Translate

Minggu, 23 Desember 2012

Penelitian Tindakan Kelas


1.      Pengertian PTK
Istilah penelitian berasal dari bahasa Inggris yaitu research (re = kembali, dan search = mencari). Maka dengan itu, research dapat diarikan mencari kembali yang menunjukan adanya proses berbentuk siklus bersusun dan berkesinambungan.
Berikut akan dikemukakan beberapa pengertian PTK yaitu sebagai berikut
1.      Dave Ebbutt (1985)
Penelitian tindakan adalah suatu studi percobaan yang sistematis untuk memperbaiki praktik pendidikan dengan melibatkan kelompok partisipan (guru) melalui tidakan pembelajaran dan refleksi mereka sebagai akibat dari tindakan tersebut.

Jumat, 07 Desember 2012

Bukti adanya ALLAH


Bukti Adanya ALLAH

A.   Eksistensi Allah

Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi.? Dia menyeru kamu (untuk beriman) agar Dia mengampuni dosa-dosamu dan menangguhkan-(siksaan)mu sampai waktu yang di tentukan?” Mereka berkata, “kamu hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu ingin menghalangi kami (menyembah) apa yang dari dahulu disembah nenek moyang kami. Karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Qs. Ibrahim:10)

Percaya adanya Allah adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Karena sesungguhnya percaya adanya Allah merupakan

Rabu, 05 Desember 2012

Film Pena UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKRATA


Pendidik


Istilah pendidik dewasa ini menjadi fokus dari berbagai kalangan dalam dunia pendidikan, karena pendidik menggunakan isitilah yang sangat luas dan konfrehensif, sehingga lebih mengeneralisasikan makna pendidik dalam konteks luas. Tulisan ini mencoba mengungkapkan pengertian pendidik dalam konteks pendidikan Islam, bahkan kadangkala pendidik dilihat dalam bentuk defenisi guru, karena beberapa literatur memakai kata guru, yang maknanya tidak jauh berbeda dengan pendidik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 377), guru adalah manusia yang tugasnya (profesionalnya) mengajar. Sedangkan menurut St. Vembrianto, dkk., (1994 : 21) dalam buku Kamus Pendidikan yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional di sekolah dengan tugas utama mengajar. Sementara pada sisi lain, guru diidentikkan dengan istilah pendidik, karena makna pendidik adalah usaha untuk membimbing, mengarahkan, mentransfer ilmu dapat dilakukan secara umum. Namun istilah guru biasa dipakai untuk pendidik pada lembaga formal, seperti sekolah, madrasah, dan dosen dalam dunia perguruan tinggi.

Hakekat Ilmu Pendidikan Islam

HAKIKAT ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang digunakan dalam proses pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam sebagai pedoman umat manusia khususnya umat Islam.
Pendidikan adalah segala upaya , latihan dan sebagainya untuk menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang

Tujuan Pendidikan Islam


Dalam implementasinya, fungsinya, pendidikan Islam sangat memperhatikan aspek yang mendukung atau unsur yang turut mendukung terhadap tercapainya tujuan dari pendidikan Islam. Adapun aspek atau unsur-unsur tersebut adalah :
1.    Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Fadlil Aljamali yang dikutip oleh Abdul Halim Soebahar sebagai berikut: Pertama, mengenalkan manusia akan perannya diantara sesama (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya.
Kedua, mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawab dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga, mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat, mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya (2002: 19-20).
Tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Sedangkan menurut Zakiyah Dzarajat tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk insan kamil dengan pola taqwa dapat mengalami perubahan, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itulah tujuan pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan (2000: 31).
Hal yang sama pula tujuan pendidikan Islam dapat dipahami dalam firman Allah :
يايهاالدين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون
Arinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (QS. 3 Ali-Imron: 102).
Sedangkan menurut Ahmad D Marimba yang dikutip oleh Halim Soebahar, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya muslim. Dan menurutnya bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup setiap muslim. Adapun tujuan hidup seorang muslim adalah menghamba kepada Allah yang berkaitan dengan firman Allah Surat Dzariat 56 yang berbunyi :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون
Artinya: “Dan aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan untuk meyembah-Ku”.
Dan masih banyak beberapa deskripsi yang membahas tentang tujuan pendidikan Islam seperti konfrensi pendidikan di Islamabat tahun 1980, bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim secara meyeluruh yang harmonis yang berdasarkan fisiologis dan psikologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah Surat Al-An’am Ayat 162:
قل ان صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العلمين
Artinya: “Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah, tuhan semesta alam”. Imam Al-Ghazali mengatakan tujuan penddikan Islam adalah untuk mencapai kesempurnaan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah dan bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Langgulung, 1990: 9).
Maka dari pada itu, tujuan pendidikan Islam dirumuskan dalam nilai-nilai filosofis yang termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Sedanagkan Muhammad Umar Altomi Al-Zaibani yang dikutip oleh Djalaluddin, mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak ul karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulann yaitu “membimbing manusia agar berakhlak mulia”. (2001: 90).
Maka dengan demikian tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan deskripsi di atas ialah menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus meiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya, serta menanamkan kemampuan manusia untuk menolak, memanfaatkan alam sekitar sebagai ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia, dan kegiatan ibadahnya kepada pencipta alam itu sendiri.
Telah kita ketahui, bahwa dasar tujuan pendidikan ditiap-tiap negara itu tidak selalu tetap sepanjang masa, melainkan sering mengalami perubahan atau pergantian, sesuai dengan perkembangan zaman. Perumbakan itu biasanya akibat dari pertentangan pendirian atau ideologi yang ada di dalam masyarakat itu. Hal ini kerap kali terjadi lebih-lebih di negara yang belum stabil kehidupan politiknya, karena mereka yang bertentangan itu sadar bahwa pendidikan memegang peranan penting sebagai generasi bangsa.
Sama halnya dengan tujuan pendidikan di Indonesia juga selalu berubah-rubah, dikarenakan kondisi dan situasi politiknya tidak stabil. Hal ini dibuktikan mulai tahun 1946 sampai pada saat sekarang. Dengan demikian tujuan pendidikan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dirumuskan atas dasar hidup bangsa dan cita-cita negara dimana pendidikan itu dilaksanakan. Sikap hidup itu dilandasi oleh norma-norma yang berlaku bagi semua warga negara.
Oleh karena itu, sebelum seseorang melaksanakan tugas kependidikannya, terlebih dahulu harus memahami falsafah negara, supaya norma yang melandasi hidup bernegara itu tercermin dari tindakannya, agar pendidikan yang diarahkan kepada pembentukan sikap posisi pada peserta didik hendaknya diperhitungkan pula bahwa manusia muda (peserta didik) itu tidak hidup tersendiri di dunia ini. (Uhbiyati, dkk,2001:135-139)

Inovasi Pendidikan Islam


Inovasi Pendidikan Islam Masa Kini
      

A. Pengertian dan Tujuan Inovasi
Inovasi berasal dari bahasa Inggris, “inovation”, yang asal katanya “inovate”, yang diartikan: “make changes (in)introduce new things”. Secara istilah, inovasi adalah megadakan perubahan-perubahan serta mengenalkan hal-hal yang baru.
Inovasi juga sering diartikan dengan perubahan dan pembaharuan pendidikan. Ini mengandung pengertian, bahwa dengan inovasi itu dunia pendidikan kita dapat mengalami perubahan-perubahan serta penggantian-penggantian dengan hal yang baru sesuai dengan kebutuhan pembangunan di bidang penidikan.
Oleh karena itu, tujuan inovasi pendidikan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum dapat diatasi dengan cara-cara yang konvensional secara tuntas.
2.      Untuk mengatasi masalah pendidikan yang menyongsong arah perkembangan dunia kependidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan yang pesat.
Adapun masalah-masalah pendidikan di Indonesia yang dimaksudkan adalah:
1.      Masalah pemerataan pendidikan.
2.      Masalah mutu pendidikan.
3.      Masalah efektifitas dan relevansi pendidikan.
4.      Masalah evisiensi pendidikan.[1]
B. Penyebab Lahirnya Inovasi
Kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan berjalan perlahan setelah Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongol pada tahun 1258. Meskipun kejayaan Islam masih berlanjut hingga berakhirnya Turki Ustmani, namun dalam bidang ilmu pengetahuan umat Islam mengalami kemunduran, karena umat Islam ketika itu kurang tertarik kepada sains, sebagaimana umat Islam pada masa sebelumnya.
Umat Islam mulai sadar akan ketertinggalannya dari dunia Barat pada sekitar abad ke-19. Negara Islam di bagian Barat dan Timur membuka mata umat Islam untuk menyaingi Barat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab lahirnya inovasi dalam pendidikan Islam bukan akibat adanya pertentangan antara kaum agama dan ilmuwan sebagaimana dalam agama Kristen, melainkan karena adanya perasaan tertinggal dari kemajuan dunia Barat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai Barat telah menggeser pandangan hidup manusia serta melahirkan terma-terma baru, sepertinasionalisme dan pendidikan. Pendidikan merupakan sarana paling penting bukan hanya sebagai wahana konservasi dalam arti tempat pemeliharaan, pelestarian, penanam, dan pewarisan nilai-nilai dari tradisi suatu masyarakat, tetapi juga sebagai sarana kreasi yang dapat menciptakan, mengembangkan danmentransfornasikan umat ke arah pembentukan budaya baru. Oleh karena itu, tokoh-tokoh pembaharuan Islam banyak menggunakan pendidikan Islam, baik yang bersifat formalnon-formal, untuk menyadarkan umat kembali kepada kejayaan Islan seperti masa lampau.
Adapun faktor yang melatar belakangi adanya pembaharuan pendidikan Islam pada abad modern dapat dilihat dari dua faktor:
1.      Kondisi internal dalam dunia pendidikan dan intelektual Islam.
2.      Faktor eksternal, yaitu terjadi kontak hubungan antara Islam dan dunia Barat menyadarkan umat Islam untuk mengimbanginya.[2]
C. Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi merupakan pembauran sesuatu hingga menjadi kesatuan yang utuh. Integasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan. Integrasi pendidikan memerlukan integrasi kurikulum, dan secara lebih khusus memerlukan integrasi pelajaran. Inilah yang terjadi pada pelajaran agama dan pelajaran umum.
Ada dua cara yang memungkinkan untuk menghubungkan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran lain, yakni cara okasional dan cara sistematis:
    1. Cara Okasional
Yaitu dengan cara menghubungkan bagian dari satu pelajaran dengan bagian dari pelajaran lain bila ada kesempatan yang baik. Hubungan secara okasional biasanya disebut jugakorelasi. Hal ini sejalan dengan prinsip kurikulum korelasi; misalnya pada waktu guru membbicarakan pelajaran Fiqih tentang hukum makanan dan minuman dapat menghubungkannya dengan pendidika kesehatan.
  1. Cara Sistematis
Yaitu dengan cara menghubungkan bahan-bahan pelajaran lebih dahulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan satu kesatuan yang terpadu. Hal ini disebut kosentrasi sistematis, meliputi konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.[3]
D. Pembaharuan dari Berbagai Aspek
Berkaitan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) sebagai pembaharu pendidikan di Sumatera Barat, pada sub-sub ini aspek pembaharuan dalam bidang pendidikan akan ditelaah lebih jauh. Secara umum, ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh PGAI dapat dikategorikan pada beberapa aspek: kelembagaan, metode dan sistem pengajaran, serta tujuan dan kurikulum.
1.   Aspek Kelembagaan
Lembaga bermakna wadah atau tempat berlangsungnya suatu kegiatan. Dengan demikian, berbicara tenang aspek kelembagaan adalah pembahasan menganai lembaga pendidikan yang dikelola oleh PGAI.
Kemodernan lembaga pendidikan yang dikelola oleh PGAI, ditandai dengan adanya sikap keterbukaan dalam hal membolehkan para siswa untuk belajar dari mana saja asalkan beragama Islam. Organisasi PGAI juga berusaha memberantas kebodohan yang melanda genersi muda melalui lembaga pendidikan keluarga dan masyarakat.[4]
2.   Metode dan Sistem Pengajaran
Metode bermakna cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode juga, sering diartikan sebagai alat pendidikan, yaitu suatu perbuatan atau situasi yang sengan sengaja diadakan untuk mencapai satu tujuan. Dengan demikian, metode pendidikan adalah pembahasan mengenai cara yang digunakan dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sedangkan metode pendidikan Islam adalah jalan unutk menana,kan pengetahuan agama pada diri seseorang agar terlihat dalam pribadi onjek sasaran, yaitu pribadi Islam. Metode pendidikan Islam diantaranya, yaitu: metode keteladanan, metode nasihat, memberikan pujian, peringatan dan hukuman, bercerita, latihan kebiasaan, menyalurkan bakat, dan dengan penggunaan waktu senggang.
Pada proses pembelajaran, pelajaran umum dimasukka seimbang dengan pelajaran agama. Murid-murid diharuskan berbicara dengan bahasa Arab. Kemudian, untuk menunjang terwujudnya hasil yang maksimal, para siswa diharuskan tinggal di asrama yang telah disiapkan.[5]
            3.   Tujuan dan Kurikulum
Tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk dan membina manusia sejati, yang berhasil menjadi hamba Allah yang baik di sisi-Nya. Hasan Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam menjadi 3, diantaranya yaitu:
a.     Tujuan yang dekat
Tujuan yang lebih jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada peserta didik, dapat dipergunakan dalam waktu dekat, sekarang, dan hari ini, setelah peserta didik keluar dari pendidikan.
b.     Tujuan yang jauh
Tujuan yang jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada peserta didik, dapat berguna baginya untuk masa yang lebih jauh itum untuk masa depannya yang lebih panjang.
c.      Tujuan yang lebih jauh
Tujuan yang lebih jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada anak didik, yang berguna dan sangat dibutuhkan untuk masa yang lebih jauh lagi, yaitu sebagai bekal di akhirat.[6]
Antara tujuan dan program harus ada kesesuaian dan keseimbangan tujuan yang hendak dicapai harus tergambar di dalam program yang tertuang di dalam kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu Lembaga Kependidikan Islam.
Dalam kurikulum, tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik dan harus diterima oleh anak didik, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap akam didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.[7]
E. Pendidkan Islam di Masa Pembangunan Dewasa Ini
Keuntungan yang diperoleh pendidikan Islam di Indonesia sangat besar dengan lahirnya Orde Baru, yang telah merencanakan tekad untuk kembali kepada UUd 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen, lebih dari itu pemerintah Orde Baru juga bertekad mengadakan pembangunan masyarakat Indonesia secara lahir dan batin. Adapun makna pembangunan batin yang bisa diambil adalah membangun bidang rohani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat, yang dalam hal ini, membutuhkan pendidikan agama.
Sasaran pendidikan jangka panjang di bidang agama ialah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Pada era pembangunan sekarang ini, pendidikan agama di masyarakat tetap dibina dan digalakkan untuk mengembangkan kehidupan beragama. Pendidikan agama dalam arti sebagai salah satu bidang studi telah diintegrasikan dalam Tap MPR 1983 tentang GBHN bidang agama, sebagai berikut:
  1. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pebangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercyaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan.
  2. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai Universitas-Universitas Negeri.
Pengembangan dan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti madrasah dan pondok pesantren juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Khusus untuk madrasah telah dikeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri, antar Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1976. Adapun yang menjadi titik perhatian pembahasan adalah mengenai peningkatan mutu madrasah.dalam SKB tiga menteri tersebut dinyatakan bahwa ijazah madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
Adapun prinsip-prinsip pendidikan Islam di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai masa pembangunan dewasa ini adalah Theo centrik.
Prinsip-prinsip Theo centrik meliputi:
  1. Wisdom (kebijakan)
  2. Bebas Terpimpin
  3. Self Government (membangun diri)
  4. Kolektivisme (kebersamaan)
  5. Adanya hubungan guru, murid, orang tua, dan masyarakat
  6. Sikap positif dan negatif terhadap ilmu
  7. Mandiri
  8. Sederhana
  9. Ibadah[8]
F. Proses Inovasi Pendidikan Islam di Indonesia
Inovasi pendidikan Islam yang terlihat pada dewasa ini yaitu melalui beberapa usaha-usaha yang dikhususkan untuk meningkatkan kesadaran anak didik atas pentingnya pendidikan Islam. Beberapa proses inovasi itu diantaranya:
1.      Pendidikan Agama di Sekolah
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi bidang studi tersendiri pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Untuk menghidupkan kembali eksisitensi pembelajaran agama ini, menemukan momentunya setelah terbit UU Nomor 4 Tahun 1950 dan peraturan bersama Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951, yang menjamin adanya pendidikan agama di Sekoah negeri.
Pada tahun 1960, pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia mulai mendapatkan status yang agak kuat, dalam ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 pasal 2 ayat 3, yang berbunyi:“Menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai dengan Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatan.”
Setelah meletusnya G.30.S.P.K.I. pada tahun 1965, kemudian diadakan sidang umum M.P.R.S. pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan Agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya M.P.R.S. nomor XXII/MPRS/1966 Bab I pasal 1 yang berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai Universitas-Universitas Negeri.”
Menurut Tap MPR No.IV/MPR/1973 jo. Tap. MPR No. IV/MPR/ No. II/MPR/1983 tentang GBHN, pendidikan agama semakin dikokohka kedudukannya dengan dimasukkannya dalam GBHN sebagai berikut:“Diusahakan supaya terus bertambah sarana-saran yang diperlukan bagi pengembangan pendidikan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pandidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar samppai dengan Universtas-Universitas Negeri.”
2.      Madrasah dan Sekolah Islam
Lembaga keagamaan Islam melakukan upaya-upaya untuk memperbaharui pendidikan Islam. Dan upaya-upaya tersebut yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi pendidikan Islam. Gagasan awalnya, menurut Husni Rahim (2005), setidaknya ditandai dengan dua kecenderungan organisasi-organisasi Islam dalam mewujudkannya, yaitu:
    1. Mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh.
    2. Munculnya madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Beland, namun tetap mrnggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya.
Beberapa strategi yang perlu dicanangkan untuk memprediksi pendidikan Islam masa depan adalah sebagai berikut:
1.       Strategi Sosio-Politik
Menekankan butir-butir pokok formalisasi ajaran Islam di lembaga-lembaga negara melalui upaya legal yang terus menerus oleh gerakan Islam, terutama melalui sebuah partai yang secara ekslusif khusus bagi umat Islam.
2.       Strategi Kultural
Dirancang untuk kematang kepribadian kaum muslimin dengan memperluas cakrawala pemikiran, cakupan komitmen, dan kesadaran mereka tentang kompleksnya lingkungan manusia.
3.      Strategi Sosio-Kultural
Dirancang untuk upaya dalam mengembangkan kerangka kemasyarakatan yang mempergunakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Akan tetapi, kelembagaan yang lahir dari proses ini bukanlah institute-institut Islam yang ekslusif, melainkan institusi biasa yang dapat diterima oleh semua pihak.[9]
                3.  Pesantren dalam Pendidikan Nasional
         Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam Bahasa Arab oleh para ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di asrama dalam pesantren tersebut. Lembaga pesantren memiliki unsus-unsur, yaitu: kiai, santri, mesjid, asrama, dan kitab-kitab.
         Adapun ciri-ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren diantaranya, yaitu:
1.       Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
2.       Adanya kepatuhan santri kepada kiai
3.       Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4.       Kemandirian
5.       Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6.       Kedisiplinan
7.       Berani berusaha untuk mencapai suatu tujuan
8.       Pemberian ijazah
         Regulasi pendidikan keagamaan dalam UU No. 20/2003 dapat diduga bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pangkuan terhadap model-model pendidikan yang selama ini sudah berjalan di masyarakat secara formal, namun tidak diakreditasi oleh negara karena kurikulumnya mandiri , tidak mengikuti madrasah pada uumnya. Pada pasal 30 ayat 4 dikatakan: “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenis.”
G. Pendidikan Islam di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan
Melihat sesuatu yang berada jauh didepan dengan titik kulminasi yang sulit ditebak merupakan pekerjaan yang terkadang sulit dipastikan nilai kebenarannya. Meskipun demikian prospek pendidikan silam di Indonesia pada masa mendatang, harus pula dikaji dan diteropong melalui lensa realitas pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada hari ini. Oleh karena itu, meskipun masih alternatif pendidikan Islam mempunyai batasan kebijakan pendidikan. Maksudnya, pendidikan Islam mencakup:
  1. Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri siswa atau peserta didik.
  2. Semua lembaga pendidikan yang mendasarkan program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam.
  3. Melihat pendidikan Islam yang masih inferior sehingga perlu mndapat perlakuan istimewa dari induknya, yaitu pendidikan Nasional, maka wajarlah jika predikat pendidikan Islam di Indonesia pada masa yang akan datang banyak mengundang perdebatan antara kalangan ahli pendidikan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara struktur interal yang sesuai dengan UU Sisdiknas NOMOR 20/2003, yaitu:
  1. Pendidikan agama di sekolah umum
  2. Pendidikan umum yang bernafaskan Islam (madrasah dan sekolah Islam).
  3. Pendidikan keagamaan (diniyah dan pesantren).[10]
H. Faktor Penunjang dan Penghambat
Salah satu faktor penunjang terhadap inovasi pendidikan Islam yaitu adanya kerjasama antara PGAI dengan pemerintah kolinial dan masyarakat Islam sekitarnya. Selain itu, pokok-pokok pikiran tentang inovasi pendidikan Islam yang datang dari luar negri, juga tidak kalah pentingnya dengan faktor-faktor yang lain. Karena, dengan pemikiran-pemikiran itulah, PGAI melakukan perubahan-perubahan materi pelajaran pendidikan Islam.
Disamping adanya faktor penunjang dalam usaha mengadakan pembaharuan, tidak sedikit juga kita akan menghadapi faktor-faktor penghambat jalannya pembaharuan pendidikan Islam ini. Faktor penghambat yang ditemui diantaranya, yaitu: adanya pertentangan antara Ulama Muda dan Ulama Tua yang pada akhirnya melahirkan istilah Kaum Muda dan Kaum Tua dan hambatan yang lain, yaitu dikenalkannya paham komunisme kepada kalangan PGAI oleh Datuk Batuah, murid syeikh Abdul Karim Amrullah, yang baru pulang dari Jawa.[11]
I. Sikap dalam Menghadapi Hambatan
Dalam memberikan memberikan jawaban terhadap tantangan tersebut, maka alternatif-alternatif berikut ini perlu dipertimbangkan untung ruginya bagi lembaga pendidikan, diantaranya yaitu:
1.      Sikap tah acuh terhadap perubahan sosial
2.      Sikap mengakui adanya perubahan sosial, tetapi menyerahkan pemecahannya kepada orang lain.
3.      Sikap yang mengidentifikasi perubahan dan berpartisipasi dalam perubahan itu
4.      Sikap yang lebih aktif yeitu melibatkan diri dalam perubahan sosial dan menjadikan dirinya sebagai pusat perubahan sosial.[12]




         [1]Alisuf  Sabri, 1999, Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, cet. ke-1. h. 81.
[2] Armai Arief, 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 21.
[3] A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 143.
     [4]Armai Arief, 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 141.
    [5]Armai Arief , 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 146.
    [6]Mahmud Yunus, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, cet. ke-8. h. 50.
     [7]Arifin, Muzayyin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. ke-4. h. 77.
[8]A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 145.
[9]A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 159.
[10]Fathoni, M. Kholid, 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru). Jakarta: Departemen Agama. h. 8.
[11]Armai Arief , 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 179.
[12] Muzayyin Ariffin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. ke-4. h. 46.

HAKEKAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM


HAKEKAT EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
I. PENDAHULUAN
Dalam pendidikan Islam, tujuan merupakan sasaran ideal yang hendak dicapai. Engan demikian kurikulum telah di rancang, di susun dan di proses dengan maksimal, hal ini pendidikan Islam mempunyai tugas yang berat. Di antara tugas itu adalah mengembangkan potensi fitrah manusia (anak).
Untuk mengetaui kapasitas, kwalitas, anak didik perlu diadakan ealuasi. Dalam evaluasi perlu adanya teknik, dan sasaran untuk menuju keberhasilan dalam proses belajar mengajar.
Evaluasi yang baik haruslah didasarkan atas tujuan pengajaran yang ditetapkan oleh suro dan kemudian benar-benar diusahakan oleh guru untuk siswa. Betapapun baiknya, evaluasi apabila tidak didasarkan atas tujuan pengajaran yang diberikan, tidak akan tercapai sasarannya.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi
Menurut bahasa, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evalution”, yang berarti penilaian atau penaksiran. (John M. Echts dan Hasan Shadily, 1983 : 220). Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan.[1]
Ada beberapa pendapat lain definisi mengenai evaluasi:
a. Bloom
Evaluasi yaitu: pengumpulan kegiatan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kegiatannya terjadi perubahan dalam diri siswa menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri pribadi siswa.
b. Stuffle Beam
Evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan enyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
c. Cronbach
Didalam bukunya Designing Evalutor Of Education and Social Program, telah memberikan uraian tentang prinsip-prinsip dasar evaluasi antara lain :
1. Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.
2. Evaluasi seyogyanya tidak memberikan jawaban terhadap suatu pertanyaan khusus. Bukanlah tugas evalutor memberikan rekomendasi tentang kemanfaatan suatu program dan dilanjutkan atau tidak. Evalutor tidak dapat memberikan pertimbangan kepada pihak lain, seperti halnya seorang p embimbing tidak dapat memilihkan karier seorang murid. Tugas evalutor hanya memberikan alternatif.
3. Evaluasi merupakan suatu proses terus menerus, sehingga didalam proses didalamnya memungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan ada suatu kesalahan-kesalahan.[2]
B. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu, hendaknya di arahkan pada dua dimensi, yaitu : dimensi dialektikal horitontal, dan dimensi ketundukan vertikal.
Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kader pemahaman anak didik terhadap materi terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang asfek kogritif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu :[3]
1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4. Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allah SWT.
Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan teknis, yaitu :
1. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya da kegiatan hidup bermasyarakt, seperti ahlak yang mulia dan disiplin.
3. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada.
4. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku dan agama.
Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan, ada dua tujuan evaluasi :[4]
1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
2. Untuk mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.
Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan administrasinya.
Menurut A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1. Untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku.
2. Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
3. Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengatur keberhasilan proses belajar mengajar bagi peserta didik berguna untuk mengetahui bahan pelajaran yang diberikan dan di kuasai, dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan.
4. Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.
5. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.
6. Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
7. Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.
C. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain :[5]
1. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14).
2. Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).
3. Prinsip Objektivitas
Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.[6]
Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S. : 8), Nabi SAW pernah bersabda : “Andai kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan untuk memotong kedua tangannya”.
Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.
D. Sistem Evaluasi Dalam Pendidikan Islam
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku pada sistem evaluasi yang digariskan oelh Allah SWT, dalam al-Qur’an dan di jabarkan dalam as-Sunnah, yang dilakukan Rasulullah dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.
Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut :[7]
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (Q.S. Al-Baqarah/ 2 : 155).
2. Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah saw kepada umatnya (QS. An Naml/27:40).
3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya (QS. Ash Shaaffat/37:103-107).
4. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya dihadapan para malaikat (QS. Al-Baqarah/2:31).
5. Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktifitas baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang berakltifitas buruk (QS. Az Zalzalah/99:7-8).
6. Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas (penampilan), tetapi memandang subtansi dibalik tindakan hamba-hamba tersebut (QS. Al Hajj/22:37).
7. Allah SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al Maidah/5:8).
E. Sasaran Evaluasi
Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya.
Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi[8], yaitu:
1. Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.
2. Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar.
3. Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid.
Dengan menetapkan sasaran diatas, maka pendidik lebih mudah mengetahui alat-alat evaluasi yang dipakai baik dengan tes maupun non tes.
a. Kedudukan akademis setiap murid, baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, sekolahnya, maupun dengan sekolah-sekolah lain.
b. Kemajuan belajar dalam satu pelajaran tertentu, misalnya tauhid, fiqih, tarikh dan lainnya.
c. Kelemahan dan kelebihan murid.
Dalam evaluasi pendidikan Islam ada empat sasaran pokok yang menjadi target.[9]
- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungannya dengan masyarakat.
- Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dengan kehidupan yang akan datang.
- Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah di bumi.
Dalam melaksanakan evaluasi pendidika Islam ada 2 cara yang dapat ditempuh diantaranya:
a. Kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah cara untuk mengetahui sebuah hasil pendidikan dengen cara memberikan penilaian dalam bentuk angka. (5, 7,90) dan lain-lain.
b. Kualitatif
Evaluasi kualitatif adalah suatu cara untuk mengetahui hasil pendidikan yang diberikan dengan cara memberikan pernyataan verbal dan sejenisnya (bagus, sangat bagus, cukup, baik, buruk) dan lain-lain.


III. KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya kata evaluasi berasal dari kata asing “evaluation” yang berarti menilai (tetapi diadakan pengukuran terlebih dahulu).
Dari pendapat-pendapat para ahli yang mendefinisikan tentang evaluasi. Pada hakekatnya dalam evaluasi pengajaran memiliki tiga unsur yaitu, kegiatan evaluasi, informasi dan data yang berkaitan dengan obyek yang dievaluasi.
Tujuan dan fungsi evaluasi tidak hanya ditekankan pada aspek kognitif akan tetapi meliputi ketiga ranah tersebut (kognitif, afektif dan psikomotorik). Yang mempunyai tiga prinsip yaitu prinsip keseimbangan, menyeluruh dan obyektif. Dalam kegiatan evaluasi tersebut sistem yang dipakai yaitu mengacu pada al-Qur’an yang penjabarannya dituangkan dalam as-Sunnah.

Pengertian Lingkungan Pendidikan


A. Pengertian Lingkungan Pendidikan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk didalamnya. Sedangkan Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan dan lingkungan sosial. Sebagai contoh saat berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan- hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Secara umum dapat diartikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Sedangkan lingkungan pendidikan dapat diartikan sebagai berbgai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktik pendidikan. Lingkungan pendidikan sebagai berbagai lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan bagian dari lingkungan sosial.

B. Pandangan Islam Mengenai Lingkungan Pendidikan
Manusia adalah “makhluk sosial”. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut. Khalaqa al-insaana min ‘alaq bukan hanya diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, akan tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”.
Dari hal itu dapat dipahami bahwa manusia dengan seluruh perwatakan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan. Faktor inilah yang mempengaruhi manusia dalam berinteraksi dengannya semenjak ia menjadi embrio hingga akhir hayat. Kemudian, lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi terselenggaranya suatu pendidikan sangat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dan pengaruhnya sangat besar terhadap anak didik. Sebab, bagaimanapun seorang anak tinggal dalam suatu lingkungan, disadari atau tidak, lingkungan tersebut akan mempengaruhi anak tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah SAW. dari riwayat Abu Hurairah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’. Namun, kedua orang tuanya (mewakili lingkungan) mungkin dapat menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui potensi lingkungan yang pengaruhnya dapat sangat kuat sehingga sangat mungkin dapat mengalahkan fitrah.
Sedangkan menurut para ahli mengatakan bahwa manusia lahir ke dunia, dalam suatu lingkungan dengan pembawaan tertentu. Pembawaan yang potensial tersebut itu tidak spesifik melainkan bersifat umum dan dapat berkembang menjadi bermacam-macam kenyataan akibat interaksi dengan lingkungan. Pembawaan menentukan batas-batas kemungkinan yang dicapai oleh seseorang, akan tetapi lingkungan akan menentukan menjadi seseorang individu dalam kenyataan.Tentang fungsi pembawaa dan lingkungan, Henry E.Garret mengatakan sebagai berikut: “it appears to be true that heredity determines what man can do, environment what he does do within the limits imposed by heredity” yang artinya: “itu muncul untuk menjadi benar bahwa keturunan menentukan apa yang manusia dapat melakukan, lingkungan apa yang ia di dalam batas-batas memaksakan disebabkan oleh keturunan”. Jelaslah pembawaan dan lingkungan bukanlah hal yang bertentangan melainkan saling membutuhkan.
Lingkungan yang buruk dapat merintangi pembawaan yang baik, tetapi lingkungan yang baik tidak dapat menjadi pengganti sesuatu pembawaan yang baik. Daerah yang penuh kejahatan dan kesempatan latihan yang kurang, akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk dan akan membatasi prestasi seseorang yang memiliki kemampuan. Begitu juga lingkungan yang baik tidak dapat menjadikan orang-orang yang lemah pikiran menjadi orang yang pandai atau orang yang tidak berbakat menjadi berbakat, walaupun diakui dan tidak diragukan lagi bahwa lingkungan yang baik, latihan-latihan yang baik akan membantu memperbaiki tingkahlaku dan mendapat tempat di masyarakat.

C. Jenis Lingkungan Pendidikan
1. Jenis Lingkungan Pendidikan
Mengacu pada pengertian lingkungan pendidikan seperti tertulis diatas, maka lingkungan pendidikan dapat dibedakan atau dikategorikan menjadi 3 macam lingkungan yaitu (1) lingkungan pendidikan keluarga; (2) lingkungan pendidikan sekolah ; (3) lingkungan pendidikan masyarakat atau biasa disebut tripusat oleh KI Hajar Dewantara lingkungan ketiga disebut sebagai perkumpulan pemuda.
1) Lingkungan Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati. Orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Pendidikan keluarga disebut pendidikan utama karena di dalam lingkungan ini segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan sebagian dikembangkan. Bahkan ada beberapa potensi yang telah berkembang dalam pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga dapat diebdakan menjadi dua yakni :
a) Pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir)
Merupakan pendidikan yang berlangsung selama anak belum lahir atau masih dalam kandungan. Pendidikan prenatal lebih dipengaruhi kepada kebudayaan lingkungan setempat. Sebagai contoh dalam masyarakat jawa dikenal berbagai macam upacara adat selama anak masih ada dalam kandungan seperti neloni, mitoni. Selain upacara-upacara adat untuk menyelamati anak yang masih dalam kandungan dalam masyarakat jawa dikenal juga berbagai macam kesyirikan (hal-hal yang harus dihindari) selama anak masih dalam kandungan.
Dalam kehidupan yang lebih modern sekarang ini, terdapat pula model pendidikan prenatal. Seperti mendengarkan lagu-lagu klasik selama anak masih dalam kandungan, melakukan pemerikasaan rutin ke dokter kandungan atau mengkonsumsi nutrisi yang baik bagi si jabang bayi adalah contoh-contoh pendidikan prenatal dalam kehidupan modern.. Secara sederhana pendidikan prenatala dalam keluarga bertujuan untuk menjamin agar si jabang bayi sehat selama dalam kandungan hingga nanti pada akhirnya dapat terlahir dengan proses yang lancar dan selamat.
b) Pendidikan Postnatal (pendidikan setelah lahir)
Merupakan pendidikan manusia dalam lingkungan keluarga di mulai dari manusia lahir hingga akhir hayatnya. Segala macam ilmu kehidupan yang diperoleh dari keluarga merupakan hasil dari proses pendidikan keluarga postnatal. Dari manusia lahir sudah diajari bagaimana caranya tengkurap, minum, makan, berjalan hingga tentang ilmu agama. Sama seperti pendidikan prenatal yang tujuan adalah menjamin manusia lahir ke dunia, pendidikan postnatal ditujukan sebagai jaminan agar manusia dapat menjadi manusia yang baik dan tidak mengalami kesulitan berarti selama proses manusia hidup.
Bagaimana manusia bersikap tentang segala macam lingkungannya di luar lingkungan keluarga sangat tergantung pada bagaimana proses pendidikan keluarga berlangsung. Dalam dunia modern seperti sekarang, bagaimana pendidikan keluarga berlangsung tidak sepenuhnya tergantung pada orang tua namun bisa juga dipengaruhi oleh orang lain yang notabene bukan bagian dari keluarga. Ini bisa terjadi karena kesibukan orangtua maka orangtua lebih cenderung untuk menyewa orang lain untuk merawat (mengasuh) anaknya.
2) Lingkungan Pendidikan Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, sekolah telah mencapai posisi yang sangat sentral dan belantara pendidikan keluarga. Hal ini karena pendidikan telah berimbas pola pikir ekonomi yaitu efektivitas dan efesiensi dan hal ini telah menjadi semacam ideology dalam proses pendidikan di sekolah.
Sama seperti pendidikan prenatal yang tujuan adalah menjamin manusia lahir ke dunia, pendidikan postnatal ditujukan sebagai jaminan agar manusia dapat menjadi manusia yang baik dan tidak mengalami kesulitan berarti selama proses manusia hidup.
Bagaimana manusia bersikap tentang segala macam lingkungannya di luar lingkungan keluarga sangat tergantung pada bagaimana proses pendidikan keluarga berlangsung. Dalam dunia modern seperti sekarang, bagaimana pendidikan keluarga berlangsung tidak sepenuhnya tergantung pada orang tua namun bisa juga dipengaruhi oleh orang lain yang notabene bukan bagian dari keluarga. Ini bisa terjadi karena kesibukan orangtua maka orangtua lebih cenderung untuk menyewa orang lain untuk merawat (mengasuh) anaknya.
3) Lingkungan Pendidikan Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan keluarga sekolah. dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

D. Fungsi Lingkungan Pendidikan Islam
Sebagaimana telah dijelasakan diatas, bahwa atau tempat berguna untuk menunjang suatu kegiatan untuk, termasuk kegiatan pendidikan, karena tidak satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat dimana kegiatan itu di adakan. Sebagai lingkungan pendidikan Islamiyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, dan berkelanjutan.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah tersebut , kaum muslimin belajar di kutab di mana diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis huruf Al-Qur’an, dan kemudian diajarkan ilmu agama dan ilmu Alqur’an.
Dengan memperhatikan uraian dan informasi di atas dapat diidentifikasi bahwa lingkungan atau tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan islam itu terdiri dari rumah, masjid, kutab, dan madrasah.
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, misalnya mengatakan sebagai berikut :
1. Suatu pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2. Satuan penmdidikan yang di sebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berkesinambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis.
Selanjutnya, bagaiman pandangan Al-Qur’an terhadap keberadaan lembaga pendidikan tersebut serta fungsinya. Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dan pengaruhnya sangat besar terhadap anak didik. Sebab, bagaimanapun seorang anak tinggal dalam suatu lingkungan, disadari atau tidak, lingkungan tersebut akan mempengaruhi anak tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw. dari riwayat Abu Hurairah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’. Namun, kedua orang tuanya (mewakili lingkungan) mungkin dapat menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui potensi lingkungan yang pengaruhnya dapat sangat kuat sehingga sangat mungkin dapat mengalahkan fitrah.
Pembahasan selanjutnya akan dimulai dengan membicarakan pendidikan luar sekolah dan dilanjutkan dengan satuan pendidikan di sekolah.
1. Satuan Pendidikan Luar Sekolah
Diantara satuan pendidikan luar sekolah adalah keluarga yang berlangsung di rumah. Untuk ini perlu dibahas menganai apa yang dimaksud dengan keluarga dan rumah itu. Secara literal keluarga adalah merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami isteri. Sedangkan dalam arti normatif, keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh suatu ikatan perkawinan, lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan yang khas dan bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada di dalam keluarga tersebut.
2. Lingkungan Pendidikan Sekolah
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya. Secara historis keberadaan sekolah ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid, yaitu karena adanya di antara matapelajaran-matapelajaran yang untuk mempelajarinya diperlukan soal jawab, perdebatan, dan pertukaran pikiran.
3. Lingkungan Masyarakat
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT, yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan da perkembangan kemajuannya yang dapat meninggikan kualitas hidupnya. Semua itu membutuhkan masyarakat, dan mereka harus hidup di masyarakat. Ibnu Sina pernah mengatakan : “Manusia berbeda dengan makhluk lainnya disebabkan manusia itu tidak dapat memperbaiki kehidupannya jika ia hidup menyendiri tanpa ada orang lain yang menolong memenuhi kebutuhan hidupnya”.
Kebutuhan manusia yang diperlukan dari masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan adanya lingkungan sosial masyarakat.




BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peranan lingkungan pendidikan terhadap pembentukan karakter manusia sangat penting sekali, diantaranya :
1. Lingkungan keluarga adalah salah satu lingkungan yang pertama kali mempengaruhi pembentukan karakter manusia., baik masih dalam kandungan di rahim sang ibu maupun setelah lahir ke dunia.
2. Agama Islam sangat memperhatikan masalah lingkungan yang menjadi awal pembentukan karakter manusia sampai-sampai ada sabda Rosulullah SAW yang menyatakan bahwa baik dan buruknya tergantung pada baik buruknya lingkungan disekitarnya.
3. Jenis-jenis lingkungan yang selama ini menjadi pembentuk karakter manusia antara lain yaitu: lingkungan keluarga, sekolah/madrasah dan lingkungan masyarakat pada umumnya.
4. Lingkungan/lembaga pendidikan ada 2 hal yaitu: lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan informal.

B. Saran
Ada beberapa saran-saran yang dapat disampaikan kepada para pembaca, diantaranya yaitu:
1. Kepada para anak didik pandai-pandailah dalam memilih teman dalam bergaul, sebab peranan teman sangat besar dalam pembentukan karakter manusia.
2. Kepada para orang tua hendaknya memberikan suri tauladan yang baik didalam keluarga, tanamkan suasana yang harmonis dalam keluarga serta control pergaulan anak-anaknya sebab dalam keluargalah yang pertama kali pendidikan untuk si anak.
3. Kepada para pendidik hendaknya selalu tingkatkan kualitas diri dalam mengajar dan mendidik serta perhatikan juga pergaulan anak didik yang menjadi asuhannya.
4. Kepada pemerintah dan masyarakat luas hendaknya ciptakan suasana yang kondusif, aman, tentram, dan terkendali serta tingkatkan kualitas mutu pendidikan dan peringan biaya pendidikan.



Sumber: paipendidikanagamaislam.blogspot.com/2010/12/lingkungan-pendidikan-islam.html

Kurikulum Pendidikan Islam PAI

Kurikulum Pendidikan Islam PAI






DITULIS OLEH MUJTAHID   
MINGGU, 08 MEI 2011 18:36
MENGACU pada pengertian sebelumnya, bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu rancangan atau program studi yang berkaitan dengan materi atau pelajaran Islam, tujuan proses pembelajaran, metode dan pendekatan, serta bentuk evaluasinya. Karena itu, yang dimaksud dengan kurikulum PAI adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas).
Sesuai dengan sistem kurikulum nasional bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama, tak terkecuali Islam. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi ruhani yang harus diaktualisaikan dalam bentuk amal saleh, sehingga menghasilkan prestasi ruhani (iman) yang disebut taqwa. Amal shaleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi; hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial), dan hubungan manusia dengan alam yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar (Muhaimin, 2001: 75). Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketaqwaan (prestasi ruhani/iman) seseorang di hadapan Allah Swt.
Kata "PAI" atau Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia. Ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al-qur'an, hadits, serta akal (ijtihad). Islam sebagai agama tentunya mempunyai tujuan, ajaran pokok/materi, metode, dan evaluasi. Jauh sebelum teori Barat muncul, kurikulum pendidikan agama Islam telah ada dan menjadi titik keberhasilan Islam tersebar ke penjuru dunia.
Tujuan Kurikulum PAI
Tujuan adalah sesuatu yang penting untuk dicapai oleh setiap manusia. Menurut Muhammad Munir, seperti yang dikutip Abdul Majid dan Dian Andayani (2004:74), menjelaskan bahwa tujuan pendidikan agama Islam yaitu:
1. Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman-Nya. "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu (QS. 5:3). Di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia seutuhnya sesuai dengan sabda Rasululllah Saw bahwa: "sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia".
2. Tercapainya kebahagiaan dunia akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Landasannya adalah "Di antara mereka ada yang berkata, Ya tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka". Untuk mencapai tujuan ini sangat dibutuhkan tidak saja ilmu agama yang sebatas ritual (spritual) semata-mata, melainkan juga perlu ilmu umum yang berkaitan dengan kehidupan dunia.
3. Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seperti pesan dalam sebuah ayat Allah : "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi ke pada-Ku". Tujuan pendidikan Islam diproyeksikan agar hidup manusia menjadi dekat dengan sang khaliq, karena itu ia harus mengabdi setiap saat kapan di manapun.
Metode Kurikulum PAI
Untuk mendesain kurikulum pendidikan Agama Islam yang menarik dan bermanfaat, dibutuhkan metode yang relevan dengan isi dan konteks sosial. Isi dan konteks sosial itu terjadi dalam proses belajar mengajar di kelas atau di manapun berada. Untuk mengemas pembelajaran itu maka perlu metode yang efektif. Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan bahwa: "Al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi" (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa metode yang diperankan guru akan sangat menentukan keberhasilan proses dari interaksi belajar-mengajar.
Metode adalah cara yang digunakan tenaga pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Jadi, metode merupakan alat untuk menciptakan interaksi antara guru dan siswa dalam mempelajari sebuah materi tertentu. Dalam hal ini, guru berperan sebagai penggerak, fasilitator, pembimbing dan seterusnya. Sementara siswa, dapat berperan aktif dalam kegiatan tersebut.
Ahmad Tafsir memandang bahwa metode pendidikan Islam yang saat ini digunakan oleh para pendidik itu merupakan hasil dari metode yang dikembangkan orang Barat. Karena saat ini kita dengan mudah mengakses sumber referensi itu dan dapat digunakan untuk memperbaiki cara dan strategi pembelajaran kita. Metode yang kita terapkan itu misalnya, metode ceramah, brainstorming, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, bermain, resitasi dan lain-lain. Untuk mengadaptasikan metode itu, maka membutuhkan cara yang tepat dari para guru agar compatible dengan visi-misi materi, tujuan materi dan karakteristik materi (Tafsir, 1994: 131).
Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Muhaimin, dkk., bahwa metode yang digunakan untuk implementasi kurikulum pendidikan agama Islam tak jauh berbeda dengan metode yang digunakan pendidikan umum. Memang, hampir tak jauh beda antara keduanya, bahwa proses pendidikan apa pun namanya, kerangka atau aspek domainya yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hanya saja, pendidikan PAI harus berorientasi pada "penyadaran" dalam ketiga aspek di atas. Ketiga aspek tersebut, dalam pembelajaran pendidikan PAI, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Atas dasar inilah, menurut A. Malik Fadjar, bahwa pendidikan agama Islam adalah proses pendidikan yang mampu menggugah kesadaran peserta didik untuk menjadi pribadi muslim sejati (Fadjar, 1998:157).
Metode yang perlu digunakan, menurut A. Malik Fadjar (1998:159-160), haruslah memiliki dua landasan. Pertama, landasan motivasional. Yaitu pemupukan sifat individu peserta didik untuk menerima ajaran agamanya dan sekaligus bertanggungjawab terhadap pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, landasan moral. Yaitu tertanamnya nilai keagamaan dan kayakinan peserta didik sehingga perbuatannya selalu mengacu pada isi, jiwa dan semangat akhlak karimah. Selain itu, agar tersusunnya tata nilai (value system) dalam peserta didik yang bersumber pada ajaran yang otentik, sehingga memiliki daya tahan dalam menghadapi setiap tantangan dan perubahan zaman.
Materi Kurikulum PAI
Selama ini, kurikulum pendidikan agama Islam itu adalah ajaran pokok Islam yang meliputi masalah aqidah (keimanan), syari'ah (keislaman), dan akhlak (ihsan). Tiga ajaran pokok kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun iman, Islam, dan Ihsan. Dari ketiganya lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak. Namun menurut hemat penulis, kontens pendidikan agama Islam semacam itu belum sepenuhnya mampu menjadikan peserta didik memiliki keunggulan yang utuh dan integratif dalam dirinya. Sebab Islam perlu dijabarkan lebih luas, seluas jagat raya ini. Kurikulum pendidikan agama Islam seharusnya bersentuhan dengan segala aspek kehidupan manusia yang bersumber pada al-qur'an dan hadits serta penalaran logis dan hasil observasi yang kaya dengan pengetahuan dan pengalaman hidup dan kehidupan.
Ketiga kelompok di atas (iman, islam dan ihsan) yang diterjemahkan ke dalam cabang ilmu seperti aqidah, fiqih, tasawuf, tarikh dan seterusnya itu baru pada tataran ilahiyah yang cenderung melahirkan perbedaan dan konflik. Yang belum mampu menjawab dan merespon secara cepat terhadap perubahan dan perkembangan zaman saat ini. Ajaran Islam harus merujuk pada ajaran al-Qur'an dan hadits yang memiliki jangkauan visi nilai-nilai kehidupan manusia yang lebih luas dan tak pernah terbatas oleh ruang dan waktu.
Manurut al-Abrasyi, seperti yang dikutip Ahmad Tafsir, mengemukakan bahwa merumuskan kurikulum atau materi pendidikan Islam harus mempertimbangkan 5 (lima) prinsip. Pertama, mata pelajaran ditujukan untuk mendidik ruhani atau hati. Artinya, materi itu berhubungan dengan kesadaran ketuhanan yang mampu diterjemahkan dalam setiap gerak dan langkah manusia. Manusia adalah makhluk yang senantiasa melibatkan sandaran kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah Swt.
Kedua, mata pelajaran yang diberikan berisi tentang tuntunan cara hidup. Pelajaran ini tidak saja ilmu fiqh dan akhlak tetapi ilmu yang menuntun manusia untuk meraih kehidupan yang unggul dalam segala dimensinya. Ketiga, mata pelajaran yang disampaikan hendaknya mengandung ilmiah, yaitu sesuatu ilmu yang mendorong rasa ingin tahu manusia terhadap segala sesuatu yang perlu diketahui. Ilmu yang dibutuhkan untuk mencari karunia Allah melalui cara-cara yang mulia dan penuh perhitungan.
Keempat, mata pelajaran yang diberikan harus bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Intinya bahwa materi mengajarkan suatu pengalaman, ketrampilan, serta cara pandang hidup yang luas. Kelima, mata pelajaran yang disampaikan harus membingkai terhadap materi lainnya. Jadi, ilmu yang dipelajari berguna untuk ilmu lainnya.
Evaluasi Kurikulum PAI
Untuk menentukan hasil atau proses dari sebuah kegiatan dan aktifitas memerlukan apa yang disebut dengan evaluasi. Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri siswa. Menurut Stufflebeam, seperti yang dikutip Suke Silverius (1991:4), menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
Menurut Wayan Nurkancana & Sumartana, evaluasi ialah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam aktifitas pendidikan, baik menyangkut materi, guru, siswa, serta aspek pendukung lainnya (Nurkancana, 1986:1). Evaluasi digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai. Evaluasi berguna untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Wayan Nurkancana dan Sumartana, bahwa evaluasi berfungsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh suatu pendidikan. Artinya apakah seorang peserta didik sudah siap untuk diberikan pendidikan tertentu atau tidak.
b. Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Kalau belum, maka perlu dicari faktor apakah kiranya yang menghambat tercapainya tujuan tersebut. Dan selanjutnya dapat dicari jalan atau solusi untuk mengatasinya.
c. Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau harus mengulangi kembali bahan-bahan pelajaran yang sebelumnya. Dari hal-hal evaluasi yang dilakukan dapat mengetahui apakah peserta didik telah cukup menguasai, baik menguasai bahan pelajaran yang lalu atau belum. Kalau peserta didik secara keseluruhan telah mencapai nilai yang cukup baik dalam evaluasi yang telah dilakukan, maka itu berarti mereka telah menguasai pelajaran.
d. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk peserta didik tersebut.
e. Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi guna menentukan apakah peserta didik dapat dinaikkan kelas atau tidak. Apabila berdasarkan hasil evaluasi dari sejumlah bahan pelajaran yang diberikan sudah tercerna dengan bagus oleh peserta didik, mereka bisa dinaikkan ke jenjang berikutnya.
f. Untuk membandingkan apakah prestasi yang dicapai peserta didik sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
g. Untuk menafsirkan apakah peserta didik telah cukup matang untuk dilepaskan ke masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi (Nurkancana, 1986: 3-6).
Hasil evaluasi mempunyai makna bagi berbagai pihak. Evaluasi bermakna bagi semua komponen proses pengajaran terutama siswa, guru, orangtua, masyarakat dan sekolah itu sendiri. Dari hasil evaluasi ini sangat menentukan langkah serta kebijakan yang akan direncanakan berikutnya.
Eavaluasi kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diukur dengan alat atau instrumen test tulis, melainkan dapat dilihat dari segi performance akhlak dan tindakannya. Sebenarnya pendidikan agama Islam justru mudah dilihat dari domain afektif dan psikomotornya ketimbang kognitifnya, walaupun kognitif juga penting.
Karakteristik Kurikulum PAI
Tiap jenis kurikulum mempunyai ciri atau karakteristik termasuk pendidikan agama Islam. Menurut Abudurrahman al-Nahlawi, seperti yang dikutip Majid (2004: 78-80), menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu:
a. Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan jiwa manusia, memelihara dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana diisyaratkan hadits Qudsi sebagai berikut: "hamba-hamba ku diciptakan dengan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu syetan menyesatkan mereka."
b. Tujuan pendidikan Islam yaitu memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah. Kurikulum pendidikan Islam yang disusun harus menjadi landasan kebangkitan Islam, baik dalam aspek intelektual, pengalaman, fisikal, maupun sosial. Ibadah tidak hanya sekadar diartikan shalat atau dzikir akan tetapi pekerjaan dan perbuatan pun merupakan ibadah.
c. Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan baik dalam hal karakteristik, tingkat pemahaman, jenis kelamin serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dirancang dalam kurikulum.
d. Memperkatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut penghidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal. Kurikulum pendidikan Islam sebagai cermin nilai-nilai keadaban dan spiritualitas, baik secara personal maupun kolektif (sosial).
e. Tidak bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam, melainkan harus memahami konteks ajaran Islam yang selama ini belum tergali makna dan sumber kebenarannya. Masih banyak teks-teks normatif yang belum terungkap pesan dan hikmahnya yang bisa diteliti untuk kemanfaatan manusia.
f. Rancangan kurikulum harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan peserta didik dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Kurikulum pendidikan Islam merupakan cermin masyarakat.
g. Harus memilih metode dan pendekatan yang relevan dengan kondisi materi, belajar mengajar, dan suasana lingkungan pembelajaran di mana kurikulum tersebut diselenggarakan.
h. Kurikulum pendidikan Islam harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan.
i. Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia peserta didik. Untuk semua tingkatan dipilih bagian materi kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan perkembangan yang telah dicapai oleh peserta didik. Dalam hal ini yang paling penting adalah tingkat penguasaan bahasa yang dicapai oleh peserta didik. Pendeknya, secara psikologis kurikulum tersebut dapat sesuai dengan kematangan peserta didik.
j. Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktifitas langsung seperti berjihad, dakwah Islam, serta penciptaan lingkungan sekolah yang islami, etis dan anggun.
Sedangkan menurut Syaibani, seperti yang dikutip Muhaimin dan Abd Mujib (1993: 187-197), menempatkan empat dasar pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Majid, Abdul, dan Dian Andayani, 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Impelementasi Kurikulum 2004, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimain, dkk., 2001. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya.
Muhaimin dan Abd Mujib, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
Nurkancana, Wayan, dan Sumartana, 1986. Evalusi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya.
Fadjar, A. Malik, 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembagan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI).