Translate

Kamis, 11 Oktober 2012

KONSEP MANUSIA DAN CINTA KASIH



A.    Pengertian
Adinegoro dalam bukunya “Ensiklopedi Umum Dalam Bahasa Indonesia” mengatakan : manusia adalah alam kecil sebagian dari alam besar yang ada di atas bumi, sebagian dari makhluk yang bernyawa, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk yang mengetahui ke“alamannya”, yang mengetahui dan dapat menguasai kekuatan-kekuatan alam, di luar dan di dalam dirinya(lahir dan batin).[1]
Manusia sebagai makhluk sosial harus berhubungan satu sama lain. Di dalam menjalani hubungan itu, tentu harus didasari dengan rasa cinta kasih. Tanpa adanya hal itu, hubungan tidak akan dapat berjalan dengan mulus. Cinta Kasih merupakan bagian dari kehidupan manusia dan juga sarana atau alat perantara suatu kreativitas agar dapat di salurkan.
Apa cinta itu? Cinta adalah lambang dari perasaan. Misalnya rasa kagum, kelembutan, respek, birahi, keinginan bersahabat. Dapat berarti pula menunjukkan seperti jatuh cinta, mabuk kepayang, memendam rasa dan sebagainya. Rasa tersebut ditujukan untuk siapa perasaan itu? Jelas, perasaan itu tentu ditujukan untuk orang lain. Siapa orang lain itu? Orang lain yang dimaksud di sini adalah apabila kita memasuki hubungan antar manusia. Cinta manusia itu luas dan beraneka ragam bentuknya, misalnya cinta antara pria dan wanita, cinta kekeluargaan dan cinta persaudaraan.
Cinta adalah rasa sangat suka atau sayang (kepada) atauppun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata Kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. Dengan demikian cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.
Namun perlu diketahui cinta itu selain cinta kepada sesama makhluk, juga sering kata cinta itu dipakai untuk menggambarkan gandrungan/rasa kagum terhadap benda atau ide. Misalnya cinta akan alam, demokrasi, tanah air, kebenaran dan sebagainya.

B.     Perbedaan Cinta dan Nafsu
Cinta sama sekali bukan nafsu, pernyataan tersebut sangat penting khususnya bagi remaja yang tingkat nafsu seksualnya sedang bergejolak. Perbedaan antara cinta dan nafsu adalah :

Perbedaan
1.      Cinta
·         Cinta bersifat manusiaw, hanya pada manusialah Cinta timbul dan berkembang.
·         Cinta bersifat rokhaniah.
·         Rasa cinta dapat memberikan semangat dalam hidup bagi orang yang mencintai dan bagi yang menerimanya, dirasakan sebagai kebahagiaan.
·         Cinta menunjukkan perilaku memberi,
2.      Nafsu
·         Sedangkan pada binatang terbatas pada naluri untuk melindungi.
·         Sedangkan nafsu sifatnya jasmaniah.
·         Sedangkan nafsu cenderung memuaskan dorongan seks semata.
·         Sedangkan nafsu senantiasa menuntut.

C.    Jenis- Jenis Cinta Kasih
Adapun jenis-jenis cinta kasih adalah sebagai berikut :
Menurut Dr. Salito W. Sarwono dalam artikel yang berjudul Segitiga Cinta , bukan cinta segitiga dikatakan bahwa cinta yang ideal memiliki 3 unsur, yaitu:
  • Keterikatan, adalah perasaan untuk hanya bersama orang yang dicintai, segala prioritas hanya untuk dia.
  • Keintiman, yaitu adanya kebiasaan – kebiasaan dan tingkah laku yang menunjukkan bahwa tidak ada jarak lagi, sehingga panggilan formal diganti dengan sekedar nama panggilan.
  • Kemesraan, yaitu rasa ingin membelai atau dibelai, rasa kangen apabila jauh atau lama tak bertemu, ucapan – ucapan yang menyatakan sayang, saling menium, merangkul dan sebagainya.
Dra. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal & Pathologi Seks mengemukakan bahwa wanita dan pria dapat disebut normal dan dewasa bila mampu mengadakan relasi seksual dalam bentuk normal dan bertanggung jawab, hubungan seks yang normal mengandung pengertian bahwa hubungan tersebut tidak menimbulkan efek dan konflik psikis bagi kedua belah pihak serta tidak bersifat paksaan. Sedangkan untuk yang bertanggung jawab adalah bahwa kedua belah pihak menyadari konsekuensinya dan bertanggung jawab terhadapnya. Misalnya, mau menikah dan memelihara anak yang menjadi hasil relasi seksual yang dilakukan.
Abnormalitas menurut Dra. Kartini dibagi dalam tiga golongan, yaitu:
  1. Dorongan Seksual yang abnormal
    • Pelacuran (prostitution) yang pada umumnya dilakukan wanita dalam melayani pria hidung belang karena dorongan ekonomi, kekecewaan dan seterusnya.
    • Perzinahan (adultery) merupakan relasi seksual yang dilakukan oleh pria atau wanita yang tidak sah secara agama dan hukum.
    • Perkosaan (rape) merupakan perbuatan cabul dengan cara kekerasaan atau paksaan.
    • Bujukan (seduction) merupakan bujukab atau rayuan untuk mengajak bersetubuh.
  2. Partner Seks yang abnormal
    • Homoseksualitas, terhadap sesama jenis.
    • zoofilia, terhadap hewan.
    • Pedofilia, Terhada anak di bawah umur.
    • Geronto-seksualitas, Pria terhadap wanita tua.
  3. Dalam pemuasan dorongan seksual
    • Voyeurism atau Peeping Tom, dilakukan seseorang yang mendapat kepuasan seks dengan melihat orang lain telanjang.
    • Transvestutisme, merupakan gejala pathologis yang memekai pakaian lawan jenis.
    • Transseksualisme, terjadi pada sesorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan kenyataan.
KASIH SAYANG
Erich Fromm (1983:54) dalam bukunya Semi Mencintai mengemukakan tentang adanya macam macam cinta, yaitu:
  1. Cinta Persaudaraan, diwujudkan manusia dalam tingkah atau perbuatannya. Cinta persaudraan tidak mengenal adanya batas – batas manusia berdasarkan SARA.
  2. Cinta Keibuan atau cinta kasih antar orang tua dan anak, kasih sayang yang bersumber pada cinta seorang ibu terhadap anaknya. Rasa cinta kasih yang tercermin apabila orang tua memperhatikan dan memenuhi kebutuhan anaknya, dan mereka(orang tua) mengharapkan agar anaknya menjadi orang yang baik dan berguna di kemudian hari.[2]
  3. Cinta Erotis, kasih sayang yang bersumber dai cinta erotis (birahi) merupakan sesuatu yang sifatnya khusus sehingga memperdayakan cinta yang sesunguhnya. Namun, bila orang yang melakukan hubungan erotis tanpa disadari rasa cinta, di dalamnya sama sekali tidak mungkin timbul rasa kasih sayang.
  4. Cinta Diri Sendiri, yaitu bersumber dai diri sendiri. CInta diri sendiri bernilai positif jika mengandung makna bahwa seseorang dapat mengurus dirinya dalam kebutuhan jasmani dan rohani.
  5. Cinta Terhadap Allah, yaitu apabila seseorang taat beribadah, menurut perintahNya dan menjauhi laranganNya berarti orang tersebut memiliki rasa cinta kasih kepada Tuhan penciptanya.[3]
KEMESRAAN
Kemesraan berasal dari kata mesra yang berarti erat atau karib sehingga kemesraan berarti hal yang menggambarkan keadaan sangat erat atau karib. Kemesraan juga bersumber dari cinta kasih dan merupakan realisasi nyata. Kemesraan dapat diartikan sama dengan kekerabatan, keakraban yang dilandasi rasa cinta dan kasih.
Tingkatan kemesraan dapat dibedakan berdasarkan umur, yaitu:
  • Kemesraan dalam Tingkat Remaja, terjadi dalam masa puber atau genetal pubertas yaitu dimana masa remaja memiliki kematangan organ kelamin yang menyebabkan dorongan seksualitasnya kuat.
  • Kemesraan dalam Rumah Tangga, terjadi antara pasangan suami istri dalam perkawinan. Biasanya pada tahun tahun wal perkawinan, kemesraan masih sangat terasa, namun bisa sudah agak lama biasanya semakin berkurang.
  • Kemesraan Manusia Usia Lanjut, Kemsraan bagi manusia berbeda dengan pada usia sebelumnya. Pada masa ini diwujudkan dengan jalan – jalan dan sebagainya.
PEMUJAAN
Pemujaan berasal dari kata puja yang berarti penghormatan atau tempat memuja kepada dewa – dewa atau berhala. Dalam perkembangannya kemudian pujaan ditujukan kepada orang yang dicintai, pahlawan dan Tuhan YME. Pemujaan kepada Tuhan adalah perwujudan cinta manusia kepada Tuhan, karena merupakan inti , nilai dan makna dari kehidupan yang sebenarnya.
Cara Pemujaan dalam kehidupan manusia terdapat berbagai perbedaan sesuai dengan ajaran agama, kepercayaan, kondisi dan situasi. Tempat pemujaan merupakan tempat komunikasi manusia dengan Tuhan. Berbagai seni sebagai manifestasi pemujaan merupakan suatu tambahan tersendiri dalam terciptanya kehidupan yang lebih indah.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Cinta adalah rasa sangat suka atau sayang (kepada) atauppun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata Kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. Dengan demikian cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.
Terdapat perbedaan antara cinta dan kasih, cinta lebih mengandung pengertian tentang rasa yang mendalam sedangkan kasih merupakan pengungkapan untuk mengeluarkan rasa, mengarah kepada yang dicintai.  Cinta samasekali bukan nafsu.
Erich Fromm (1983:54) dalam bukunya Semi Mencintai mengemukakan tentang adanya macam macam cinta, yaitu Cinta Persaudaraan, Cinta Keibuan atau cinta kasih antar orang tua dan anak, Cinta Erotis, Cinta Diri Sendiri, Cinta Terhadap Allah.
Kemesraan berasal dari kata mesra yang berarti erat atau karib sehingga kemesraan berarti hal yang menggambarkan keadaan sangat erat atau karib. Kemesraan juga bersumber dari cinta kasih dan merupakan realisasi nyata. Kemesraan dapat diartikan sama dengan kekerabatan, keakraban yang dilandasi rasa cinta dan kasih.
Pemujaan berasal dari kata puja yang berarti penghormatan atau tempat memuja kepada dewa – dewa atau berhala. Dalam perkembangannya kemudian pujaan ditujukan kepada orang yang dicintai, pahlawan dan Tuhan YME. Pemujaan kepada Tuhan adalah perwujudan cinta manusia kepada Tuhan, karena merupakan inti , nilai dan makna dari kehidupan yang sebenarnya.





DAFTAR PUSTAKA

Drs. Mawardi, dkk. IAD-ISD-IBD. Bandung: Pustaka Setia. 2000, Cetakan I.
Drs. Syahminan Zaini. Mengenal Manusia Lewat Al Qur’an. Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1984.



[1] Drs. Syahminan Zaini. Mengenal Manusia Lewat Al Qur’an. Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1984. hlm. 5
[2] Ibid. hlm. 167
[3] Ibid. hlm. 168

Sosialisasi Peserta Didik


                             
A.  Pengertian Sosialisasi Peserta Didik
Disini akan dipaparkan mengenai pengertian sosialisasi dan pengertian peserta didik.
Ada beberapa pengertian menurut para ahli mengenai sosialisasi, diantaranya yaitu :
1.      Menurut Havighurst dan Neugarten :
“ Socialization is the proces by which children learn the way of their society and make these ways part of their own personalities ” Proses sosialisasi adalah proses belajar. Meskipun sosialisasi kerapkali disamaartikan dengan proses belajar, tetapi beberapa ahli mengartikan sebagai proses belajar yang bersifat khusus.
2.      Menurut Thomas Ford Hoults :
Bahwa proses sosialisasi “ Almost always denotes the proces whereby individuals learn to behave willingly in accordance with the prevailing standards of their culture; althught occasionaly used synonymously with learning, usually reserved for the type of learning that bears on future role performance and that particulary involves group approval “. Proses sosialisasi adalah proses belajar individu untuk bertingkahlaku sesuai dengan standar yang terdapat dalam kebudayaan masyarkat.
3.      R.S Lazarus :
“ The entire proces of sosialization, by means of which thi child acquires the values and conduct patternsof the culture , is a process of accomodation, in which the child learns ti inhibit and modify his impuls in favor of environmental pressures, and develops new ones that are culturally determined ” . Jadi proses sosialisasi adalah proses akomodasi, dengan mana individu menghambat atau mengubah impuls-impuls sesuai dengan tekanan lingkungan, dan mengembangkan pola-pola nilai dan tingkah laku yang baru sesuai dengan kebudayaan masyarakat.


Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.      Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu manahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan masyarakat.
2.      Dalam proses sosislisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku dalam masyarakat dimana dia hidup.
3.      Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadi.

Definisi peserta didik atau anak didik menurut konsep barat ataupun menurut konsep islam yaitu :
Anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan anak yang belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah anak didik dalam keluarga, murid adalah anak didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah anak didik masyarakat sekitarnya, dan anka-anak umat beragama menjadi anak didik rihaniwan agama.

B.     Proses Sosialisasi dan Kesulitan Sosialisasi
Sosialisasi terjadi melalui “ conditioning “ oleh lingkungan yang menyebabkan individu mempelajari pola kebudayaan yang fundamental seprti berbahasa, cara berjalan, duduk, makan, apa yang dimakan, berkelakuan sopan, dll. Belajar norma-norma kebudayaan pada mulanya banyak terjadi di rumah dan sekitar, kemudian di sekolah, dan lingkungan lain.
Proses sosialisasi tidak selalu berjalan lancar, beberapa kesulitan yang menghambatnya antara lain :
1.      Adanya kesulitan komunikasi.
Apabila anak tidak mengerti apa yang diharapkan olehnya dan apa yang diharapkan oleh masyarakatnya, atau tuntutan kebudayaan tentang kelakuannya. Hal ini akan terjadi bila anak itu tidak memahami lambang-lambang seperti bahasa,isarat dan sebagainya.
2.      Adanya pola kelakuan yang berbeda-beda atau yang bertentangan.
Masyarakat modern terpecah-ecah dalam berbagai sektor atau kelompok yang masing-masing menuntut pola kelakuan yang berbeda-beda.
Walaupun demikian tiap orang harus berusaha menyesuaikan diri dengan berbagai situasi sosial , sering juga yang bertentangan normanya. Bila pertentangan itu tjam dan individu tak mampu menyesuaikan diri maka ada kemungkinan ia akan mengalami gangguan psikologis atau sosial.
Gangguan kepribadian ini dapat berbeda-beda tarafnya. Ada yang ringan seperti kecangguangan dalam kelakuan. Ada juga gangguan yang merusak pribadi individu, sampai memerlukan psikolog atau psikiater.

C.    Sosialisasi di Sekolah
Sekolah memegang peranan pentig dalam proses sosialisasi anak, walaupun sekolah hanya salah satu lembaga yang bertanggungjawab atas pendidikan anak. Anak mengalami perubahan dalam kelakuan sosial setelah ia masuk ke sekolah. Di rumah ia hanya bergaul dengan orang yang terbatas jumlahnya, terutama dengan keluarga dan anak-anak tetangganya. Suasana dirumah bercorak informal dan kebanyakan anak dimanjakan oleh orang tua nya.
Di sekolah anak itu mengalami suasana yang berlainan . ia bukan lagi anak istimmewa yang diberi perhatian khusus oleh ibu guru, melainkan hanya salah seorang dari puluhan murid lainnya di dalam kelas.
Oleh karena itu penting adanya sosialisasi awal untuk memperkenalkan anak dengan dunia barunya di sekolah tersebut. Dalam istilah yang biasanya digunakan dalam dunia pendidikan dalam memperkenalkan profil duni baru sekolah biasanya disebut MOS ( Masa Orientasi Sekolah ) dalam jenjang Sekolah Menengah Atas, dan istilah OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) pada tingkat perguruan tinggi.
Sedikit memberi penjelasan mengenai pengertian OPAK (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) yang diambil dari buku Pedoman Umum (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yaitu : serangkaian kegiatan bagi mahasiswa baru untuk memberikan pengenalan proses pendidikan, dan kemahasiswaan di lingkungan Kampus. Hal itu diperuntukan bagi mahasiswa baru dalam rangka pengenalan dunia kampus terutama dunia akademik. Tetapi tidak dipungkiri juga dengan adanya interaksi antar elemen dalam kampus itu akan menimbulkan adanya sosialisasi.
Namuan banyak polemik pro kontra permasalahan yang muncul dengan adanya OPAK tersebut dalam masyarakat. Disatu sisi OPAK tersebut merupakan ajang yang tetap sebagai sarana sosialisasi, namun disisi lain image OPAK dimana OPAk tersebut dijadikan ajang perpeloncoan mahasiswa baru yang masih “polos” sampai dengan ajang balas dendam.
Disini perlu adanya pengemasan ulang OSPEK dalam rangka meningkatkan sasaran tujuan utama diadakannya OSPEK tersebut.










BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan

·         Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu suatu proses akomodasi dengan mana individu manahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil oper cara hidup atau kebudayaan masyarakat.
·         Dalam proses sosislisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku dalam masyarakat dimana dia hidup.
·         Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadi.
Proses sosialisasi tidak selalu berjalan lancar, beberapa kesulitan yang menghambatnya antara lain :
1.      Adanya kesulitan komunikasi.
Apabila anak tidak mengerti apa yang diharapkan olehnya dan apa yang diharapkan oleh masyarakatnya, atau tuntutan kebudayaan tentang kelakuannya. Hal ini akan terjadi bila anak itu tidak memahami lambang-lambang seperti bahasa,isarat dan sebagainya.
2.      Adanya pola kelakuan yang berbeda-beda atau yang bertentangan.
Masyarakat modern terpecah-ecah dalam berbagai sektor atau kelompok yang masing-masing menuntut pola kelakuan yang berbeda-beda.

·         Pengertian OPAK (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) yang diambil dari buku Pedoman Umum (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yaitu : serangkaian kegiatan bagi mahasiswa baru untuk memberikan pengenalan proses pendidikan, dan kemahasiswaan di lingkungan Kampus.
·         Banyak polemik pro kontra permasalahan yang muncul dengan adanya OPAK tersebut dalam masyarakat. Disatu sisi OPAK tersebut merupakan ajang yang tetap sebagai sarana sosialisasi, namun disisi lain image OPAK dimana OPAk tersebut dijadikan ajang perpeloncoan mahasiswa baru yang masih “polos” sampai dengan ajang balas dendam. Disini perlu adanya pengemasan ulang OSPEK dalam rangka meningkatkan sasaran tujuan utama diadakannya OSPEK tersebut. 


BAB IV
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, 1982, Sosiologi Pendidikan, Surabaya : Bina Ilmu

Muhaimin dan Abdul Mujib,1993, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenga Karya

S Nasution, 2004, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara

Bidang Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijga Yogyakarta, 2011, Pedoman Umum (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakrta : Bidang Kemahasiswaan


Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1982 ), hal. 137
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, ( Bandung : Trigenga Karya, 1993 ), hal. 176
S Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2004), hal. 126

Bidang Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijga Yogyakarta, Pedoman Umum (Pengenalan Akademik Kemahasiswaan ) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ( Yogyakrta : Bidang Kemahasiswaan, 2011), hal. 9

KEGIATAN KEROHANIAN ISLAM DAN FUNDAMENTALISME AGAMA


A.    Analisis Kecenderungan Perilaku Agama di Sekolah/Kampus.
Dalam perubahan perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang merupakan suatu kemungkinan baik dalam artian positif dan kemungkinan buruk dalam artian negatif dalam segi kualitas dan kuantitas maupun dalam segi perubahan struktur secara total. Segikualitas yaitu perubahan nilai sosial keagamaan apakah meningkat atau menurun, bermutu atau tidak bermutu.Segi kuantitas yaitu perubahan banyak sedikitnya atau sebagian dan menyeluruh. Perubahan tersebut merupakan gejala yang direfleksikan oleh kekuatan dari dalam dan luar.
Misalnya, kondisi iman, psikis/pikir, kultur masyarakat maupun keadaan lingkungan.Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk yang beragama. Namun untuk menjadikan manusia memiliki perilaku sosial keagamaan yang positif, maka potensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang mengenalkan seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus dituruti dan dilakonkan. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku sosial keagamaan adalah;
1)      Faktor genetic, Adalah segala hal yang oleh seseorang dibawa sejak lahirdan warisan dari kedua orang tuanya. Jadi, dalam manusia sendiriada potensi atau kemauan untuk mengubah dirinya
2)       Faktor lingkungan, Yang dimaksud adalah situasi dan kondisi yang dihadapioleh seseorang dalam rumah dan dalam lingkungan yang lebihluas, terutama lingkungan masyarakat dekat yang dilihat dandihadapinya sehari-hari.
3)       Faktor pendidikan, Faktor pendidikan adalah segala usaha sistematis yangberlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain, baik formal maupun non formal.

4)      Faktor tingkat usia Hubungan antara tingkat usia dengan perilaku social keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja, berbagaipenelitian psikologi menunjukkan adanya hubungan tersebut,meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktorpenentu dalam perilaku sosial keagamaan seseorang, yang jelaskenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan perilaku sosialkeagamaan pada tingkat usia yang berbeda.
5)       Faktor pengalaman, Yang dimaksud adalah keseluruhan pelajaran yang dipetikoleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilalui dalamperjalanan hidupnya
Budaya agama berupa perilaku keagamaan yang mentradisi di sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional melalui visi, misi dan program serta budaya sekolah. Bahwa membentuk output yang memiliki karakter positif tidak cukup dengan pembelajaran yang unggul, namun penciptaan budaya sekolah juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Budaya sekolah merupakan factor penting dalam membentuk siswa menjadi manusia yang penuh optimis, berani,terampil, berperilaku kooperatif, memilih kecakapan personal akademik.
Biasanya sekolah–sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan tertentu hanya dilihat dari beberapa variable seperti perolehan nilai dan kondisi fisik, sementara hal lain yang tampak justru lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai values, keyakinan beliefs, budaya, dan norma perilaku yang disebut The Human side of organization (aspek manusia dalam organisasi) kurag di perhatikan.
Pada hakekatnya sekolah bukanlah sekedar tempat transfer of knowledge belaka, sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengupayakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah. Dengan demikian tidak bisa dilakukan semata–mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Pertama, menerapkan pendekatan modeling atau uswah hasanah yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui keteladanan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah" yang hidup living exemplary bagi setiap peserta didik, mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik.
Kedua, Menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah –langkah; memberi penghargaan prizing dan menumbuhsuburkan cherising nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah discouraging berlakunya nilai-nilai buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternative sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan ;membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik dan tujuan-tujuan ideal ;membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola –pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berbasis karakter character-based education. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan kedalam setiap mata pelajaran yang disamping mata pelajaran –mata pelajaran yang terkait khusus untuk pendidikan karakter,sepeti mata pelajaran PAI ( aqidah akhlak,fiqih,qur,an hadist) , Pkn,sejarah dan sebagainya.
Peran agama dalam kehidupan individu dan masyarakat yang terus berkembang, dan juga sebaliknya bagaimana tuntutan akan perubahaan dalam kehidupan sosial itu telah  membentuk konstruksi pemikiran dan perilaku religius masyarakat, menuntut arah baru dalam studi agama-agama, yaitu perlunya pendekatan yang bersifat multidimensional. Oleh karena itu, sudah menjadi satu keharusan  jika arah baru studi agama dewasa ini cenderung tidak sekedar memberi tekanan pada penggunaan pendekatan teologis semata, tetapi juga secara komprehensif menggunakan pendekatan sebagaimana berkembang dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, seperti pendekatan historis, psikologi, sosilogi, antropologi, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Demikian halnya kecenderungan dalam kajian Islam dewasa ini, juga tidak sekedar murni kajian keislaman, namun kajian itu mulai diintegrasikan dengan bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial-humaniora  dan juga bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu pendekatan sosiologi, sebagaimana juga pendekatan-pendekatan bidang keilmuan lainnya menjadi kebutuhan yang mendesak dalam mengembangkan studi agama-agama (khususnya studi Islam).
B.     Kegiatan Kerohanian Islam
Dalam beberapa kesempatan kita telah mencatat bahwa sebagian besar sosiologi pendidikan menggunakan lembaga-lembaga pendidikan, dengan demikian tidak memperhatikan proses yang berlangsung di dalam sekolah dan collega itu sendiri. Yang sangat penting, baik dalam apresiasi sekolah sebagai organisasi maupun dalam mengevaluasi hakikat reproduksi sosial, adalah pemahaman bagaimana pengetahuan didefinisikan, dialihkan dan dievaluasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Di dalam sosiologi pendidikan tidak adanya pemahaman ini bertitik tolak pada kealpaan kita memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh durkheim dan Weber satu abad yang lampau.
Durkheim (1977) di dalam kuliah-kuliahnya mengenai sejarah pendidikan Prancis, selalu mempertautkan apa yang diajarkan disekolah dengan iklim politik dan moral zaman yang bersangkutan. Tesis Durkheim mengatakan”Transformasi pendidikan selalu merupakan hasi dan gejala dari transformasi sosial dan karena itu pendidikan harus dijelaskan dari sisi ini” (1977, halaman 166).
Menurut Weber dan Durkheim, pengorganisasian ilmu pengetahuan di dalam lembaga-lembaga pendidikan harus diselaraskan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam struktur sosial. Mereka menyadari bahwa keputusan tentang pengetahuan mana yang harus diajarkan di sekolah tidak mempunyai kesahihan yang a priori melainkan mencerminkan pemecahan persial dari konflik di antaranya pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia.
 Seperti halnya kegiatan-kegiatan yang dapat mewujudkan suatu pencerahan demi kemajuan generasi. Salah satunya adalah dengan adanya kegiatan kerohanian islam. Kegiatan ini banyak dikembangkan di sekolah-sekolah. Kegiatan kerohanian islam sering disebut dengan rohis, yang telah dibentuk menjadi sebuah organisasi sekolah dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan kerohanian islam pada suatu sekolah tersebut. Sehingga ada tindakan nyata yang diharapkan mampu membangun dan mengembangkan religiousitas (rasa agama) pada anak.
Imlementasi PAI pada sekolah umum yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu terasa sangatlah kurang dalam rangka mengembangkan kemampuan atau bakat siswa dalam bidang keagamaan khususnya Islam. Kegiatan ekstra kurikuler bisa melengkapi kekurangan jam pelajaran agama Islam yang hanya 2 jam tersebut, malah kegiatan ini bisa menjadikan media atau wadah siswa mengembangkan kemampuan maupun memperdalam ilmu keislaman.
Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis umumnya merupakan organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), terutama di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian Islam ini dibentuk untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya, seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius bagi para siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena melalui Rohis inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan.
Sebut saja, Malam Bina Iman dan Taqwa (MABIT). Dalam kegiatan satu malam ini setiap siswa mendapati suasana religius yang jarang didapatinya di rumah. Sepanjang malam seluruh siswa berkesempatan untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Allah. Bisa berupa sholat Isya berjamaah, sholat tahajjud, dan tadarus Al-Qur’an. Kegiatan ini secara langsung dapat membantu pembiasaan memanfaatkan waktu malam untuk ibadah.
Saat ini, kualitas kegiatan Rohis telah berkembang dari peningkatan sikap religius menuju peningkatan pemahaman akan ajaran Islam. Kajian rutin setiap bulannya telah diprogramkan untuk kajian hadis, fiqih, aqidah, akhlak, dan tarikh. Bukan hanya itu, sering pula menggelar kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam. Hal ini bisa jadi merupakan pengalaman baru bagi banyak siswa, dan ilmu agama menjadi keuntungan yang tak kalah penting dibanding berbagai ilmu yang diperoleh di kelas.
Lebih jauh lagi, Rohis merupakan wadah penyalur kompetisi dan kreativitas diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa menyalurkan bakat yang dimiliki para remaja. Semisal membaca Al-Qur’an, pengetahuan Islam, dan dakwah. Sekolah memiliki keterbatasan dalam menyalurkan bakat para siswanya. Dalah bidang ini, Rohis memiliki keleluasaan dalam menyalurkannya. Misal, kegiatan Pemilihan Dai Remaja (PILDAREM) untuk menyalurkan kreativitas diri di bidang dakwah. Kegiatan-kegiatan tersebut secara otomatis dapat membentuk sikap religius bagi siswa yang terlibat.
Mengingat manfaat Rohis yang cukup besar, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kinerja Rohis dapat dilakukan secara menyeluruh. Pertama, perlunya perhatian khusus dari para pengurus Rohis agar mampu mengembangkan program-program kegiatannya. Kedua, sekolah perlu memberikan ruang gerak yang luas kepada Rohis agar dapat merealisasikan programnya, misalnya dengan memberikan dukungan fasilitas, dana, dan waktu. Terakhir, dukungan dari orang tua kepada putra-putrinya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi dengan memberikan kepercayaan bahwa berorganisasi di Rohis akan membentuk sikap yang baik dan bermanfaat.
C.      Fundamentalisme Agama
Belakangan ini istilah fundamentalisme cukup hangat dibicarakan di media massa, tidak hanya di tingkat nasional tapi internsional juga. Hal ini terjadi seiring merebaknya aksi terorisme yang berlindung di bawah paham fundamentalis agama terutama islam. Sehingga istilah fundamentalis identik dengan “fundamentalisme islam” atau “islam fundamentalis” yang memiliki kesan negatif dan ekstrimisme.
Padahal kalau dilihat lebih dalam lagi fundamentalis yang berakar pada agama ini tidak hanya islam saja tapi juga agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi dan Konghucu). Bahkan istilah fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah.
Sementara itu dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini, mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.
Dengan modifikasi konsep Martin E. Marty, prinsip dasar fundamentalisme agama dipilah Azyumardi Azra (1993) ke dalam empat ragam. Pertama, oposisionalisme. Setiap pemikiran dan arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama harus senantiasa dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Pada titik ini, teks suci serta-merta menjadi ruang yang kedap kritik. Ketiga, penentangan akan pluralisme sosial. Masyarakat mesti seragam dan tak boleh beragam. Keempat, pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia. Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu. Hanya saja, yang laik diperselisihkan adalah mengapa sikap fundamental itu hanya bersifat doktrinal dan cenderung kaku, sehingga ia tidak kuasa bergerak plastis mengikuti kelenturan perkembangan social.
Dengan analogi yang menarik, Zuhairi Misrawi (:2003) pernah mengelompokkan aksi fundamentalisme ini ke dalam tiga kubu. Pertama, fundamentalis radikal yaitu mereka yang gemar mempraktikkan kekerasan dengan dalih agama. Kedua, fundamentalis politik yakni mereka yang menjadikan doktrin agama sebagai dasar politik. Sedangkan ketiga adalah fundamentalis moderat yaitu kaum taat beragama yang menerima dan sudi berdamai dengan perkembangan modernitas.
Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibanding dengan suasana sekuler atau profane dari kepentingan manusia dan tindak-tanduknya, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu objeknya adalah supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Agama sebagai unsur penting dalam kebudayaan memberikan bentuk dan arah pada fikiran, perasaan dan tindakan manusia. Ia menyeimbangkan orientasi nilai, aspirasi dan edo ideal manusia. Tetapi agama bertumpu pada keyakinan di atas suatu kesepakatan kepara supra empiris. Karena itu semua unsur-unsur nilai, aspirasi dan tujuan yang lain dan berada diatasnya, seperti halnya agama, bertopang pada dasar yang stabil. Di dalam masyarakat sekuler, ketidak setabilan agama dan nilai yang diturunkannya pada tingkat tertentu akan kian jelas, terlihat dan dianggap tidak lagi mungkin melayani masyarakat kuno atau tradisional.
Dengan demikian agama merupakan dorongan bagi pengembangan pemahaman manusia atas diri, perilaku, fikiran dan perasaannya, serta hubungan dengan manusia lain yang dijumpainya dalam masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu yang menerapkan diri pada lapangan khusus, ia boleh disebut masih muda, tetapi ia menawarkan kemungkinan-kemungkinan masa depan yang semarak. Karena agama terkait dengan kebutuhan, perasaan dan aspirasi manusia yang paling dalam, karena agama menyangkut beberapa aspek keadaan manusia yang sangat esensial dan karena makna serta fungsi kedua hal tersebut di atas masih tetap tak terselami oleh kita, maka prospek lanjut studi ini dan penelitian bidang ini akan merupakan isu paling menarik dan tantangan yang menggairahkan bagi mereka yang tetap berminat melanjutkan studi tentang manusia.
Untuk melawan fundamentalisme agama yang berpikiran sempit ini, perlu diperlukan proses tashfiyah (pelurusan) dan tarbiyah (pendidikan) sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Proses pelurusan ini dilakukan dengan meluruskan persepsi manusia akan agama untuk kembali kepada koridor yang benar. Kesalahan perspesi ini telah menimbulkan paham-paham fundamentalisme yang akan merusak nilai universalitas agama itu sendiri. Pelurusan ini sebagai langkah untuk mengembalikan posisi paham fundamentalisme agama ke jalan yang benar. Posisi fundamentalisme agama yang mampu mengantarkan kebersamaan dan berdampingan hidup dalam sebuah perbedaan. Dan posisi yang tetap memberi kebebasan untuk menyebarluaskan ajaran agama dengan tetap memperhatikan ukhuwah atau persaudaraan, kerukunan dengan penganut agama lainnya.
Setelah itu proses pendidikan juga diperlukan sebagai bentuk pembinaan ditanamkannya nilai-nilai agama dengan benar untuk tidak kembali kepada paham fundamentalisme sempit. Selain akan mengenalkan nilai dan prinsip agama, proses pendidikan ini juga sebagai langkah untuk membentuk kader-kader manusia yang religius dan memiliki spiritulisme yang tinggi. Pendidikan ini dilakukan untuk melakukan optimalisasi kualitas kemanusiaan manusia sesuai fitrahnya, dan nantinya akan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Dalam perubahan perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang merupakan suatu kemungkinan baik dalam artian positif dan kemungkinan buruk dalam artian negatif dalam segi kualitas dan kuantitas maupun dalam segi perubahan struktur secara total. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku sosial keagamaan adalah; Faktor genetic , Faktor lingkunganFaktor pendidikan, Faktor tingkat usia, Faktor pengalaman
b.      Rohis merupakan wadah penyalur kompetisi dan kreativitas diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa menyalurkan bakat yang dimiliki para remaja. Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis umumnya merupakan organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), terutama di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian Islam ini dibentuk untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya, seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius bagi para siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena melalui Rohis inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan
c.       Fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah. Sementara itu dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini, mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA
Robinson, Philip. 1986. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : CV. Rajawali
Robertson, Roland ed. 1993. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


Philip Robinson. “sosiologi pendidikan” ( Jakarta : CV. Rajawali. 1986) hal. 203