Translate

Kamis, 11 Oktober 2012

KEGIATAN KEROHANIAN ISLAM DAN FUNDAMENTALISME AGAMA


A.    Analisis Kecenderungan Perilaku Agama di Sekolah/Kampus.
Dalam perubahan perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang merupakan suatu kemungkinan baik dalam artian positif dan kemungkinan buruk dalam artian negatif dalam segi kualitas dan kuantitas maupun dalam segi perubahan struktur secara total. Segikualitas yaitu perubahan nilai sosial keagamaan apakah meningkat atau menurun, bermutu atau tidak bermutu.Segi kuantitas yaitu perubahan banyak sedikitnya atau sebagian dan menyeluruh. Perubahan tersebut merupakan gejala yang direfleksikan oleh kekuatan dari dalam dan luar.
Misalnya, kondisi iman, psikis/pikir, kultur masyarakat maupun keadaan lingkungan.Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk yang beragama. Namun untuk menjadikan manusia memiliki perilaku sosial keagamaan yang positif, maka potensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang mengenalkan seseorang akan nilai-nilai dan norma-norma agama yang harus dituruti dan dilakonkan. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku sosial keagamaan adalah;
1)      Faktor genetic, Adalah segala hal yang oleh seseorang dibawa sejak lahirdan warisan dari kedua orang tuanya. Jadi, dalam manusia sendiriada potensi atau kemauan untuk mengubah dirinya
2)       Faktor lingkungan, Yang dimaksud adalah situasi dan kondisi yang dihadapioleh seseorang dalam rumah dan dalam lingkungan yang lebihluas, terutama lingkungan masyarakat dekat yang dilihat dandihadapinya sehari-hari.
3)       Faktor pendidikan, Faktor pendidikan adalah segala usaha sistematis yangberlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain, baik formal maupun non formal.

4)      Faktor tingkat usia Hubungan antara tingkat usia dengan perilaku social keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja, berbagaipenelitian psikologi menunjukkan adanya hubungan tersebut,meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktorpenentu dalam perilaku sosial keagamaan seseorang, yang jelaskenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan perilaku sosialkeagamaan pada tingkat usia yang berbeda.
5)       Faktor pengalaman, Yang dimaksud adalah keseluruhan pelajaran yang dipetikoleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilalui dalamperjalanan hidupnya
Budaya agama berupa perilaku keagamaan yang mentradisi di sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional melalui visi, misi dan program serta budaya sekolah. Bahwa membentuk output yang memiliki karakter positif tidak cukup dengan pembelajaran yang unggul, namun penciptaan budaya sekolah juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Budaya sekolah merupakan factor penting dalam membentuk siswa menjadi manusia yang penuh optimis, berani,terampil, berperilaku kooperatif, memilih kecakapan personal akademik.
Biasanya sekolah–sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan tertentu hanya dilihat dari beberapa variable seperti perolehan nilai dan kondisi fisik, sementara hal lain yang tampak justru lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai values, keyakinan beliefs, budaya, dan norma perilaku yang disebut The Human side of organization (aspek manusia dalam organisasi) kurag di perhatikan.
Pada hakekatnya sekolah bukanlah sekedar tempat transfer of knowledge belaka, sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengupayakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah. Dengan demikian tidak bisa dilakukan semata–mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Pertama, menerapkan pendekatan modeling atau uswah hasanah yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui keteladanan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah" yang hidup living exemplary bagi setiap peserta didik, mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik.
Kedua, Menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah –langkah; memberi penghargaan prizing dan menumbuhsuburkan cherising nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah discouraging berlakunya nilai-nilai buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternative sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan ;membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik dan tujuan-tujuan ideal ;membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola –pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berbasis karakter character-based education. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan kedalam setiap mata pelajaran yang disamping mata pelajaran –mata pelajaran yang terkait khusus untuk pendidikan karakter,sepeti mata pelajaran PAI ( aqidah akhlak,fiqih,qur,an hadist) , Pkn,sejarah dan sebagainya.
Peran agama dalam kehidupan individu dan masyarakat yang terus berkembang, dan juga sebaliknya bagaimana tuntutan akan perubahaan dalam kehidupan sosial itu telah  membentuk konstruksi pemikiran dan perilaku religius masyarakat, menuntut arah baru dalam studi agama-agama, yaitu perlunya pendekatan yang bersifat multidimensional. Oleh karena itu, sudah menjadi satu keharusan  jika arah baru studi agama dewasa ini cenderung tidak sekedar memberi tekanan pada penggunaan pendekatan teologis semata, tetapi juga secara komprehensif menggunakan pendekatan sebagaimana berkembang dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, seperti pendekatan historis, psikologi, sosilogi, antropologi, maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Demikian halnya kecenderungan dalam kajian Islam dewasa ini, juga tidak sekedar murni kajian keislaman, namun kajian itu mulai diintegrasikan dengan bidang ilmu lainnya, seperti ilmu sosial-humaniora  dan juga bidang sains dan teknologi. Oleh karena itu pendekatan sosiologi, sebagaimana juga pendekatan-pendekatan bidang keilmuan lainnya menjadi kebutuhan yang mendesak dalam mengembangkan studi agama-agama (khususnya studi Islam).
B.     Kegiatan Kerohanian Islam
Dalam beberapa kesempatan kita telah mencatat bahwa sebagian besar sosiologi pendidikan menggunakan lembaga-lembaga pendidikan, dengan demikian tidak memperhatikan proses yang berlangsung di dalam sekolah dan collega itu sendiri. Yang sangat penting, baik dalam apresiasi sekolah sebagai organisasi maupun dalam mengevaluasi hakikat reproduksi sosial, adalah pemahaman bagaimana pengetahuan didefinisikan, dialihkan dan dievaluasi di dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Di dalam sosiologi pendidikan tidak adanya pemahaman ini bertitik tolak pada kealpaan kita memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh durkheim dan Weber satu abad yang lampau.
Durkheim (1977) di dalam kuliah-kuliahnya mengenai sejarah pendidikan Prancis, selalu mempertautkan apa yang diajarkan disekolah dengan iklim politik dan moral zaman yang bersangkutan. Tesis Durkheim mengatakan”Transformasi pendidikan selalu merupakan hasi dan gejala dari transformasi sosial dan karena itu pendidikan harus dijelaskan dari sisi ini” (1977, halaman 166).
Menurut Weber dan Durkheim, pengorganisasian ilmu pengetahuan di dalam lembaga-lembaga pendidikan harus diselaraskan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam struktur sosial. Mereka menyadari bahwa keputusan tentang pengetahuan mana yang harus diajarkan di sekolah tidak mempunyai kesahihan yang a priori melainkan mencerminkan pemecahan persial dari konflik di antaranya pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia.
 Seperti halnya kegiatan-kegiatan yang dapat mewujudkan suatu pencerahan demi kemajuan generasi. Salah satunya adalah dengan adanya kegiatan kerohanian islam. Kegiatan ini banyak dikembangkan di sekolah-sekolah. Kegiatan kerohanian islam sering disebut dengan rohis, yang telah dibentuk menjadi sebuah organisasi sekolah dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan kerohanian islam pada suatu sekolah tersebut. Sehingga ada tindakan nyata yang diharapkan mampu membangun dan mengembangkan religiousitas (rasa agama) pada anak.
Imlementasi PAI pada sekolah umum yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu terasa sangatlah kurang dalam rangka mengembangkan kemampuan atau bakat siswa dalam bidang keagamaan khususnya Islam. Kegiatan ekstra kurikuler bisa melengkapi kekurangan jam pelajaran agama Islam yang hanya 2 jam tersebut, malah kegiatan ini bisa menjadikan media atau wadah siswa mengembangkan kemampuan maupun memperdalam ilmu keislaman.
Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis umumnya merupakan organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), terutama di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian Islam ini dibentuk untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya, seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius bagi para siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena melalui Rohis inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan.
Sebut saja, Malam Bina Iman dan Taqwa (MABIT). Dalam kegiatan satu malam ini setiap siswa mendapati suasana religius yang jarang didapatinya di rumah. Sepanjang malam seluruh siswa berkesempatan untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Allah. Bisa berupa sholat Isya berjamaah, sholat tahajjud, dan tadarus Al-Qur’an. Kegiatan ini secara langsung dapat membantu pembiasaan memanfaatkan waktu malam untuk ibadah.
Saat ini, kualitas kegiatan Rohis telah berkembang dari peningkatan sikap religius menuju peningkatan pemahaman akan ajaran Islam. Kajian rutin setiap bulannya telah diprogramkan untuk kajian hadis, fiqih, aqidah, akhlak, dan tarikh. Bukan hanya itu, sering pula menggelar kajian khusus untuk membahas problematika remaja dengan cara pandang Islam. Hal ini bisa jadi merupakan pengalaman baru bagi banyak siswa, dan ilmu agama menjadi keuntungan yang tak kalah penting dibanding berbagai ilmu yang diperoleh di kelas.
Lebih jauh lagi, Rohis merupakan wadah penyalur kompetisi dan kreativitas diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa menyalurkan bakat yang dimiliki para remaja. Semisal membaca Al-Qur’an, pengetahuan Islam, dan dakwah. Sekolah memiliki keterbatasan dalam menyalurkan bakat para siswanya. Dalah bidang ini, Rohis memiliki keleluasaan dalam menyalurkannya. Misal, kegiatan Pemilihan Dai Remaja (PILDAREM) untuk menyalurkan kreativitas diri di bidang dakwah. Kegiatan-kegiatan tersebut secara otomatis dapat membentuk sikap religius bagi siswa yang terlibat.
Mengingat manfaat Rohis yang cukup besar, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kinerja Rohis dapat dilakukan secara menyeluruh. Pertama, perlunya perhatian khusus dari para pengurus Rohis agar mampu mengembangkan program-program kegiatannya. Kedua, sekolah perlu memberikan ruang gerak yang luas kepada Rohis agar dapat merealisasikan programnya, misalnya dengan memberikan dukungan fasilitas, dana, dan waktu. Terakhir, dukungan dari orang tua kepada putra-putrinya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi dengan memberikan kepercayaan bahwa berorganisasi di Rohis akan membentuk sikap yang baik dan bermanfaat.
C.      Fundamentalisme Agama
Belakangan ini istilah fundamentalisme cukup hangat dibicarakan di media massa, tidak hanya di tingkat nasional tapi internsional juga. Hal ini terjadi seiring merebaknya aksi terorisme yang berlindung di bawah paham fundamentalis agama terutama islam. Sehingga istilah fundamentalis identik dengan “fundamentalisme islam” atau “islam fundamentalis” yang memiliki kesan negatif dan ekstrimisme.
Padahal kalau dilihat lebih dalam lagi fundamentalis yang berakar pada agama ini tidak hanya islam saja tapi juga agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Yahudi dan Konghucu). Bahkan istilah fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah.
Sementara itu dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini, mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.
Dengan modifikasi konsep Martin E. Marty, prinsip dasar fundamentalisme agama dipilah Azyumardi Azra (1993) ke dalam empat ragam. Pertama, oposisionalisme. Setiap pemikiran dan arus perubahan yang mengancam kemapanan ajaran agama harus senantiasa dilawan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Pada titik ini, teks suci serta-merta menjadi ruang yang kedap kritik. Ketiga, penentangan akan pluralisme sosial. Masyarakat mesti seragam dan tak boleh beragam. Keempat, pengingkaran terhadap perkembangan historis dan sosiologis umat manusia. Bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa menjadi fundamen, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu. Hanya saja, yang laik diperselisihkan adalah mengapa sikap fundamental itu hanya bersifat doktrinal dan cenderung kaku, sehingga ia tidak kuasa bergerak plastis mengikuti kelenturan perkembangan social.
Dengan analogi yang menarik, Zuhairi Misrawi (:2003) pernah mengelompokkan aksi fundamentalisme ini ke dalam tiga kubu. Pertama, fundamentalis radikal yaitu mereka yang gemar mempraktikkan kekerasan dengan dalih agama. Kedua, fundamentalis politik yakni mereka yang menjadikan doktrin agama sebagai dasar politik. Sedangkan ketiga adalah fundamentalis moderat yaitu kaum taat beragama yang menerima dan sudi berdamai dengan perkembangan modernitas.
Agama merupakan model kesadaran yang sangat lain dibanding dengan suasana sekuler atau profane dari kepentingan manusia dan tindak-tanduknya, secara fundamental ia disebut heterogen. Ketiga, agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu objeknya adalah supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.
Agama sebagai unsur penting dalam kebudayaan memberikan bentuk dan arah pada fikiran, perasaan dan tindakan manusia. Ia menyeimbangkan orientasi nilai, aspirasi dan edo ideal manusia. Tetapi agama bertumpu pada keyakinan di atas suatu kesepakatan kepara supra empiris. Karena itu semua unsur-unsur nilai, aspirasi dan tujuan yang lain dan berada diatasnya, seperti halnya agama, bertopang pada dasar yang stabil. Di dalam masyarakat sekuler, ketidak setabilan agama dan nilai yang diturunkannya pada tingkat tertentu akan kian jelas, terlihat dan dianggap tidak lagi mungkin melayani masyarakat kuno atau tradisional.
Dengan demikian agama merupakan dorongan bagi pengembangan pemahaman manusia atas diri, perilaku, fikiran dan perasaannya, serta hubungan dengan manusia lain yang dijumpainya dalam masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu yang menerapkan diri pada lapangan khusus, ia boleh disebut masih muda, tetapi ia menawarkan kemungkinan-kemungkinan masa depan yang semarak. Karena agama terkait dengan kebutuhan, perasaan dan aspirasi manusia yang paling dalam, karena agama menyangkut beberapa aspek keadaan manusia yang sangat esensial dan karena makna serta fungsi kedua hal tersebut di atas masih tetap tak terselami oleh kita, maka prospek lanjut studi ini dan penelitian bidang ini akan merupakan isu paling menarik dan tantangan yang menggairahkan bagi mereka yang tetap berminat melanjutkan studi tentang manusia.
Untuk melawan fundamentalisme agama yang berpikiran sempit ini, perlu diperlukan proses tashfiyah (pelurusan) dan tarbiyah (pendidikan) sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Proses pelurusan ini dilakukan dengan meluruskan persepsi manusia akan agama untuk kembali kepada koridor yang benar. Kesalahan perspesi ini telah menimbulkan paham-paham fundamentalisme yang akan merusak nilai universalitas agama itu sendiri. Pelurusan ini sebagai langkah untuk mengembalikan posisi paham fundamentalisme agama ke jalan yang benar. Posisi fundamentalisme agama yang mampu mengantarkan kebersamaan dan berdampingan hidup dalam sebuah perbedaan. Dan posisi yang tetap memberi kebebasan untuk menyebarluaskan ajaran agama dengan tetap memperhatikan ukhuwah atau persaudaraan, kerukunan dengan penganut agama lainnya.
Setelah itu proses pendidikan juga diperlukan sebagai bentuk pembinaan ditanamkannya nilai-nilai agama dengan benar untuk tidak kembali kepada paham fundamentalisme sempit. Selain akan mengenalkan nilai dan prinsip agama, proses pendidikan ini juga sebagai langkah untuk membentuk kader-kader manusia yang religius dan memiliki spiritulisme yang tinggi. Pendidikan ini dilakukan untuk melakukan optimalisasi kualitas kemanusiaan manusia sesuai fitrahnya, dan nantinya akan dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Dalam perubahan perilaku sosial keagamaan pada diri seseorang merupakan suatu kemungkinan baik dalam artian positif dan kemungkinan buruk dalam artian negatif dalam segi kualitas dan kuantitas maupun dalam segi perubahan struktur secara total. Adapun faktor yang mempengaruhi perilaku sosial keagamaan adalah; Faktor genetic , Faktor lingkunganFaktor pendidikan, Faktor tingkat usia, Faktor pengalaman
b.      Rohis merupakan wadah penyalur kompetisi dan kreativitas diri. Tidak selamanya kurikulum sekolah bisa menyalurkan bakat yang dimiliki para remaja. Kerohanian Islam atau lebih sering disebut Rohis umumnya merupakan organisasi yang berada di bawah OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), terutama di tingkat SMA. Rohis yang bergerak di bidang kerohanian Islam ini dibentuk untuk meningkatkan sikap religius bagi para siswa. Masalahnya, seberapa besar pengaruh Rohis dalam meningkatkan sikap regilius bagi para siswa? Jawabnya adalah ‘sangat besar’. Karena melalui Rohis inilah seluruh siswa memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan
c.       Fundamentalisme itu muncul pertama kalinya di dunia Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika. Mereka memerangi masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk, mengisolasi dari kehidupan bermasyarakat dan memusuhi akal pikiran hasil penemuan ilmiah. Sementara itu dalam bahasa Arab istilah fundamentalisme tidak dikenal, akan tetapi para peneliti barat menyebutkan istilah ‘ushuliyah’ yang memiliki arti sama dengan fundamentalisme. Ushuliyah dalam bahasa arab ini memiliki arti prinsip-prinsip dasar atau akar yang memiliki makna posistifm, yaitu kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Perbedaan persepsi dan substansi penggunaan istilah yang sama ini, mengakibatkan timbulnya kesalahan dalam proses komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA
Robinson, Philip. 1986. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : CV. Rajawali
Robertson, Roland ed. 1993. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


Philip Robinson. “sosiologi pendidikan” ( Jakarta : CV. Rajawali. 1986) hal. 203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menerima Kritik Dan Saran