A. Biografi
Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal dilahirkan pada tanggal 3 Dzulqaidah 1294 H/ 9 November 1877 M di
Sialkot, salah satu kota tertua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan
Kashmir. Ia berasal dari
keluarga miskin, akan tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperolehnya ia mendapat
pendidikan yang lebih bagus. Nenek moyangnya berasal dari keturunan golongan
Brahmana yang berasal dari Kashmir yang telah menganut agama Islam kira-kira
tiga abad sebelum Iqbal lahir. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang
salih. Sejak menginjak usia anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya.
Pendidikan agamanya selain dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji
kepada Miss Hassan. Di rumah sang guru ini, ia selain belajar mengaji agama
juga belajar menggubah sajak.
Pendidikan
Iqbal bermula di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolah inilah ia mendapat bimbingan secara intensif
dari Mir Hassan, seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan
menguasai bahasa Arab. Setelah lulus dari sekolah ini, Iqbal melanjutkan
studinya lagi ke Lahore di government college yang diasuh oleh Sir Thomas
Arnold. Pada tahun 1899 ia mendapat gelar MA dengan konsentrasi di bidang
tasawuf, yang kemudian ia diangkat langsung menjadi dosen bahasa Arab di
Oriental College, Lahore. Selepas dari Goverment College, ia
atas saran Thomas Arnold meneruskan lagi ke Universitas Cambridge, London.
Bidang yang ia tekuni yaitu filsafat moral. Ia mendapat bimbingan dari Jamest
Ward dan seorang Neo Hegellian yaitu JE. Mac Taggart.
Ketika di Eropa Ia juga belajar di Universitas Munich,
Jerman. Ia
mendapat gelar Doktor dengan desertasof Methaphysies In Persia pada tanggal 4 November 1907 di bawah
bimbingan F. Homen. Selepas studinya di Eropa, ia kembali lagi kuliah di School
of Political Sciences. Setelah
mendapat gelar Doktor ia kembali lagi ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara
di High Cort, Punjab Lahore. Namun, kemudian dilepaskannya karena ia aktif di
dalam praktek hukum.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog dengan
sejumlah filosof besar sezamannya. Dan selama di Eropa, ia dapat menyaring
secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak hanyut ke dalam
pusaran peradaban Barat. Berbekal dari sejumlah keahlian, ia memulai karirnya
sebagai dosen dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam masalah politik.
Selebihnya, ia sering memberikan ceramah ke seluruh bagian negara India dan
bahkan ke negara-negara Islam. Tentu saja di sini disertai pembacaan sajak yang
sempat menggugah dan membangkitkan semangat tinggi atas cita-cita ajaran Islam.
Selain itu ia juga sangat produktif dalam hal menulis terutama yang berbentuk
lirik puisi.
Dari ilustrasi singkat di atas, dapat kita fahami bahwa
Iqbal merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki cakrawala pemikiran
dan intelegensia yang luar biasa. Ia selain dikenal sebagai seorang filosof,
politikus, dan spiritual, ternyata juga dikenal sebagai seorang penyair. Dan
bakat yang terakhir inilah, yaitu sebagai seorang penyair, merupakan suatu
bakat alam yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir Muslim yang lainnya. Ia
meninggal dunia pada tahun 1938 tepatnya berumur 62 tahun.
B. Karya dan
pemikiran Muhammad Iqbal
Agak
sulit memetakan Iqbal sebagai seorang filosuf murni dibanding dengan filosuf
lainnya. Hal ini disebabkan ia lebih fokus pada sastra dan politik dibanding
kajian filsafat. Tak heran, kalau
Iqbal dikenal sebagai penyair politisi dalam kasus kemerdekaan bangsa India
dari Inggris. Meskipun demikian, secara khusus Iqbal menulis
kajian filsafat dalam bukunya dengan tema “The Philosophical Test of the
Revelations of Religious Experience”. Dalam topic ini, tampak teori Iqbal tentang filsafat dalam bentuk teori
dinamika. Pemikiran Iqbal ini didasari dari berbagai teori ilmu alam yang telah
disampaikan oleh para tokoh dunia sebelumnya, seperti Einstein, Newton, dan
sebagainya. Sehingga Iqbal berkesimpulan bahwa dunia (pemikiran) ini adalah
dinamis.
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pentingnya arti dinamika
dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan, kekuatan dan
kegairahan. Teori dinamika Iqbal ini diawali dengan kesadaran sendiri bahwa
kita ini harus bangkit dari keterpurukan. Konsep sendiri inilah yang menjadi
dasar teori dinamika Iqbal.[2]
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa,
puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain.
Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, menurut Nicholson, agar
bisa di akses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab saat itu,
bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat
terpelajar. Karya-karyanya antara lain.[3]
Ø The
Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908)
Ø Asra-I
Khudi (Lahore, 1916)
Ø Rumuz
I-Bukhudi (Lahore, 1918)
Ø Javid
Nama (Lahore, 1932)
Ø The
Reconstruction of Religius Thought in Islam (London, 1934)
Ø Musafir
(Lahore, 1936)
Ø Zarb-I
Kalim (Lahore, 1937)
C. Faham dinamisme
pemikiran Muhammad Iqbal
Sebagaimana
para pemikir Muslim lainnya, M. Iqbal merupakan salah seorang pemikir Muslim
yang agresif yang secara tegas mengkritik keras-keras munculnya stagnasi
pemikiran Islam di kalangan umat Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya
sikap umat Islam yang taqlid secara totalistik akibat adanya asumsi ditutupnya
pintu ijtihad. Ijtihad yang seharusnya dijadikan sebagai paradigma berpikir di
dalam mengembangkan cakrawala pemikiran, justru difahami sebagai suatu hal yang
terlalu berani dan bebas dalam menggunakan rasionalitas akal manusia.
Menanggapi masalah ini, menurut M. Iqbal paling tidak ada
tiga hal yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan
dibanding dengan Barat. Pertama, adanya mistisme asketik yang terlalu
berlebihan. Menurutnya, mistisisme asketik sangat memperhatikan kepada Tuhan
dan hal-hal metafisis lainnya. Hal ini telah membawa umat Islam kurang
mementingkan persoalan keduniawian (profanitas) dan kemasyarakatan dalam Islam.
Kedua, hilangnya semangat induktif. Menurutnya, semangat Islam pada dasarnya
menekankan pada aspek kehidupan yang konkrit yang senantiasa berubah dan
berkembang. Oleh sebab itu selama umat Islam setia terhadap semangat mereka
sendiri dan menempuh cara-cara induktif dan empirik dalam penelitian
sebagaimana pada masa kejayaan Islam, mereka terus maju dalam melakukan
penemuan demi penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya otoritas
perundang-undangan secara totalitas yang melumpuhkan perkembangan pribadi dan
menyebabkan hukum Islam praktis tidak bisa bergerak sama sekali. Menurutnya,
meskipun semua orang Sunni menerima ijtihad sebagai alat perubahan dan kemajuan,
namun dalam prakteknya prinsip tersebut dipagari dengan banyaknya persyaratan
yang terlalu berat. Sehingga sedikit sekali mereka yang dapat melakukannya.
Dengan demikian, maka kekuatan ijtihad yang semula dimaksudkan untuk
meliberalisasikan Islam tidak bisa bekerja, dan keluwesan Islam menjadi
kekakuan.
Untuk mengatasi kondisi semacam ini, maka umat Islam
harus mempunyai suatu filsafat hidup yang dapat membangkitkan mereka dari
tidurnya dan membuka mata mereka bagi suatu pandangan yang lebih cerah dan lebih
progresif. Dengan menganjurkan untuk mengambil sikap dinamis masyarakat Barat,
Iqbal mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang menekankan
pada perbuatan, bukannya pada gagasan. Statement inilah yang merupakan tema
pertama dari karyanya yang berjudul “The Reconstruction of Relegious Thought in
Islam” dan bahkan merupakan tema pokok dalam pemikiran M. Iqbal.
Masih menurut M. Iqbal, Islam pada hakekatnya
menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di
dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta,
sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak
peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa
yang akan datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa
berkembang. Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis,
dan mempertahankan konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan
dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah
ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
Paham dinamisme yang dilontarkan Iqbal tertuang dalam
syair-syairnya yang selalu mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak
tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta.
Maka Iqbal menyerukan kepada umat Islam agar membangun dan mencipta dunia baru.
Untuk mengembalikan semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam tersebut,
Iqbal mengkritik hasil filsafat Plato dan Neo-Platonisme yang dianut dan
berkembang di masyarakat Islam menjadi aliran tasawuf. Iqbal mengkritik faham
Panteisme yang mempercayai adanya wahdah al-wujud. Faham ini menurutnya
mendorong manusia menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan
kesulitan-kesulitan hidup. Karena hidup ini dianggap suatu khayalan sehingga
tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan umat
Islam.
Dalam rangka mengatasi kejumudan di atas, Iqbal
menawarkan sebuah diagnosis dengan menyatakan bahwa intelektualisme harus
dibenarkan sesuai dengan semangat al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah alam, sejarah dan diri. Di dalam diri terdapat tiga sumber
lagi yaitu serapan inderawi, rasio, dan intuisi. Ketiga sumber terakhir ini
sekaligus sebagai penimba dan pengolahan bahan baku pengetahuan agar seseorang
menjadi tahu.
Sebagai seorang pemikir dan sufi, Iqbal mempunyai konsep
manusia ideal yang menjadi puncak tujuan dari tasawufnya. Dengan menempuh jalan
yang tidak biasa dikenal oleh sufi-sufi lainnya. Iqbal menyatakan bahwa puncak
yang dituju oleh tasawufnya adalah insan al-kamil atau mardi’i khuda yaitu
insan sebagai teman kerja Tuhan di muka bumi ini. Secara dialektis manusia
mampu menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum selesai. Tuhanlah yang menciptakan
bahan bakunya, sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang
konsumtif.
Menurutnya, insan al-kamil adalah manusia yang telah
mampu mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Kendatipun
demikian, kesadaran dirinya tidak luluh ke dalam kesadaran Tuhan, melainkan
tetap mempunyai kesadaran yang utuh. Oleh karenanya ia mampu menjelaskan
indikasi-indikasi kemampuannya secara analogis rasional. Dengan demikian corak
tasawuf Iqbal adalah rasional transendental. Dan inilah yang membedakan dengan
faham kaum panteisme yang menyatakan bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia
adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan yang mutlak. Dengan
demikian akan menghapuskan kesatuan individualitasnya.
Dalam mengcounter paham panteisme di atas, Iqbal
mengemukakan suatu pemikiran yang sering disebut dengan filsafat ego.
Menurutnya, ego merupakan suatu realitas yang terang benderang. Secara langsung
kita dapat melihat bahwa ego itu nyata dan berwujud. Ego dinilainya sebagai
poros dari segala aktivitas dan perbuatan kita. Ego merupakan intisari wujud
kepribadian kita yang hanya dapat dirasakan oleh naluri manusia. Pada
hakekatnya ia sebagai suatu yang dapat memberikan tuntunan, bebas dan abadi.
Ego berkembang menjadi suatu wujud pribadi yang kuat dan penuh dengan tujuan
oleh cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang menggambarkan suasana lingkungan.
Oleh karenanya, ego pun bergantung pada suatu hubungan yang diciptakannya
dengan benda nyata, masyarakat, dan kenyataan-kenyataan.
Dalam masalah politik dan kenengaraan, banyak juga
gagasan-gagasan yang disumbangkan Iqbal. Pemikiran Iqbal mengenai negara
misalnya, ia mengisyaratkan bahwa negara Islam merupakan suatu masyarakat yang
keanggotaannya berdasarkan keyakinan agama (the relegious faith) yang sama, dan
bertujuan untuk merealisasikan suatu kebebasan (freedom), persamaan (egality),
dan persaudaraan (brotherhood). Dengan konsep seperti ini, ia menolak gagasan
nasionalisme wilayah yang dianggapnya bertentangan dengan persaudaraan secara
universal sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Dalama kesempatan lain, ia juga menolak setiap pemahaman
apa saja yang berkaitan dengan bangsa dan negara sebagai dasar masyarakat
Islam. Nasionalisme menurut Iqbal, merupakan suatu alat yang bisa digunakan
untuk memecah belah dunia muslim yang akan berakibat pada adanya pemisahan
sesama manusia, terjadinya perpecahan antar bangsa-bangsa dan adanya pemisahan
agama dari politik. Maka dari itu ia dalam bukunya “Political Thought in
Islam”, menegaskan bahwa cita-cita politik Islam adalah terbentuknya suatu
bangsa yang lahir dari suatu internalisasi semua ras dan kebangsaan. Terpadunya
ikatan batin masyarakat ini, muncul tidak dari kesatuan geografis dan etnis.
Akan tetapi dari kesatuan cita-cita politik dan agamanya. Keanggotaan atau
kewarganegaraannya didasarkan atas suatu pernyataan kesatuan pendapat yang
hanya berakhir apabila kondisi ini tidak berlaku lagi.
Secara geografis, pemerintahan Islam adalah
trans-nasional yang meliputi seluruh dunia. Kendatipun demikian, setiap negara
tidak perlu khawatir akan kehilangan kedaulatan negaranya masing-masing. Karena
struktur negara Islam akan ditetapkan tidak dengan kekuatan fisik, akan tetapi
dengan daya kekuatan spiritual dari suatu cita-cita bersama. Meskipun Iqbal
telah mengabdikan sebagian besar pemikiran dan tulisannya untuk memahami
tentang teori politik masyarakat Islam dan mengungkapkan semangat pan-Islam,
namun ia menyadari bahwa zamannya masih mengharuskan untuk beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang ada.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut M. Iqbal, Islam pada hakekatnya menganjurkan
dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam
menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana
adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan
tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan
datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang.
Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan
konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan
sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad
mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Supriyadi,
Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya), Bandung: CV. Pustaka Setia
Soleh,
Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakrata: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran