
Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya,
Bandung: Trigenda Karya.
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986.
Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Fadjar, A. Malik, 1998. Visi Pembaruan
Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembagan Pendidikan dan Penyusunan
Naskah Indonesia (LP3NI).
|