ILMU TAUHID
A. Eksistensi Allah
Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap
Allah, pencipta langit dan bumi.? Dia menyeru kamu (untuk beriman) agar Dia
mengampuni dosa-dosamu dan menangguhkan-(siksaan)mu sampai waktu yang di
tentukan?” Mereka berkata, “kamu hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu ingin
menghalangi kami (menyembah) apa yang dari dahulu disembah nenek moyang kami.
Karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Qs. Ibrahim:10)
Percaya adanya Allah
adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang muslim yang mukallaf, baik laki-laki
maupun perempuan. Karena sesungguhnya percaya adanya Allah merupakan bagian
dari rukun iman yang pertamakali diimani dari keenam rukun iman lainnya. Maka
dari itu, bilamana seseorang bisa dikatakan dia muslim, tapi tidak ada rasa
iman atau percaya akan adanya rukun iman yang enam itu?. Maka, tentunya Orang
muslim sudah pasti dia juga mu’min. Namun, bisa jadi tidak sebaliknya. Orang
yang mu’min (hanya percaya adanya Allah, malaikat, kitab suci, Rasul-rasul)
belum tentu disebut muslim. Boleh jadi hal itu merupakan bagian dari golongan
orang-orang atheis.
Nah, untuk itu, kita
sebagai orang islam dan tentu saja orang yang beriman, dan agar itu tidak hanya
sebagai rasa kepercayaan di hati saja, kiranya kita juga wajib menyibak rahasia
dibalik kebenaran-kebenaran adanya Allah itu dengan pengkajian-pengkajian ilmu
Allah, baik yang tertulis maupun tersurat dari apa yang Allah ciptakan di alam
semesta ini.
Wujud (adanya) Allah
“Allahlah yang menciptakan langit
dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya”
Nikmat yang paling besar yang di berikan Allah kepada
manusia adalah diberikannya akal yang mampu berfikir melebihi dari
mahluk-mahluk lainnya. Maka kiranya, sebagai orang yang mampu menghargai
akal-fikiran, kita tak akan pernah mau untuk tidak mengunakannya dalam berfikir
pada perspektif yang benar. Dan itu termasuk dari memikirkan akan
kebesaran-kebesaran Allah swt.
Mencari bukti akan adanya Allah, merupakan pangkal dari
soal-soal lainnya, disisi lain seperti tentang masalah keesaan-Nya,
sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Sebagaimana hal ini merupakan sesuatu yang
serius yang menjadi kajian para cerdik cendikia muslim, baik aliran-aliran ilmu
kalam, maupun filosof-filosof islam.
Untuk itu, kesadaran adalah masalah yang harus dijaga
sehubungan seorang hamba yang sedang bergejolak ingin mengetahui dan
membuktikan wujud penciptanya. Karena dengan kesadaran diri seseorang itulah
yang mampu mengantarkannya menemukan suatu eksistensi yang besar yang berkaitan
dengan wujud dirinya dan yang mengatur alam semesta.
Dalam mengartikan wujud Allah adalah bukan berarti kita
memaknainya sebagaimana keadaan yang kita inginkan. Bukan berarti wujud Allah
itu langsung dapat di indra. Melainkan, wujud Allah adalah kepastian adanya
Allah. Allah pasti ada. Dan bukti bahwa Allah ada, adalah wujudnya mahluk dan
alam semesta. Maka, kalau Allah tidak ada, tentu semua mahluk dan alam semesta
pasti tidak ada pula. Sebagaimana firmannya: “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku.”
Dan untuk mengaris bawahi wujud Allah swt. yang dapat
dibuktikan melalui ciptaan dan perbuatan-Nya, Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan:
“Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku
ingin di kenal, maka Ku ciptakan mahluk agar mereka mengenal-Ku.” Maka,
oleh karenanya, setiap orang muslin wajib mengetahui dengan jelas sifat-sifat
yang wajib bagi Allah, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat yang
menjadi kehendak-Nya.
Sifat wajibnya Allah atau sifat yang pasti bagi Allah
dikelompokkan menjadi empat bagian:
1.
Sifat Nafsiyyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan dzat Allah swt. Dan
sifat yang tergolong dalam kelompok ini adalah sifat al-Wujud (ada).
2.
Sifat Salbiyyah, yaitu sifat Allah yang menolak sifat-sifat yang tidak
sesuai atau tidak layak bagi Allah swt. adapun sifat yang tergolong dalam
kelompok ini adalah:
Ø
al-Qidam (dahulu),
Ø
al-Baqa’ (kekal),
Ø
al-Mukhallafatu lil
hawadisi (berbeda dari mahluk),
Ø
al-Qiyamuhu binafsihi
(mandiri),
Ø
al-Wahdaniyyah (esa).
3.
Sifat Ma’ani, yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang dapat
digambarkan oleh akal pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain,
lantaran kebenarannya dapat dibuktikan dengan panca indra. Dan sifat yang
termasuk kelompok ini adalah:
Ø
al-Qudrah (mampu),
Ø
al-Iradah (bebas),
Ø
al-Ilmu (tahu),
Ø
al-Hayah (hidup),
Ø
al-Sam’u (mendengar),
Ø
al-Basar (melihat),
Ø
al-Kalam (berfirman).
4.
Sifat Ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat-sifat
ma’ani, atau keaktifan sifat-sifat tujuh diatas. Termasuk kelompok ini adalah:
Ø
Kaunuhu Qadiran (sungguh
zat yang mampu)
Ø
Kaunuhu Muridan (sungguh
zat yang bebas)
Ø
Kaunuhu Aliman (sungguh
zat yang tahu)
Ø
Kaunuhu Hayyan (sungguh
zat yanghidup)
Ø
Kaunuhu Sami’an (sungguh
zat yang mendengar)
Ø
Kaunuhu Bashiran
(sungguh zat yang melihat)
Ø
Kaunuhu Mutakalliman
(sungguh zat yang berbicara).
Dalam kajian ilmuTauhid, sifat disini hanyalah sebagai
sesuatu yang menempel pada zat, maka oleh karenanya, tidak bisa di ungkapkan
zat itu sama dengan sifat. Dan sifat Allah itu lah yang menempel pada zat
Allah. Bukan kok zat Allah ya sifat Allah itu.
Dan kiranya jika kita
masih sulit untuk mengenali eksistensi Allah melalui sifat wajibnya, maka kita bisa
mengenali-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya. Yaitu:
§
al-Adam (tidak ada)
§
al-Hadas (baru)
§
al-Fana’ (sirna)
§
al-Mumasalatuhu
lilhawadisi (sama seperti mahluk)
§
al-Ihtiyajuhu li ghoiri
(butuh pada yang lain)
§
al-Ta’adud
(berbilang/lebih dari satu)
§
al-Ajzu (lemah)
§
al-Ikrahah (dipaksa)
§
al-Jahlu (bodoh)
§
al-Mautu (mati)
§
al-Syamamu (tuna rungu)
§
al-‘Ama (tuna netra)
§
al-Bukmu (tuna wicara)
§
Kaunuhu Ajizan (ada-Nya
lemah)
§
Kaunuhu Mukrahan
(ada-Nya dipaksa)
§
Kaunuhu Jahilan (ada-Nya
bodoh)
§
Kaunuhu Mayyitan
(ada-Nya mati)
§
Kaunuhu Asyamma (ada-Nya
tuna rungu)
§
Kaunuhu A’ma (ada-Nya
tuna netra)
§
Kaunuhu Abkama (ada-Nya
tuna wicara).
Demikianlah kiranya cara yang mungkin bisa kita lakukan
dalam menemukan dan mengenali wujud adanya Allah swt. dengan membandingkan
sifat-sifat yang wajib dengan yang mustahil.
Pembuktian eksistensi Allah
“Allah pun bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Dia”
Dalil yang digunakan
dalam mencari bukti adanya Allah dalam ilmu tauhid adalah:
1.
Dalil Aqli, yaitu dalil atau bukti yang dapat diterima oleh akal pikiran
yang sehat(ratio).
2.
Dalil Naqli, yaitu dalil yang berupa firman Allah dan sabda Nabi
(al-Quran dan as-Sunnah).
Meski banyak langkah dalam menunjukkan adanya jejak-jejak
atas sifat-sifat dan sifat-sifat atas zat Allah, namun menurut Mulla Shadra,
ada dua metode yang di anggapnya paling baik:
Pertama,
Mengenal diri kemanusiaan. Artinya, mengenali unsur-unsur terbentuknya wujud
diri. Secara jasmaniahnya (materi) dan rohaniahnya (nafs). “Dan dibumi terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) didalam dirimu
sendiri, tidakkah kalian memperhatikan?” (Qs.al-Zariyat:20-21).
Kedua,
Memperhatikan
cakrawala dan diri sendiri. “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami dicakrawala dan didalam
diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa apa yang dijelaskan
al-Qur’an tentang Allah adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Qs. fussilat: 53).
Jadi, dapat kita simpulkan bahwasannya, dengan kita
melihat wujud kita dan di ciptakannya alam semesta, kita akan bisa menemukan
eksistensi Allah swt. Mulla shadra menambahkan, eksistensi Allah adalah
eksisitensi itu sendiri dan tanpa campuran dan tidak berbilang. Karena wujud
Allah adalah wajibul wujud atau pasti
adanya. Dan eksistensi-Nya adalah eksistensi semua yang berwujud dan Dia adalah
hakikat yang paling murni tanpa ada campuran.segala sesuatu yang wujud tak
lepas dari pantauan-Nya, yang besar maupun yang kecil. “Dan jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang selain Allah. Tidak ada
Tuhan yang berhak di sembah selain Dia. segala sesuatu akan binasa kecuali
wajah-Nya. Segala keputusan menjadi wewenangnya dan hanya kepada-Nya kamu
dikembalikan” (Qs. Al-Qasas: 88).
Meskipun secara indrawi,
kita tidak pernah melihat secara langsung bentuk eksistensi dzatiyyah Allah,
namun kepercayaan kita membenarkan wujud ada-Nya. Dan hal ini bisa dibuktikan
dengan wujud adanya kita dan alam semesta. “Allah
lah dzat yang menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara
keduanya”.
namun, bilamana orang tahu eksistensi Allah sedang saat
itu al-Qur’an belum diturunkan?.
Sebelum lahirnya Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Sudah
begitu banyak ahli-ahli fikir (filsuf) yang dengan akal dan fikiran mereka
dapat membenarkan adanya Allah dengan berbagai cara. Ada 4 cara yang mereka
yakini untuk dapat menemukan dan mempercayai adanya Allah:
1.
Teori metafisik, teori yang
berdasarkan pada pembenaran rasio.
Menurut akal, alam yang maha luas yang terdiri dari bumi,
bulan, matahari dan berjuta-juta bintang, tentu tidak terjadi dengan
sendirinya. Jangankan bumi dan matahari yang begitu besar, seekor nyamuk yang
kecil dan sehelai bulu rambutpun tidak akan mungkin terjadi dengan sendirinya
saja. Pasti ada yang menjadikan atau menciptakan yaitu Tuhan.
2.
Teori fisik, teori yang terdiri dari
wujud alam.
Teori
ini dapat dibuktikan dari pengamatan benda-benda yang mengalami pergantian
keadaan yang bemacam-macam, baik bentuk, warna, gerak, berkembang dan
perubahan-perubahan lainnya. Yang tiada lain mereka yakini bahwa itu semua
pasti ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan.
3.
Teori Teleologi, teori yang diambil
dari susunan dan keindahan alam.
Dari banyaknya pengamatan yang telah
mereka lakukan dengan melihat susunan alam raya yang begitu stabil dan
kondusif, begitu bagus nan indah. Tentunya semua itu ada yang mengatur
perjalanannya. Dan itu pasti Tuhan.
4.
Teori Moral, teori yang di ambil
melalui bentuk tingkah laku atau akhlak.
Perubahan sikap individu yang
terjadi di suatu wilayah tertentu nampak begitu membuktikan bahwa selain mahluk
diberi kebebasan bergerak dalam langkahnya menun mereka juga masih memiliki
sikap ketidak stabilan yang boleh jadi datang dari faktor lingkungannya.
Diantara manusia ada yang hidup senang, ada kesedihan, ada kejayaan, ada
penindasan, ada kebaikan dan ada keburukan, dan itu semua pasti ada yang
mengendalikannya. Siapa lagi kalau bukan Tuhan.
“Allah, tiada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, yang
terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Miliknya
apa yang dilangit dan apa yang di bumi, tidak ada yang memberi syafaat
disisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa
yang ada dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apapun tentang
ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kekuasaan-Nya meliputi langit dan
bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduannya, dan Dia maha tinggi lagi
maha besar.”(Qs.al-Baqarah:255)
B. Kemaha Esaan Allah
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah
Allah Yang Maha Esa”. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Qs. Al-Ihlas: 1-4)
Setelah mengkaji dalam
mengetahui dan membuktikan wujud adanya Allah, membahas kemaha esaan-Nya
merupakan langkah wajib pula yang juga harus kita imani. Menurut Prof. Dr. Quraish
Shihab, didalam al-Qur’an dikemukakan tiga pokok bukti kemaha Esaan Allah, yaitu:
1.
Kenyataan wujud yang tampak.
2.
Rasa yang terdapat dalam jiwa
manusia.
3.
Dalil-dalil logika.
Keesaan Allah disini
maksudnya adalah keesaan dalam kemestian Allah. Untuk itu dalam mengkaji
masalah keesaan Allah kita tak lepas dari meliput eksistensi Allah. Karena
wujud dan esanya Allah adalah sesuatu yang tak mungkin dipisahkan.
1.
Kenyataan wujud yang tampak.
Dalam hal ini, al-Qur’an
mengunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini.
Allah selalu memperingatkan manusia untuk melakukan Nazhar, fikr, dan berjalan dipermukaan bumi guna melihat betapa
alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkan, yaitu Allah Yang Maha Esa. “Maka tidakkah mereka melihat unta bagaimana
ia diciptakan?. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (Qs.
Al-Ghasyiyah: 17-20).
Diuraikannya pula
tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya.
Sebagaimana dalam Qs. Qaf: 6-8. “tidakkah
mereka melihat ke langit diatas mereka, bagaiman Kami meninggikannya dan
menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?. Dan Kami
hamparkan bumi serta kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami
tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Itu semua
untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk
kepada-Nya)”
“Allahlah yang menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis, maka tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu
lihat sesuatu yang cacat?. Kemudian, pandanglah sekali lagi, maka niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu
tanpa menemukan cacat dan penglihatanmu pun dalam keadaan payah.” (Qs. Al-Mulk:3-4)
2.
Rasa yang terdapat dalam jiwa
manusia.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an misalnya mengingatkan
manusia, sebagaimana dalam Qs. Yunus: 22. “Dialah
Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan berlayar di lautan.
Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira
karenanya. (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap
penjuru menimpanya, dan mereka yakin telah terkepung (bahaya), maka mereka
berdo’a kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata.
(Mereka berkata) ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,
pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”
3.
Dalil-dalil logika
Begitu banyak ayat-ayat
yang menguraikan dalil-dalil aqliyah tentang keesaan Allah, antara lain: “Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia
tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui
segala sesuatu.” (Qs. Al-An’am: 101)
“seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua
Tuhan, maka pastilah keduanya binasa.” (Qs. Al-Anbiya’: 22)
jadi, seandainya ada dua
pencipta, maka akan kacaulah segala ciptaan. Karena masing-masing pencipta menghendaki sesuatu
yang tidak dikehendaki oleh yang lainnya dan Saling mengalahkan. Maka, yang
kalah bukanlah Tuhan, karena Tuhan itu tak tertandingi oleh selainnya, mahluk.
Begitupun bila kok kedua Tuhan itu saling bersepakat, maka itu bukti kebutuhan
dan kelemahan mereka. Sedang Tuhan itu bersifat mandiri. Tuhan tidaklah mungkin
membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.
Macam-macam keEsaan
“Tuhanmu adalah Tuhan yang satu,
tiada Tuhan selain Dia, Dialah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Baqarah: 163)
Keesaan Allah meliputi
empat bagian, yang antara lain adalah:
1.
Keesaan Zat-Nya.
2.
Keesaan Sifat.
3.
Keesaan Perbuatan.
4.
Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
1.
Keesaan Zat-Nya.
Keesaan Zat mengandung
pengertian bahwa seseorang harus percaya kepada Allah swt. yang tidak terdiri
dari unsur-unsur, atau bagian-bagian. Karena, bila Zat Yang Maha Kuasa itu
terdiri dari dua unsur atau lebih –betapapun kecilnya unsur atau bagian itu-
maka, berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain,
unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.
Allah tidak membutuhkan
semua unsur atau bagian itu, karena itu adalah muhal bagi Allah. “wahai manusia, kamulah yang butuh kepada
Allah, dan Allah Maha Kaya tidak membutuhkan sesuatu dan Dia Maha Terpuji” (Qs.
Al-Fatir: 15). Allah adalah segala sumber sesuatu dan Dia sendiri tidak
bersumber dari sesuatu apapun. “Tidak ada
sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Qs. Al-Syura: 11). Ayat ini memberi penegasan bahwasannya, yang
serupa dengan Allah pun tidak ada, apalagi yang sama dengan-Nya. Baik secara
faktual maupun imajinatif.
2.
Ke Esaan sifat-Nya.
Mengandung pengertian
bahwa Allah swt memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya
dengan sifat mahluk. Walaupun dalam segi bahasa, kata yang digunakan untuk
menunjuk sifat tersebut itu sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah. Tapi juga digunakan untuk
menunjuk rahmat atau kasih sayang mahluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat
dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat mahluk-Nya.
3.
Ke Esaan perbuatan-Nya.
Mengandung arti bahwa,
segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerja maupun sebab dan
wujudnya, kesemuannya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang di
kehendaki-Nya, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, tidak akan
terjadi.
Tiada daya (untuk
memperoleh manfaat), tiada pula kekuatan (untuk menolak madharat), kecuali
bersumber dari pada-Nya. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah swt. berlaku
sewenang-wenang, atau bekerja tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan
perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum atau takdir dan sunatullah yang
ditetapkan-Nya.
Dalam mewujudkan
kehendak-Nya, Allah tidak membutuhkan apapun. “sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah
berkata, “jadilah!” maka jadilah ia.” (Qs. Yasin: 82). Tetapi ini bukan
berarti juga bahwa Allah membutuhkan kata “jadilah”. Dan ayat ini hanya
bermaksud mengambarkanbahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu, Dia tidak
membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa esgala sesuatu yang
diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai kehendak-Nya.
4.
Ke Esaan dalam beribadah kepada-Nya.
Setelah kita meyakini
ketiga keesaan tersebut, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari
ketiga makna keesaan itu. Mengesakan Allah dalam beribadah, menuntut manusia
untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam
bentuk ibadah mahdhah (wajib) maupun selain itu. Sebagaiman tergambar dalam Qs.
Al-An’am: 162 “katakanlah, “sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, (semuanya) demi karena Allah, Pemelihara
seluruh alam.”
Apabila seseorang telah
menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari
dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuaannya bernilai ibadah kepada Allah swt.
dan jiwanya tak akan mudah tergoyahkan oleh keadaan yang ditemuinya. Karena “orang-orang yang beriman dan hati mereka
tenteram dengan mengigat Allah. Ingatlah! Dengan mengingat Allah hati menjadi
tenteram” (Qs. Al-Ra’d: 28).
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
banyak bermacam-macam itu, ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Qs.
Yusuf: 39)
KESIMPULAN
Adanya manusia dan
terciptanya alam semesta adalah bukti adanya Allah, Sang pencipta, Tuhan Yang
Maha Esa. Bagaimana bisa hati kita masih di bumbui rasa keraguan akan
eksistensi dan kemaha Esaan-Nya, bila kita dengan akal-fikiran kita mau mencari
kebenaran itu dengan baik. “apakah ada keragu-raguan tentang Allah,
pencipta langit dan bumi” (Qs. Ibrahim: 10).
Meskipun entitas mahluk
adalah merupakan eksistensi wujud Allah, namun Allah bukanlah mahluk, bukan zat
yang terdiri dari unsur-unsur materi dan bilangan. Semua mahluk adalah baru,
sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Dahulu lagi Maha Abadi. Semua mahluk memiliki
batas, namun Allah adalah Dzat Yang Maha Bebas Tanpa Batas lagi Maha Mandiri. “adakah yang mengadakan dapat disamakan
dengan yang tidak mengadakan? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
“Dan tatkala Musa datang untuk
bermunajat pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman
langsung kepadanya, Musa berkata,”ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku
agar aku dapat melihat Engkau”. Allah berfirman:”Engkau sekali-kali tidak akan
dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya
(seperti keadaannya semula), niscaya kamu akan dapat melihat-Ku. Dan tatkala
Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, maka gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata,
“Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama
beriman”
Bukan derajat kita, bila
kita mengharapkan bukti wujudnya Allah sebagaimana yang di kisahkan dalam
al-Qur’an. Setingkat Para Nabi dan Rasul pun tak mampu di melihat dikala Allah
hendak memperlihatkan wujud-Nya. Karena merea dapat berbicara dengan Allah pun
melalui banyak hijab-hijab. Itulah kita mahluk ciptaan yang lemah dan banyak
keterbatasan. Maka, oleh karena, dengan bisa merenungkan akan keindahan dan
kuasa-Nya itu merupakan suatu kenikmatan yang tak lagi terkirakan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya.
2.
Al-Aqqad, Mahmud, Abbas, “Tuhan disegala zaman”: Pustaka firdaus,
1991
3.
Al-Marzuqy, Ahmad, “Terjemah dan syarah Aqidatul Awam”: al-Hidayah.
4.
Arifin, Bey,”Mengenal Tuhan”: PT. Bina ilmu,1994
5.
Hanafi, A, “Theology Islam (ilmu kalam)”: N.V. Bulan Bintang:1982
6.
Shadra, Mulla, “Teosifi Islam”: Pustaka Hidayah, Bandung, 2005
7.
Shihab, Quraish, M, “wawasan al-Qur’an: tafsir tematikatas
pelbagai persoalan umat”: Mizan pustaka, 2007.