Translate

Kamis, 11 Oktober 2012

FAHAM DINAMISME ISLAM MENURUT PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL


A.    Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 3 Dzulqaidah 1294 H/ 9 November 1877 M di Sialkot, salah satu kota tertua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia berasal dari keluarga miskin, akan tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperolehnya ia mendapat pendidikan yang lebih bagus. Nenek moyangnya berasal dari keturunan golongan Brahmana yang berasal dari Kashmir yang telah menganut agama Islam kira-kira tiga abad sebelum Iqbal lahir. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang salih. Sejak menginjak usia anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya. Pendidikan agamanya selain dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji kepada Miss Hassan. Di rumah sang guru ini, ia selain belajar mengaji agama juga belajar menggubah sajak.
Pendidikan Iqbal bermula di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolah inilah ia mendapat bimbingan secara intensif dari Mir Hassan, seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan menguasai bahasa Arab. Setelah lulus dari sekolah ini, Iqbal melanjutkan studinya lagi ke Lahore di government college yang diasuh oleh Sir Thomas Arnold. Pada tahun 1899 ia mendapat gelar MA dengan konsentrasi di bidang tasawuf, yang kemudian ia diangkat langsung menjadi dosen bahasa Arab di Oriental College, Lahore. Selepas dari Goverment College, ia atas saran Thomas Arnold meneruskan lagi ke Universitas Cambridge, London. Bidang yang ia tekuni yaitu filsafat moral. Ia mendapat bimbingan dari Jamest Ward dan seorang Neo Hegellian yaitu JE. Mac Taggart.
Ketika di Eropa Ia juga belajar di Universitas Munich, Jerman. Ia mendapat gelar Doktor dengan desertasof Methaphysies In Persia  pada tanggal 4 November 1907 di bawah bimbingan F. Homen. Selepas studinya di Eropa, ia kembali lagi kuliah di School of Political Sciences. Setelah mendapat gelar Doktor ia kembali lagi ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara di High Cort, Punjab Lahore. Namun, kemudian dilepaskannya karena ia aktif di dalam praktek hukum.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah filosof besar sezamannya. Dan selama di Eropa, ia dapat menyaring secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak hanyut ke dalam pusaran peradaban Barat. Berbekal dari sejumlah keahlian, ia memulai karirnya sebagai dosen dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam masalah politik. Selebihnya, ia sering memberikan ceramah ke seluruh bagian negara India dan bahkan ke negara-negara Islam. Tentu saja di sini disertai pembacaan sajak yang sempat menggugah dan membangkitkan semangat tinggi atas cita-cita ajaran Islam. Selain itu ia juga sangat produktif dalam hal menulis terutama yang berbentuk lirik puisi.
Dari ilustrasi singkat di atas, dapat kita fahami bahwa Iqbal merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki cakrawala pemikiran dan intelegensia yang luar biasa. Ia selain dikenal sebagai seorang filosof, politikus, dan spiritual, ternyata juga dikenal sebagai seorang penyair. Dan bakat yang terakhir inilah, yaitu sebagai seorang penyair, merupakan suatu bakat alam yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir Muslim yang lainnya. Ia meninggal dunia pada tahun 1938 tepatnya berumur 62 tahun.

B.     Karya dan pemikiran Muhammad Iqbal
Agak sulit memetakan Iqbal sebagai seorang filosuf murni dibanding dengan filosuf lainnya. Hal ini disebabkan ia lebih fokus pada sastra dan politik dibanding kajian filsafat. Tak heran, kalau Iqbal dikenal sebagai penyair politisi dalam kasus kemerdekaan bangsa India dari Inggris. Meskipun demikian, secara khusus Iqbal menulis kajian filsafat dalam bukunya dengan tema “The Philosophical Test of the Revelations of Religious Experience”. Dalam topic ini, tampak teori Iqbal tentang filsafat dalam bentuk teori dinamika. Pemikiran Iqbal ini didasari dari berbagai teori ilmu alam yang telah disampaikan oleh para tokoh dunia sebelumnya, seperti Einstein, Newton, dan sebagainya. Sehingga Iqbal berkesimpulan bahwa dunia (pemikiran) ini adalah dinamis.
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia adalah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan. Teori dinamika Iqbal ini diawali dengan kesadaran sendiri bahwa kita ini harus bangkit dari keterpurukan. Konsep sendiri inilah yang menjadi dasar teori dinamika Iqbal.[2]
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain. Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, menurut Nicholson, agar bisa di akses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat terpelajar. Karya-karyanya antara lain.[3]
Ø  The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908)
Ø  Asra-I Khudi (Lahore, 1916)
Ø  Rumuz I-Bukhudi (Lahore, 1918)
Ø  Javid Nama (Lahore, 1932)
Ø  The Reconstruction of Religius Thought in Islam (London, 1934)
Ø  Musafir (Lahore, 1936)
Ø  Zarb-I Kalim (Lahore, 1937)

C.    Faham dinamisme pemikiran Muhammad Iqbal
Sebagaimana para pemikir Muslim lainnya, M. Iqbal merupakan salah seorang pemikir Muslim yang agresif yang secara tegas mengkritik keras-keras munculnya stagnasi pemikiran Islam di kalangan umat Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya sikap umat Islam yang taqlid secara totalistik akibat adanya asumsi ditutupnya pintu ijtihad. Ijtihad yang seharusnya dijadikan sebagai paradigma berpikir di dalam mengembangkan cakrawala pemikiran, justru difahami sebagai suatu hal yang terlalu berani dan bebas dalam menggunakan rasionalitas akal manusia.
Menanggapi masalah ini, menurut M. Iqbal paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan dibanding dengan Barat. Pertama, adanya mistisme asketik yang terlalu berlebihan. Menurutnya, mistisisme asketik sangat memperhatikan kepada Tuhan dan hal-hal metafisis lainnya. Hal ini telah membawa umat Islam kurang mementingkan persoalan keduniawian (profanitas) dan kemasyarakatan dalam Islam. Kedua, hilangnya semangat induktif. Menurutnya, semangat Islam pada dasarnya menekankan pada aspek kehidupan yang konkrit yang senantiasa berubah dan berkembang. Oleh sebab itu selama umat Islam setia terhadap semangat mereka sendiri dan menempuh cara-cara induktif dan empirik dalam penelitian sebagaimana pada masa kejayaan Islam, mereka terus maju dalam melakukan penemuan demi penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya otoritas perundang-undangan secara totalitas yang melumpuhkan perkembangan pribadi dan menyebabkan hukum Islam praktis tidak bisa bergerak sama sekali. Menurutnya, meskipun semua orang Sunni menerima ijtihad sebagai alat perubahan dan kemajuan, namun dalam prakteknya prinsip tersebut dipagari dengan banyaknya persyaratan yang terlalu berat. Sehingga sedikit sekali mereka yang dapat melakukannya. Dengan demikian, maka kekuatan ijtihad yang semula dimaksudkan untuk meliberalisasikan Islam tidak bisa bekerja, dan keluwesan Islam menjadi kekakuan.
Untuk mengatasi kondisi semacam ini, maka umat Islam harus mempunyai suatu filsafat hidup yang dapat membangkitkan mereka dari tidurnya dan membuka mata mereka bagi suatu pandangan yang lebih cerah dan lebih progresif. Dengan menganjurkan untuk mengambil sikap dinamis masyarakat Barat, Iqbal mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang menekankan pada perbuatan, bukannya pada gagasan. Statement inilah yang merupakan tema pertama dari karyanya yang berjudul “The Reconstruction of Relegious Thought in Islam” dan bahkan merupakan tema pokok dalam pemikiran M. Iqbal.
Masih menurut M. Iqbal, Islam pada hakekatnya menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
Paham dinamisme yang dilontarkan Iqbal tertuang dalam syair-syairnya yang selalu mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. Maka Iqbal menyerukan kepada umat Islam agar membangun dan mencipta dunia baru. Untuk mengembalikan semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam tersebut, Iqbal mengkritik hasil filsafat Plato dan Neo-Platonisme yang dianut dan berkembang di masyarakat Islam menjadi aliran tasawuf. Iqbal mengkritik faham Panteisme yang mempercayai adanya wahdah al-wujud. Faham ini menurutnya mendorong manusia menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan hidup. Karena hidup ini dianggap suatu khayalan sehingga tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan umat Islam.
Dalam rangka mengatasi kejumudan di atas, Iqbal menawarkan sebuah diagnosis dengan menyatakan bahwa intelektualisme harus dibenarkan sesuai dengan semangat al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah alam, sejarah dan diri. Di dalam diri terdapat tiga sumber lagi yaitu serapan inderawi, rasio, dan intuisi. Ketiga sumber terakhir ini sekaligus sebagai penimba dan pengolahan bahan baku pengetahuan agar seseorang menjadi tahu.
Sebagai seorang pemikir dan sufi, Iqbal mempunyai konsep manusia ideal yang menjadi puncak tujuan dari tasawufnya. Dengan menempuh jalan yang tidak biasa dikenal oleh sufi-sufi lainnya. Iqbal menyatakan bahwa puncak yang dituju oleh tasawufnya adalah insan al-kamil atau mardi’i khuda yaitu insan sebagai teman kerja Tuhan di muka bumi ini. Secara dialektis manusia mampu menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum selesai. Tuhanlah yang menciptakan bahan bakunya, sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang konsumtif.
Menurutnya, insan al-kamil adalah manusia yang telah mampu mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Kendatipun demikian, kesadaran dirinya tidak luluh ke dalam kesadaran Tuhan, melainkan tetap mempunyai kesadaran yang utuh. Oleh karenanya ia mampu menjelaskan indikasi-indikasi kemampuannya secara analogis rasional. Dengan demikian corak tasawuf Iqbal adalah rasional transendental. Dan inilah yang membedakan dengan faham kaum panteisme yang menyatakan bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan yang mutlak. Dengan demikian akan menghapuskan kesatuan individualitasnya.
Dalam mengcounter paham panteisme di atas, Iqbal mengemukakan suatu pemikiran yang sering disebut dengan filsafat ego. Menurutnya, ego merupakan suatu realitas yang terang benderang. Secara langsung kita dapat melihat bahwa ego itu nyata dan berwujud. Ego dinilainya sebagai poros dari segala aktivitas dan perbuatan kita. Ego merupakan intisari wujud kepribadian kita yang hanya dapat dirasakan oleh naluri manusia. Pada hakekatnya ia sebagai suatu yang dapat memberikan tuntunan, bebas dan abadi. Ego berkembang menjadi suatu wujud pribadi yang kuat dan penuh dengan tujuan oleh cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang menggambarkan suasana lingkungan. Oleh karenanya, ego pun bergantung pada suatu hubungan yang diciptakannya dengan benda nyata, masyarakat, dan kenyataan-kenyataan.
Dalam masalah politik dan kenengaraan, banyak juga gagasan-gagasan yang disumbangkan Iqbal. Pemikiran Iqbal mengenai negara misalnya, ia mengisyaratkan bahwa negara Islam merupakan suatu masyarakat yang keanggotaannya berdasarkan keyakinan agama (the relegious faith) yang sama, dan bertujuan untuk merealisasikan suatu kebebasan (freedom), persamaan (egality), dan persaudaraan (brotherhood). Dengan konsep seperti ini, ia menolak gagasan nasionalisme wilayah yang dianggapnya bertentangan dengan persaudaraan secara universal sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Dalama kesempatan lain, ia juga menolak setiap pemahaman apa saja yang berkaitan dengan bangsa dan negara sebagai dasar masyarakat Islam. Nasionalisme menurut Iqbal, merupakan suatu alat yang bisa digunakan untuk memecah belah dunia muslim yang akan berakibat pada adanya pemisahan sesama manusia, terjadinya perpecahan antar bangsa-bangsa dan adanya pemisahan agama dari politik. Maka dari itu ia dalam bukunya “Political Thought in Islam”, menegaskan bahwa cita-cita politik Islam adalah terbentuknya suatu bangsa yang lahir dari suatu internalisasi semua ras dan kebangsaan. Terpadunya ikatan batin masyarakat ini, muncul tidak dari kesatuan geografis dan etnis. Akan tetapi dari kesatuan cita-cita politik dan agamanya. Keanggotaan atau kewarganegaraannya didasarkan atas suatu pernyataan kesatuan pendapat yang hanya berakhir apabila kondisi ini tidak berlaku lagi.
Secara geografis, pemerintahan Islam adalah trans-nasional yang meliputi seluruh dunia. Kendatipun demikian, setiap negara tidak perlu khawatir akan kehilangan kedaulatan negaranya masing-masing. Karena struktur negara Islam akan ditetapkan tidak dengan kekuatan fisik, akan tetapi dengan daya kekuatan spiritual dari suatu cita-cita bersama. Meskipun Iqbal telah mengabdikan sebagian besar pemikiran dan tulisannya untuk memahami tentang teori politik masyarakat Islam dan mengungkapkan semangat pan-Islam, namun ia menyadari bahwa zamannya masih mengharuskan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada.

BAB III
KESIMPULAN
Menurut M. Iqbal, Islam pada hakekatnya menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Httml. faham dinamisme islam/pemikiraan-muhammad-iqbal.com
Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya),             Bandung: CV. Pustaka Setia
Soleh, Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakrata: Pustaka Pelajar


[2] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal   264
[3] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004) hal. 231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menerima Kritik Dan Saran