A.
Analisis Kecenderungan Perilaku Agama di Sekolah/Kampus.
Dalam perubahan
perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang merupakan suatu kemungkinan baik
dalam artian positif dan kemungkinan buruk dalam artian negatif dalam segi
kualitas dan kuantitas maupun dalam segi perubahan struktur secara total.
Segikualitas yaitu perubahan nilai sosial keagamaan apakah meningkat atau menurun,
bermutu atau tidak bermutu.Segi kuantitas yaitu perubahan banyak sedikitnya
atau sebagian dan menyeluruh. Perubahan
tersebut merupakan gejala yang direfleksikan oleh kekuatan dari dalam dan luar.
Misalnya, kondisi iman,
psikis/pikir, kultur masyarakat maupun keadaan lingkungan.Manusia adalah
makhluk sosial dan makhluk yang beragama. Namun untuk menjadikan manusia memiliki perilaku sosial
keagamaan yang positif, maka potensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan
dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang mengenalkan
seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus dituruti
dan dilakonkan. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku
sosial keagamaan adalah;
1)
Faktor genetic, Adalah segala hal yang oleh seseorang
dibawa sejak lahirdan warisan dari kedua orang tuanya. Jadi,
dalam manusia sendiriada potensi atau kemauan untuk mengubah dirinya
2)
Faktor lingkungan,
Yang dimaksud adalah situasi dan kondisi yang dihadapioleh seseorang dalam
rumah dan dalam lingkungan yang lebihluas, terutama lingkungan masyarakat dekat
yang dilihat dandihadapinya sehari-hari.
3)
Faktor pendidikan, Faktor pendidikan adalah segala
usaha sistematis yangberlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan
pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain, baik formal maupun non
formal.
4)
Faktor tingkat usia Hubungan antara tingkat usia
dengan perilaku social keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja,
berbagaipenelitian psikologi menunjukkan adanya hubungan tersebut,meskipun
tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktorpenentu dalam perilaku sosial
keagamaan seseorang, yang jelaskenyataan ini dapat dilihat dari adanya
perbedaan perilaku sosialkeagamaan pada tingkat usia yang berbeda.
5)
Faktor pengalaman, Yang
dimaksud adalah keseluruhan pelajaran yang dipetikoleh seseorang dari
peristiwa-peristiwa yang dilalui dalamperjalanan hidupnya
Budaya agama berupa perilaku keagamaan yang mentradisi di
sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
melalui visi, misi dan program serta budaya sekolah. Bahwa membentuk output
yang memiliki karakter positif tidak cukup dengan pembelajaran yang unggul,
namun penciptaan budaya sekolah juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan.
Budaya sekolah merupakan factor penting dalam membentuk siswa menjadi manusia
yang penuh optimis, berani,terampil, berperilaku kooperatif, memilih kecakapan
personal akademik.
Biasanya sekolah–sekolah yang memiliki keunggulan atau
keberhasilan pendidikan tertentu hanya dilihat dari beberapa variable seperti
perolehan nilai dan kondisi fisik, sementara hal lain yang tampak justru lebih
berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup
nilai values, keyakinan beliefs, budaya, dan norma perilaku yang
disebut The Human side of organization (aspek manusia dalam organisasi)
kurag di perhatikan.
Pada hakekatnya sekolah bukanlah sekedar tempat transfer
of knowledge belaka, sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru
menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah
lembaga yang mengupayakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai
pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah. Dengan demikian
tidak bisa dilakukan semata–mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi
adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Pertama, menerapkan pendekatan modeling atau uswah
hasanah yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk
menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui
keteladanan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah
hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah" yang hidup living exemplary
bagi setiap peserta didik, mereka juga harus terbuka dan siap untuk
mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik.
Kedua, Menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta
didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah –langkah; memberi penghargaan prizing
dan menumbuhsuburkan cherising nilai-nilai yang baik dan sebaliknya
mengecam dan mencegah discouraging berlakunya nilai-nilai buruk;
menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu.
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternative
sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah
menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan
;membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik dan
tujuan-tujuan ideal ;membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola –pola yang
baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berbasis karakter character-based
education. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan kedalam setiap mata
pelajaran yang disamping mata pelajaran –mata pelajaran yang terkait khusus
untuk pendidikan karakter,sepeti mata pelajaran PAI ( aqidah akhlak,fiqih,qur,an
hadist) , Pkn,sejarah dan sebagainya.
Peran agama dalam kehidupan individu dan masyarakat yang terus berkembang,
dan juga sebaliknya bagaimana tuntutan akan perubahaan dalam kehidupan sosial
itu telah membentuk konstruksi pemikiran dan perilaku religius
masyarakat, menuntut arah baru dalam studi agama-agama, yaitu perlunya
pendekatan yang bersifat multidimensional. Oleh karena itu, sudah menjadi satu
keharusan jika arah baru studi agama dewasa ini cenderung tidak sekedar
memberi tekanan pada penggunaan pendekatan teologis semata, tetapi juga secara
komprehensif menggunakan pendekatan sebagaimana berkembang dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora, seperti pendekatan historis, psikologi, sosilogi,
antropologi, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Demikian halnya kecenderungan dalam kajian Islam dewasa
ini, juga tidak sekedar murni kajian keislaman, namun kajian itu mulai
diintegrasikan dengan bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial-humaniora
dan juga bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu pendekatan sosiologi,
sebagaimana juga pendekatan-pendekatan bidang keilmuan lainnya menjadi
kebutuhan yang mendesak dalam mengembangkan studi agama-agama (khususnya studi
Islam).
B.
Kegiatan Kerohanian Islam
Dalam beberapa
kesempatan kita telah mencatat bahwa sebagian besar sosiologi pendidikan
menggunakan lembaga-lembaga pendidikan, dengan demikian tidak memperhatikan
proses yang berlangsung di dalam sekolah dan collega itu sendiri. Yang sangat
penting, baik dalam apresiasi sekolah sebagai organisasi maupun dalam
mengevaluasi hakikat reproduksi sosial, adalah pemahaman bagaimana pengetahuan
didefinisikan, dialihkan dan dievaluasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan
tersebut. Di dalam sosiologi pendidikan tidak adanya pemahaman ini bertitik
tolak pada kealpaan kita memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan
oleh durkheim dan Weber satu abad yang lampau.
Durkheim (1977) di dalam kuliah-kuliahnya mengenai sejarah pendidikan
Prancis, selalu mempertautkan apa yang diajarkan disekolah dengan iklim politik
dan moral zaman yang bersangkutan. Tesis Durkheim mengatakan”Transformasi
pendidikan selalu merupakan hasi dan gejala dari transformasi sosial dan karena
itu pendidikan harus dijelaskan dari sisi ini” (1977, halaman 166).
Menurut Weber dan Durkheim, pengorganisasian ilmu pengetahuan di dalam
lembaga-lembaga pendidikan harus diselaraskan dengan perubahan-perubahan yang
berlangsung dalam struktur sosial. Mereka menyadari bahwa keputusan tentang
pengetahuan mana yang harus diajarkan di sekolah tidak mempunyai kesahihan yang
a priori melainkan mencerminkan pemecahan persial dari konflik di antaranya
pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia.
Seperti halnya kegiatan-kegiatan yang dapat mewujudkan suatu pencerahan demi
kemajuan generasi. Salah satunya adalah dengan adanya kegiatan kerohanian
islam. Kegiatan ini banyak dikembangkan di sekolah-sekolah. Kegiatan kerohanian
islam sering disebut dengan rohis, yang telah dibentuk menjadi sebuah
organisasi sekolah dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan kerohanian islam pada
suatu sekolah tersebut. Sehingga ada tindakan nyata yang diharapkan mampu
membangun dan mengembangkan religiousitas (rasa agama) pada anak.
Imlementasi PAI pada sekolah umum yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu
terasa sangatlah kurang dalam rangka mengembangkan kemampuan atau bakat siswa
dalam bidang keagamaan khususnya Islam. Kegiatan ekstra kurikuler bisa
melengkapi kekurangan jam pelajaran agama Islam yang hanya 2 jam tersebut,
malah kegiatan ini bisa menjadikan
media atau wadah siswa mengembangkan kemampuan maupun memperdalam ilmu
keislaman.
Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis
umumnya merupakan organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah), terutama di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian
Islam ini dibentuk untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya, seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius
bagi para siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena
melalui Rohis inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan.
Sebut saja, Malam
Bina Iman dan Taqwa (MABIT). Dalam kegiatan satu malam ini setiap siswa
mendapati suasana religius yang jarang didapatinya di rumah. Sepanjang malam
seluruh siswa berkesempatan untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Allah.
Bisa berupa sholat Isya berjamaah, sholat tahajjud, dan tadarus Al-Qur’an.
Kegiatan ini secara langsung dapat membantu pembiasaan memanfaatkan waktu malam
untuk ibadah.
Saat ini, kualitas kegiatan Rohis telah
berkembang dari peningkatan sikap religius menuju peningkatan pemahaman akan
ajaran Islam. Kajian rutin setiap bulannya telah diprogramkan untuk kajian
hadis, fiqih, aqidah, akhlak, dan tarikh. Bukan hanya itu, sering
pula menggelar kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara
pandang Islam. Hal ini bisa jadi merupakan pengalaman baru bagi banyak siswa,
dan ilmu agama menjadi keuntungan yang tak kalah penting dibanding berbagai
ilmu yang diperoleh di kelas.
Lebih jauh lagi, Rohis merupakan wadah
penyalur kompetisi dan kreativitas diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa
menyalurkan bakat yang dimiliki para remaja. Semisal membaca Al-Qur’an,
pengetahuan Islam, dan dakwah. Sekolah memiliki keterbatasan dalam menyalurkan
bakat para siswanya. Dalah bidang ini, Rohis memiliki keleluasaan dalam
menyalurkannya. Misal, kegiatan Pemilihan Dai Remaja (PILDAREM) untuk
menyalurkan kreativitas diri di bidang dakwah. Kegiatan-kegiatan tersebut
secara otomatis dapat membentuk sikap religius bagi siswa yang terlibat.
Mengingat manfaat Rohis
yang cukup besar, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kinerja Rohis
dapat dilakukan secara menyeluruh. Pertama, perlunya perhatian khusus dari para
pengurus Rohis agar mampu mengembangkan program-program kegiatannya. Kedua,
sekolah perlu memberikan ruang gerak yang luas kepada Rohis agar dapat
merealisasikan programnya, misalnya dengan memberikan dukungan fasilitas, dana,
dan waktu. Terakhir, dukungan dari orang tua kepada putra-putrinya untuk
mengembangkan kemampuan berorganisasi dengan memberikan kepercayaan bahwa
berorganisasi di Rohis akan membentuk sikap yang baik dan bermanfaat.
C.
Fundamentalisme Agama
Belakangan ini
istilah fundamentalisme cukup hangat dibicarakan di media massa, tidak hanya di
tingkat nasional tapi internsional juga. Hal ini terjadi seiring merebaknya
aksi terorisme yang berlindung di bawah paham fundamentalis agama terutama
islam. Sehingga istilah fundamentalis identik dengan “fundamentalisme islam”
atau “islam fundamentalis” yang memiliki kesan negatif dan ekstrimisme.
Padahal kalau
dilihat lebih dalam lagi fundamentalis yang berakar pada agama ini tidak hanya
islam saja tapi juga agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi dan
Konghucu). Bahkan istilah fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia
Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat
sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat
dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah.
Sementara itu dalam
bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti
barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan
fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip
dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling
menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang
adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.
Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini,
mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.
Dengan modifikasi konsep Martin E. Marty, prinsip dasar
fundamentalisme agama dipilah Azyumardi Azra (1993) ke dalam empat ragam.
Pertama, oposisionalisme. Setiap pemikiran dan arus perubahan yang mengancam
kemapanan ajaran agama harus senantiasa dilawan. Kedua, penolakan terhadap
hermeneutika. Pada titik ini, teks suci serta-merta menjadi ruang yang kedap
kritik. Ketiga, penentangan akan pluralisme sosial. Masyarakat mesti seragam
dan tak boleh beragam. Keempat, pengingkaran terhadap perkembangan historis dan
sosiologis umat manusia. Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan
nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak
dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan
seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama
tentulah mensyaratkan hal itu. Hanya saja, yang laik diperselisihkan adalah
mengapa sikap fundamental itu hanya bersifat doktrinal dan cenderung kaku,
sehingga ia tidak kuasa bergerak plastis mengikuti kelenturan perkembangan
social.
Dengan analogi yang menarik, Zuhairi Misrawi (:2003) pernah
mengelompokkan aksi fundamentalisme ini ke dalam tiga kubu. Pertama,
fundamentalis radikal yaitu mereka yang gemar mempraktikkan kekerasan dengan
dalih agama. Kedua, fundamentalis politik yakni mereka yang menjadikan doktrin
agama sebagai dasar politik. Sedangkan ketiga adalah fundamentalis moderat
yaitu kaum taat beragama yang menerima dan sudi berdamai dengan perkembangan
modernitas.
Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain
dibanding dengan suasana sekuler atau profane dari kepentingan manusia dan
tindak-tanduknya, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama
dilandaskan pada keyakinan, karena itu objeknya adalah supraempiris dan
ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Agama sebagai unsur penting dalam kebudayaan memberikan
bentuk dan arah pada fikiran, perasaan dan tindakan manusia. Ia menyeimbangkan
orientasi nilai, aspirasi dan edo ideal manusia. Tetapi agama bertumpu pada
keyakinan di atas suatu kesepakatan kepara supra empiris. Karena itu semua unsur-unsur nilai, aspirasi dan tujuan yang lain dan berada
diatasnya, seperti halnya agama, bertopang pada dasar yang stabil. Di dalam
masyarakat sekuler, ketidak setabilan agama dan nilai yang diturunkannya pada
tingkat tertentu akan kian jelas, terlihat dan dianggap tidak lagi mungkin
melayani masyarakat kuno atau tradisional.
Dengan demikian agama merupakan dorongan bagi
pengembangan pemahaman manusia atas diri, perilaku, fikiran dan perasaannya,
serta hubungan dengan manusia lain yang dijumpainya dalam masyarakat. Sosiologi
sebagai ilmu yang menerapkan diri pada lapangan khusus, ia boleh disebut masih
muda, tetapi ia menawarkan kemungkinan-kemungkinan masa depan yang semarak.
Karena agama terkait dengan kebutuhan, perasaan dan aspirasi manusia yang paling
dalam, karena agama menyangkut beberapa aspek keadaan manusia yang sangat
esensial dan karena makna serta fungsi kedua hal tersebut di atas masih tetap
tak terselami oleh kita, maka prospek lanjut studi ini dan penelitian bidang
ini akan merupakan isu paling menarik dan tantangan yang menggairahkan bagi
mereka yang tetap berminat melanjutkan studi tentang manusia.
Untuk melawan fundamentalisme agama yang berpikiran
sempit ini, perlu diperlukan proses tashfiyah (pelurusan) dan tarbiyah
(pendidikan) sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Proses pelurusan
ini dilakukan dengan meluruskan persepsi manusia akan agama untuk kembali
kepada koridor yang benar. Kesalahan perspesi ini telah menimbulkan paham-paham
fundamentalisme yang akan merusak nilai universalitas agama itu sendiri.
Pelurusan ini sebagai langkah untuk mengembalikan posisi paham fundamentalisme
agama ke jalan yang benar. Posisi fundamentalisme agama yang mampu mengantarkan
kebersamaan dan berdampingan hidup dalam sebuah perbedaan. Dan posisi yang tetap
memberi kebebasan untuk menyebarluaskan ajaran agama dengan tetap memperhatikan
ukhuwah atau persaudaraan, kerukunan dengan penganut agama lainnya.
Setelah itu proses pendidikan juga diperlukan sebagai
bentuk pembinaan ditanamkannya nilai-nilai agama dengan benar untuk tidak
kembali kepada paham fundamentalisme sempit. Selain akan mengenalkan nilai dan prinsip agama, proses
pendidikan ini juga sebagai langkah untuk membentuk kader-kader manusia yang
religius dan memiliki spiritulisme yang tinggi. Pendidikan ini dilakukan untuk
melakukan optimalisasi kualitas kemanusiaan manusia sesuai fitrahnya, dan
nantinya akan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Dalam perubahan perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang
merupakan suatu kemungkinan baik dalam artian positif dan kemungkinan buruk
dalam artian negatif dalam segi kualitas dan kuantitas maupun dalam segi
perubahan struktur secara total. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku sosial keagamaan adalah; Faktor genetic , Faktor
lingkungan, Faktor
pendidikan, Faktor tingkat usia, Faktor pengalaman
b.
Rohis merupakan wadah penyalur kompetisi dan kreativitas
diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa menyalurkan bakat yang dimiliki
para remaja. Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis umumnya merupakan
organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), terutama
di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian Islam ini dibentuk
untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya,
seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius bagi para
siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena melalui Rohis
inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan keagamaan
c. Fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat
oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler
yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan
memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah. Sementara itu
dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para
peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan
fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip
dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling
menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang
adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan.
Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini,
mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Robinson, Philip. 1986. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : CV. Rajawali
Robertson, Roland ed. 1993. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Philip Robinson. “sosiologi
pendidikan” ( Jakarta : CV. Rajawali. 1986) hal. 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran