Translate

Rabu, 14 Maret 2012

Unsur Dan Peran Kebudayaan Islam


A.     Unsur pokok kebudayaan Islam
1.      Potensi perekonomian
2.      Sistem politik
3.      Tradisi-tradisi yang menyangkut tingkah laku dan sopan santun
4.      Perbendaharaan ilmu pengetahuan dan kesenian
Perkembangan Perkembangan dan kemajuan kebudayaan dan kemajuan kebudayaan didukung oleh beberapa faktor, seperti faktor geografis, ekonomi psilogis, bahasa dan pendidikan. Faktor kehancuran dan kemunduran suatu kebudayaan ialah rusaknya moral, pemikiran, keburukan hukum dan perundang-undangan, kezaliman dan kemiskinan, dan hilangnya pemimpin yang ikhlas serta murni.
Kebudayaan Islam timbul setelah didahului oleh serentetan kebudayaan manusia dan akan diiringi pula oleh serentetan kebudayaan setelahnya.
B.     Peran Kebudayaan Islam
Peranan kebudayaan Islam dalam sejarah kemajuan dan pewrkembangan kemanusiaan:
1.      Kebudaan Islam berdiri tegak diatas dasar aqidah Tauhid
Kebudayaan Islamlah yang pertama-tama mengajarkan ke Esaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya baik dari segi Kemaha Bijaksanaan-Nya dan Kemaha Kuasaan-Nya atas segala mahluk. Ajaran Islam tentang ketauhidan Allah di segala segi ini berdampak besar dan penting bagi pengangkatan harkat dan martabat manusia, membebaskan rakyat dunia dari imperialisme dan kolonialisme raja-raja, kaum bangsawan, kaum penguasa Negara dan penguasa keagamaan, tentunya juga membawa kebahagiaan bagi semua kalangan.
Aqidah tauhid juga memberi pengaruh perbaikan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya dan senantiasa mengarakan pandangan hanya tertuju kepada Allah SWT, pencipta alam semesta ini.
Ajaran Islam telah merevolusi kebudayaan-kebudayaan berhala, baik yang ada sebelum maupun sesudahnya. Islam seratus persen tidak menyukai dan tidak mentolerir apa saja yng berbau syirik atau penyembahan berhala. Islam tidak membenarkan pembuatan patung-patung para pembesar, para raja dan orang-orang tersohor lainnya, tak terkecuali patung para Nabi dan Rasul Allah sendiri.
Telah banyak para peneliti kesenian Islamiyah mengakui atau menyadari adanya kesatuan atau kesamaan corak dan cita seni masyarakat Islam yang terdiri dari berbagai bangsa dan iklim,sepeti kesenian masyarakt Islam Andalusia/ Spanyol, seni  tenun masyarakat Mesir, seni logam masyarakat Iran, dan lain sebagainya.
2.      Kebudayaan Islamiyah adalah terletak pada watak dan sasarannya yang selalu mengakar dalam prikemanusiaan, disamping terletak pada wawasannya yang bersifat internasional dan universal.
Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pedoman Islam, telah menyatakan kesamaan dan kesatuan manusia di dalam kebhinekaan keturunan, suku, ras dan bangsa[1]. Kalau kebudayaan-kebudayaan sebelum dan sesudah Islam itu mengukur kemajuan dan kemundurannya dengan standar atau ukuran local, maka kebudayaan Islam mengukur kemajuan dan kemundurannya dengan standar kemanusiaan.
Jika tokoh-tokoh kebudayaan  sebelum dan sesudah Islam dianggap oleh masyaraktnya sebagai pendekar-pendekar bangsa, suku, atau ras tertentu, dalam local tertentu, maka kehadiran ulama-ulama Islam semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan lain sebagainya merupakan pahlawan-pahlawan kemanusiaan pada umumnya.
3.      Kebudayaan Islam  menempatkan prinsip-prinsip sebagai fondasi bagi semua system dan sub-sub sistemnya.
Unsur moral itu menjiwai serta mendasari sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan, perundang-undangan, etika perang, pergaulan damai,system perekonomian, dan masih banyak lagi.
Pengutamaan akhlaq dalam keseluruhan kebudayaan Islamiyah sudahlah terang menjadi cciri kelebihan dan ketinggiannya dibandingkan kebudayaan lain, baik yang sebelum maupun sesudah kebudayaan Islam. Pengutamaan unsur moral ini juga membuat kebudayaan Islam itu sendiri menjadi satu-satunya kebudayaan dunia yang mampu menjamin kebahagiaan sepanjang masa. Itu menjadi hal yang sangat luar biasa yang tidak dijanjikan oleh kebudayaan yang selain Islam.
4.      Kebudayaan Islamiyah mempercayai ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebenaran,dan bahwa kebudayaan ini berpusat pada aqidah yang murni.
Ia tertuju pada akal dan hati manusia sekaligus, sehingga membekas di dalam jiwa dan pikiran pada waktu yang sama. Hanya sistem kebudayaan Islamlah yang memiliki cirri-ciri ini dan mampu menumbuhkan suatu sistem kenegaraan yang bersendikan prinsip-prinsip kebenaran dan dan keadilan yang diajarkan agama sesuai dengan aqidahnya.
Ia tidak hanya membangun dan memajukan Negara dan pemerintahan, lalu meruntuhkan kebuyaan Ia tidak hanya membangun dan memajukan Negara dan pemerintahan, lalu meruntuhkan kebuyaan pada umunya. Namun sebaliknya ia mampu membangun dan memajukan kedua-duannya secara seerentak dan terpadu dengan agama sebagai dasar dari segala dasarnya.
Beberapa bukti yakni dari Msajid Kordova, Masjid Bagdad, Masjid Kairo, Masjid Damaskus, telah memancar cahaya benderang ilmu pengetahuan menyinari semua ufuk dunia. Kebudayaan Islam lah yang satu-satunya kebudayaan yang sangat anti sekalarisme berikut segala akar dan cabangnya. Kebudayaan Islam anti dichotomisme [2].
5.      Dalam ajaran Islam dikenal toleransi keagamaanyang mengagumkan serta mendapat fondasi kebudayaan.
Orang yang tidak mempeercayai suatu agama dan tidak mempercayai adanya Tuhan tentulah tidak aneh bila dia memandang sama semua agama, dan menyamaratakan semua penganut agama-agama yang ada. Sebaliknya yang mengagumkan ialah adanya manusia-manusia yang menganut agama hak (Agama Islam), dimana aqidahnya merupakan sebaik-baik aqidah, diperbolehkan berperang, tetapi masih memilki dan mengembangkan kebudayaannya yang penuh toleransi terhadap para penganut agama-agama lain.
Belum didapati dalam sejarah dunia suatukebudayaan yang bersendikan agama mampu menumbuhkan sikap dan sifat toleran,adil, dan penuh kasih dan berprikemanusiaa, selain kebudayaan yang berdasarkan dinulul Islam.
Lima buah cirri-ciri kebudayaan Islam di atas cukup membuktikan ketinggian kebudayaan Islam dibandingkan dengan semua kebudayaan yang pernah dan akan ada. Semua manusia yang beragama yang memiliki jiwa merdeka dan akal sehat sudah mendapat kesejukan dan ketenangan hati selama kebudayaan Islam jaya dahulu. Selama masa-masa kejayaan itu, semua manusia merasakan adanya keadilan hokum,  keadilan penguasan Islam. Mereka mendapat pengarahan, pendidikan, pengajaran dan kebahagiaan dari kebudayaan Islam.
Orang yang kuat akan menindas orang yang lemah, begitulah tingkah-laku orang-orang kuat terhadap orang yang lemah. Bukan hanya di zaman sekarang, melainkan di sepanjang sejarah manusia di muka bumi ini. Yang tidak berkelakuan begitu hanyalah umat Islam, sekalipun di masa-masa mereka berkuasa dan berkebudayaan jaya dahulu.
Pada zaman itu, mnanusia ummat dan kebudayaan Islam membimbing manusia, tanpa membeda-bedakan golongan yang kuat dari golongan yang lemah dan tanpa meremehkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki masyarakat Barat atau Timur.

KESIMPULAN:
Keterkaitan Kebudayaan Islam dengan Kebahagiaan Ummat. Sudah kita paparkan di atas Kebudayaan Islam sangat berpengaruh bagi kehidupan ummat manusia, terutama dalam kebahagiaan ummat. Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pedoman Islam, telah menyatakan kesamaan dan kesatuan manusia di dalam kebhinekaan keturunan, suku, ras dan bangsa, ini berpengaruh dalam ketentraman ummat dan juga kebahagiaan ummat.



DAFTAR PUSTAKA
As-Siba’i Musthafa, Kebangkitan Kebudayaan Islam (Jakarta: Media Dakwah, 1987) hal. 70-83.


[1] Lihhat Al-Qur’an, Surah Al-Hujarat, ayat 13
[2] Dichotomisme = pengkotakan (pembagian dalam dua bagian)

Tujuan Al-Qur'an Diturunkan


TUJUAN AL-QIA’AN
DITURUNKAN
Allah telah memuliakan kita kaum muslimin dengan menurunkan sebaik-baik kitab iaitu al-Quran sepertimana Allah memuliakan kita dengan mengutuskan sebaik-baik rasul. Kaum muslimin adalah satu-satunya umat yang mempunyai perutusan dari langit yang terpelihara daripada penyelewangan dan kebatilan. Perkara ini disebabkan kerana Allah sendiri yang memeliharanya. Firman Allah yang bermaksud : "Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya kami yang memeliharanya." (Al-Hajr, ayat 9)
Al-Quran adalah cahaya yang menerangi hati-hati manusia ke arah jalan kebaikan dan kebajikan. Antara ciri-ciri dan keistimewaan al-Quran adalah pertama, ia merupakan kitab ilahi iaitu datangnya dari Allah yang tidak ada keraguan padanya. Allah menurunkan al-Quran melalui Malaikat Jibrail. Firman Allah yang bermaksud : " Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara teperinci yang diturunkan di sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi maha Mengetahui." (Hud, ayat 1)
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّـهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّـهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

”Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (Al-Quran) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk memelihara serta mengawasinya. Maka jalankanlah hukum di antara mereka (Ahli Kitab) itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikut kehendak hawa nafsu mereka (dengan menyeleweng) dari apa yang telah datang kepadamu dari kebenaran. Bagi tiap-tiap umat yang ada di antara kamu, Kami jadikan (tetapkan) suatu Syariat dan jalan ugama (yang wajib diikuti oleh masing-masing). Dan kalau Allah menghendaki nescaya Ia menjadikan kamu satu umat (yang bersatu dalam ugama yang satu), tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah kamu membuat kebaikan (beriman dan beramal soleh). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, maka Ia akan memberitahu kamu apa yang kamu berselisihan padanya.”
(Surah Al-Maidah 5: Ayat 48)
 
Al-Qur’an Sebagai Petunjuk Hidu
Pada zaman modern ini mushaf al-Qur’an telah dicetak di seluruh dunia beserta terjemahannya dalam berbagai bahasa. Namun, sangat disayangkan banyak orang belum mampu memahami maksud Allah menurunkan al-Qur’an. Sehingga fakta menunjukkan bahwa mushaf al-Qur’an hanya menjadi asesoris rumah tangga saja, atau hanya dibaca saja dan sebagian menghafalnya dengan baik. Hal tersebut tidak jelek karena telah ada kepedulian terhadap al-Qur’an.
Akan tetapi kepedulian terhadap al-Qur’an tidak boleh berhenti pada batas tersebut, karena maksud Allah menurunkan al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia, membenarkan penyelewengan isi dari kitab suci sebelumnya dan membedakan gagasan yang benar dengan gagasan yang salah. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
(Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk yang telah ada (dalam kitab suci sebelumnya) dan pembeda (antara gagasan yang benar dengan gagasan yang salah).
Memang Allah menciptakan manusia dan menyempurnakan penciptaanNya dan sekaligus membuat ketentuan-ketentuannya serta memberikan petunjuk bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan dunianya dan kehidupan alam kuburnya serta akhiratnya. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah al-A’la (87) ayat 1-3 :

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى(1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى(2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى(3)
(Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaanNya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk).
Jika tujuan al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, maka seharusnya para wisudawan hari ini tidak boleh merasa puas ketika telah mengajarkan cara membaca al-Qur’an dan menghafalkannya. Karena jika berhenti di sini saja, maka tujuan diturunkan al-Qur’an tidak akan tercapai sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupannya.
Memang seseorang yang akan memahami al-Qur’an tidak mungkin tanpa membaca al-Qur’an terlebih dahulu, begitu juga seseorang tidak mungkin dapat mempraktekkan al-Qur’an tanpa memahami al-Qur’an terlebih dahulu. Oleh karena itu, tiga kata membaca, memahami dan mempraktekkan isinya tidak dapat dipisahkan.

Kalau kita membaca petunjuk pemakaian obat, maka tentunya dituntut memahaminya dan jika sudah memahaminya dituntut melaksanakan petunjuk tersebut. Jika kita hanya membaca saja, tentu tidak sesuai maksud penulisnya, begitu juga ketika kita puas hanya memahaminya tanpa melaksanakan petunjuk tersebut kita akan overdosis, maka bukan kesembuhan yang didapat, tetapi makin parah sakitnya bahkan mungkin saja mengantarkan orang yang meminumnya ke alam kubur.

Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang membaca al-Qur’an, namun tidak mau menggunakan petunjuknya, berarti ia tidak lebih cerdas dari sebuah gunung. Karena seandainya al-Qur’an diturunkan kepada gunung tentu gunung itu akan tunduk dan melaksanakan sepenuhnya petunjuk al-Qur’an dikarenakan takut kepada Allah. Perumpamaan tersebut digambarkan dalam surah al-Hasyr (59) ayat 21 :

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

(Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah (melaksanakan isi al-Qur’an) disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir).
Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan tidak lain kecuali untuk suatu tujuan yang agung yaitu sebagai pelajaran dan hukum. Adapun pada saat ini, banyak manusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat-saat tertentu saja, “Diantara mereka ada yang hanya membaca saat ada kematian, diantara mereka ada yang hanya menjadikannya sebagai jimat dan diantara mereka ada yang hanya mengenalnya pada saat bulan Ramadhan saja.”
Memang benar bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an, kita dianjurkan agar memperbanyak membaca Al Qur’an pada bulan ini. Namun tidak sepantasnya seorang muslim berpaling dari kitab yang mulia ini di luar bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan keutamaan yang begitu

Selasa, 13 Maret 2012

Ilmu Tauhid

ILMU TAUHID

A.   Eksistensi Allah

Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi.? Dia menyeru kamu (untuk beriman) agar Dia mengampuni dosa-dosamu dan menangguhkan-(siksaan)mu sampai waktu yang di tentukan?” Mereka berkata, “kamu hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu ingin menghalangi kami (menyembah) apa yang dari dahulu disembah nenek moyang kami. Karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Qs. Ibrahim:10)

Percaya adanya Allah adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Karena sesungguhnya percaya adanya Allah merupakan bagian dari rukun iman yang pertamakali diimani dari keenam rukun iman lainnya. Maka dari itu, bilamana seseorang bisa dikatakan dia muslim, tapi tidak ada rasa iman atau percaya akan adanya rukun iman yang enam itu?. Maka, tentunya Orang muslim sudah pasti dia juga mu’min. Namun, bisa jadi tidak sebaliknya. Orang yang mu’min (hanya percaya adanya Allah, malaikat, kitab suci, Rasul-rasul) belum tentu disebut muslim. Boleh jadi hal itu merupakan bagian dari golongan orang-orang atheis.

Nah, untuk itu, kita sebagai orang islam dan tentu saja orang yang beriman, dan agar itu tidak hanya sebagai rasa kepercayaan di hati saja, kiranya kita juga wajib menyibak rahasia dibalik kebenaran-kebenaran adanya Allah itu dengan pengkajian-pengkajian ilmu Allah, baik yang tertulis maupun tersurat dari apa yang Allah ciptakan di alam semesta ini.

Wujud (adanya) Allah

“Allahlah yang menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya”

Nikmat yang paling besar yang di berikan Allah kepada manusia adalah diberikannya akal yang mampu berfikir melebihi dari mahluk-mahluk lainnya. Maka kiranya, sebagai orang yang mampu menghargai akal-fikiran, kita tak akan pernah mau untuk tidak mengunakannya dalam berfikir pada perspektif yang benar. Dan itu termasuk dari memikirkan akan kebesaran-kebesaran Allah swt.

Mencari bukti akan adanya Allah, merupakan pangkal dari soal-soal lainnya, disisi lain seperti tentang masalah keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Sebagaimana hal ini merupakan sesuatu yang serius yang menjadi kajian para cerdik cendikia muslim, baik aliran-aliran ilmu kalam, maupun filosof-filosof islam.

Untuk itu, kesadaran adalah masalah yang harus dijaga sehubungan seorang hamba yang sedang bergejolak ingin mengetahui dan membuktikan wujud penciptanya. Karena dengan kesadaran diri seseorang itulah yang mampu mengantarkannya menemukan suatu eksistensi yang besar yang berkaitan dengan wujud dirinya dan yang mengatur alam semesta.





Dalam mengartikan wujud Allah adalah bukan berarti kita memaknainya sebagaimana keadaan yang kita inginkan. Bukan berarti wujud Allah itu langsung dapat di indra. Melainkan, wujud Allah adalah kepastian adanya Allah. Allah pasti ada. Dan bukti bahwa Allah ada, adalah wujudnya mahluk dan alam semesta. Maka, kalau Allah tidak ada, tentu semua mahluk dan alam semesta pasti tidak ada pula. Sebagaimana firmannya: “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Dan untuk mengaris bawahi wujud Allah swt. yang dapat dibuktikan melalui ciptaan dan perbuatan-Nya, Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan: “Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku ingin di kenal, maka Ku ciptakan mahluk agar mereka mengenal-Ku.” Maka, oleh karenanya, setiap orang muslin wajib mengetahui dengan jelas sifat-sifat yang wajib bagi Allah, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat yang menjadi kehendak-Nya.

Sifat wajibnya Allah atau sifat yang pasti bagi Allah dikelompokkan menjadi empat bagian:
1.      Sifat Nafsiyyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan dzat Allah swt. Dan sifat yang tergolong dalam kelompok ini adalah sifat al-Wujud (ada).
2.      Sifat Salbiyyah, yaitu sifat Allah yang menolak sifat-sifat yang tidak sesuai atau tidak layak bagi Allah swt. adapun sifat yang tergolong dalam kelompok ini adalah:
Ø  al-Qidam (dahulu),
Ø  al-Baqa’ (kekal),
Ø  al-Mukhallafatu lil hawadisi (berbeda dari mahluk),
Ø  al-Qiyamuhu binafsihi (mandiri),
Ø  al-Wahdaniyyah (esa).
3.      Sifat Ma’ani, yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain, lantaran kebenarannya dapat dibuktikan dengan panca indra. Dan sifat yang termasuk kelompok ini adalah:
Ø  al-Qudrah (mampu),
Ø  al-Iradah (bebas),
Ø  al-Ilmu (tahu),
Ø  al-Hayah (hidup),
Ø  al-Sam’u (mendengar),
Ø  al-Basar (melihat),
Ø  al-Kalam (berfirman).
4.      Sifat Ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat-sifat ma’ani, atau keaktifan sifat-sifat tujuh diatas. Termasuk kelompok ini adalah:
Ø  Kaunuhu Qadiran (sungguh zat yang mampu)
Ø  Kaunuhu Muridan (sungguh zat yang bebas)
Ø  Kaunuhu Aliman (sungguh zat yang tahu)
Ø  Kaunuhu Hayyan (sungguh zat yanghidup)
Ø  Kaunuhu Sami’an (sungguh zat yang mendengar)
Ø  Kaunuhu Bashiran (sungguh zat yang melihat)
Ø  Kaunuhu Mutakalliman (sungguh zat yang berbicara).

Dalam kajian ilmuTauhid, sifat disini hanyalah sebagai sesuatu yang menempel pada zat, maka oleh karenanya, tidak bisa di ungkapkan zat itu sama dengan sifat. Dan sifat Allah itu lah yang menempel pada zat Allah. Bukan kok zat Allah ya sifat Allah itu.



 Dan kiranya jika kita masih sulit untuk mengenali eksistensi Allah melalui sifat wajibnya, maka kita bisa mengenali-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya. Yaitu:


§  al-Adam (tidak ada)
§  al-Hadas (baru)
§  al-Fana’ (sirna)
§  al-Mumasalatuhu lilhawadisi (sama seperti mahluk)
§  al-Ihtiyajuhu li ghoiri (butuh pada yang lain)
§  al-Ta’adud (berbilang/lebih dari satu)
§  al-Ajzu (lemah)
§  al-Ikrahah (dipaksa)
§  al-Jahlu (bodoh)
§  al-Mautu (mati)
§  al-Syamamu (tuna rungu)
§  al-‘Ama (tuna netra)
§  al-Bukmu (tuna wicara)
§  Kaunuhu Ajizan (ada-Nya lemah)
§  Kaunuhu Mukrahan (ada-Nya dipaksa)
§  Kaunuhu Jahilan (ada-Nya bodoh)
§  Kaunuhu Mayyitan (ada-Nya mati)
§  Kaunuhu Asyamma (ada-Nya tuna rungu)
§  Kaunuhu A’ma (ada-Nya tuna netra)
§  Kaunuhu Abkama (ada-Nya tuna wicara).



Demikianlah kiranya cara yang mungkin bisa kita lakukan dalam menemukan dan mengenali wujud adanya Allah swt. dengan membandingkan sifat-sifat yang wajib dengan yang mustahil.

Pembuktian eksistensi Allah

“Allah pun bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Dia”

Dalil yang digunakan dalam mencari bukti adanya Allah dalam ilmu tauhid adalah:
1.      Dalil Aqli, yaitu dalil atau bukti yang dapat diterima oleh akal pikiran yang sehat(ratio).
2.      Dalil Naqli, yaitu dalil yang berupa firman Allah dan sabda Nabi (al-Quran dan as-Sunnah).

Meski banyak langkah dalam menunjukkan adanya jejak-jejak atas sifat-sifat dan sifat-sifat atas zat Allah, namun menurut Mulla Shadra, ada dua metode yang di anggapnya paling baik:
 Pertama, Mengenal diri kemanusiaan. Artinya, mengenali unsur-unsur terbentuknya wujud diri. Secara jasmaniahnya (materi) dan rohaniahnya (nafs). “Dan dibumi terdapat tanda-tanda  (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) didalam dirimu sendiri, tidakkah kalian memperhatikan?” (Qs.al-Zariyat:20-21).
 Kedua,  Memperhatikan cakrawala dan diri sendiri. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami dicakrawala dan didalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa apa yang dijelaskan al-Qur’an tentang Allah adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Qs. fussilat: 53).

Jadi, dapat kita simpulkan bahwasannya, dengan kita melihat wujud kita dan di ciptakannya alam semesta, kita akan bisa menemukan eksistensi Allah swt. Mulla shadra menambahkan, eksistensi Allah adalah eksisitensi itu sendiri dan tanpa campuran dan tidak berbilang. Karena wujud Allah adalah wajibul wujud atau pasti adanya. Dan eksistensi-Nya adalah eksistensi semua yang berwujud dan Dia adalah hakikat yang paling murni tanpa ada campuran.segala sesuatu yang wujud tak lepas dari pantauan-Nya, yang besar maupun yang kecil. “Dan jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang selain Allah. Tidak ada Tuhan yang berhak di sembah selain Dia. segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. Segala keputusan menjadi wewenangnya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan” (Qs. Al-Qasas: 88).


Meskipun secara indrawi, kita tidak pernah melihat secara langsung bentuk eksistensi dzatiyyah Allah, namun kepercayaan kita membenarkan wujud ada-Nya. Dan hal ini bisa dibuktikan dengan wujud adanya kita dan alam semesta. “Allah lah dzat yang menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya”.

            namun, bilamana orang tahu eksistensi Allah sedang saat itu al-Qur’an belum diturunkan?.

Sebelum lahirnya Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Sudah begitu banyak ahli-ahli fikir (filsuf) yang dengan akal dan fikiran mereka dapat membenarkan adanya Allah dengan berbagai cara. Ada 4 cara yang mereka yakini untuk dapat menemukan dan mempercayai adanya Allah:

1.    Teori metafisik, teori yang berdasarkan pada pembenaran rasio.
Menurut akal, alam yang maha luas yang terdiri dari bumi, bulan, matahari dan berjuta-juta bintang, tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Jangankan bumi dan matahari yang begitu besar, seekor nyamuk yang kecil dan sehelai bulu rambutpun tidak akan mungkin terjadi dengan sendirinya saja. Pasti ada yang menjadikan atau menciptakan yaitu Tuhan.

2.    Teori fisik, teori yang terdiri dari wujud alam.
            Teori ini dapat dibuktikan dari pengamatan benda-benda yang mengalami pergantian keadaan yang bemacam-macam, baik bentuk, warna, gerak, berkembang dan perubahan-perubahan lainnya. Yang tiada lain mereka yakini bahwa itu semua pasti ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan.

3.    Teori Teleologi, teori yang diambil dari susunan dan keindahan alam.
Dari banyaknya pengamatan yang telah mereka lakukan dengan melihat susunan alam raya yang begitu stabil dan kondusif, begitu bagus nan indah. Tentunya semua itu ada yang mengatur perjalanannya. Dan itu pasti Tuhan.

4.      Teori Moral, teori yang di ambil melalui bentuk tingkah laku atau akhlak.
Perubahan sikap individu yang terjadi di suatu wilayah tertentu nampak begitu membuktikan bahwa selain mahluk diberi kebebasan bergerak dalam langkahnya menun mereka juga masih memiliki sikap ketidak stabilan yang boleh jadi datang dari faktor lingkungannya. Diantara manusia ada yang hidup senang, ada kesedihan, ada kejayaan, ada penindasan, ada kebaikan dan ada keburukan, dan itu semua pasti ada yang mengendalikannya. Siapa lagi kalau bukan Tuhan.

“Allah, tiada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Miliknya apa yang dilangit dan apa yang di bumi, tidak ada yang memberi syafaat disisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apapun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduannya, dan Dia maha tinggi lagi maha besar.”(Qs.al-Baqarah:255)



B.  Kemaha Esaan Allah

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa”. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Qs. Al-Ihlas: 1-4)

Setelah mengkaji dalam mengetahui dan membuktikan wujud adanya Allah, membahas kemaha esaan-Nya merupakan langkah wajib pula yang juga harus kita imani. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, didalam al-Qur’an dikemukakan tiga pokok bukti kemaha Esaan Allah, yaitu:
1.      Kenyataan wujud yang tampak.
2.      Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3.      Dalil-dalil logika.
Keesaan Allah disini maksudnya adalah keesaan dalam kemestian Allah. Untuk itu dalam mengkaji masalah keesaan Allah kita tak lepas dari meliput eksistensi Allah. Karena wujud dan esanya Allah adalah sesuatu yang tak mungkin dipisahkan.

1.        Kenyataan wujud yang tampak.

Dalam hal ini, al-Qur’an mengunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini. Allah selalu memperingatkan manusia untuk melakukan Nazhar, fikr, dan berjalan dipermukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang  mewujudkan, yaitu Allah Yang Maha Esa. “Maka tidakkah mereka melihat unta bagaimana ia diciptakan?. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (Qs. Al-Ghasyiyah: 17-20).
Diuraikannya pula tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. Sebagaimana dalam Qs. Qaf: 6-8. “tidakkah mereka melihat ke langit diatas mereka, bagaiman Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?. Dan Kami hamparkan bumi serta kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Itu semua untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada-Nya)”

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, maka tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?. Kemudian, pandanglah sekali lagi, maka niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu  tanpa menemukan cacat dan penglihatanmu pun dalam keadaan payah.” (Qs. Al-Mulk:3-4)

2.        Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an misalnya mengingatkan manusia, sebagaimana dalam Qs. Yunus: 22. “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan berlayar di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya. (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo’a kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

3.        Dalil-dalil logika

Begitu banyak ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliyah tentang keesaan Allah, antara lain: “Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-An’am: 101)
“seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa.” (Qs. Al-Anbiya’: 22)

jadi, seandainya ada dua pencipta, maka akan kacaulah segala ciptaan. Karena  masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lainnya dan Saling mengalahkan. Maka, yang kalah bukanlah Tuhan, karena Tuhan itu tak tertandingi oleh selainnya, mahluk. Begitupun bila kok kedua Tuhan itu saling bersepakat, maka itu bukti kebutuhan dan kelemahan mereka. Sedang Tuhan itu bersifat mandiri. Tuhan tidaklah mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.

Macam-macam keEsaan

“Tuhanmu adalah Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain Dia, Dialah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 163)

Keesaan Allah meliputi empat bagian, yang antara lain adalah:
1.      Keesaan Zat-Nya.
2.      Keesaan Sifat.
3.      Keesaan Perbuatan.
4.      Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

1.        Keesaan Zat-Nya.

Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya kepada Allah swt. yang tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian. Karena, bila Zat Yang Maha Kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih –betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- maka, berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain, unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.

Allah tidak membutuhkan semua unsur atau bagian itu, karena itu adalah muhal bagi Allah. “wahai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah, dan Allah Maha Kaya tidak membutuhkan sesuatu dan Dia Maha Terpuji” (Qs. Al-Fatir: 15). Allah adalah segala sumber sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu apapun. “Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Al-Syura: 11). Ayat ini memberi penegasan bahwasannya, yang serupa dengan Allah pun tidak ada, apalagi yang sama dengan-Nya. Baik secara faktual maupun imajinatif.

2.        Ke Esaan sifat-Nya.

Mengandung pengertian bahwa Allah swt memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat mahluk. Walaupun dalam segi bahasa, kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut itu sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah. Tapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang mahluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat mahluk-Nya.

3.        Ke Esaan perbuatan-Nya.

Mengandung arti bahwa, segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerja maupun sebab dan wujudnya, kesemuannya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang di kehendaki-Nya, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, tidak akan terjadi.
Tiada daya (untuk memperoleh manfaat), tiada pula kekuatan (untuk menolak madharat), kecuali bersumber dari pada-Nya. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah swt. berlaku sewenang-wenang, atau bekerja tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya.

Dalam mewujudkan kehendak-Nya, Allah tidak membutuhkan apapun. “sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata, “jadilah!” maka jadilah ia.” (Qs. Yasin: 82). Tetapi ini bukan berarti juga bahwa Allah membutuhkan kata “jadilah”. Dan ayat ini hanya bermaksud mengambarkanbahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu, Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa esgala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai kehendak-Nya.

4.        Ke Esaan dalam beribadah kepada-Nya.

Setelah kita meyakini ketiga keesaan tersebut, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan itu. Mengesakan Allah dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (wajib) maupun selain itu. Sebagaiman tergambar dalam Qs. Al-An’am: 162 “katakanlah, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, (semuanya) demi karena Allah, Pemelihara seluruh alam.”

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuaannya bernilai ibadah kepada Allah swt. dan jiwanya tak akan mudah tergoyahkan oleh keadaan yang ditemuinya. Karena “orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengigat Allah. Ingatlah! Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. Al-Ra’d: 28).

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam itu, ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Qs. Yusuf: 39)

KESIMPULAN

Adanya manusia dan terciptanya alam semesta adalah bukti adanya Allah, Sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana bisa hati kita masih di bumbui rasa keraguan akan eksistensi dan kemaha Esaan-Nya, bila kita dengan akal-fikiran kita mau mencari kebenaran itu dengan baik.  “apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Qs. Ibrahim: 10).

Meskipun entitas mahluk adalah merupakan eksistensi wujud Allah, namun Allah bukanlah mahluk, bukan zat yang terdiri dari unsur-unsur materi dan bilangan. Semua mahluk adalah baru, sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Dahulu lagi Maha Abadi. Semua mahluk memiliki batas, namun Allah adalah Dzat Yang Maha Bebas Tanpa Batas lagi Maha Mandiri. “adakah yang mengadakan dapat disamakan dengan yang tidak mengadakan? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata,”ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau”. Allah berfirman:”Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu akan dapat melihat-Ku. Dan tatkala Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, maka gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”

            Bukan derajat kita, bila kita mengharapkan bukti wujudnya Allah sebagaimana yang di kisahkan dalam al-Qur’an. Setingkat Para Nabi dan Rasul pun tak mampu di melihat dikala Allah hendak memperlihatkan wujud-Nya. Karena merea dapat berbicara dengan Allah pun melalui banyak hijab-hijab. Itulah kita mahluk ciptaan yang lemah dan banyak keterbatasan. Maka, oleh karena, dengan bisa merenungkan akan keindahan dan kuasa-Nya itu merupakan suatu kenikmatan yang tak lagi terkirakan.



















DAFTAR PUSTAKA

1.        Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya.
2.        Al-Aqqad, Mahmud, Abbas, “Tuhan disegala zaman”: Pustaka firdaus, 1991
3.        Al-Marzuqy, Ahmad, “Terjemah dan syarah Aqidatul Awam”: al-Hidayah.
4.        Arifin, Bey,”Mengenal Tuhan”: PT. Bina ilmu,1994
5.        Hanafi, A, “Theology Islam (ilmu kalam)”: N.V. Bulan Bintang:1982
6.        Shadra, Mulla, “Teosifi Islam”: Pustaka Hidayah, Bandung, 2005
7.        Shihab, Quraish, M, “wawasan al-Qur’an: tafsir tematikatas pelbagai persoalan umat”: Mizan pustaka, 2007.