Translate

Minggu, 02 Desember 2012

Filsafat KRITICISME IMANUEL KHAN


IMANUEL KHAN
a.      Pertentangan
Pada rasionalisme dan empirisme ternyata lagi amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, manakah pengetahuan yang benar? Masing-masing mempunyai kedaulatan (kebebasan), tetapi jika kedaulatan diberikan sepenuhnya masing-masing juga punya kesukaran.
Seorang pada zaman modern yang amat masyhur  serta cerdas budinya mencoba mengadakan penyelesaian antara pertikaian ini, yaitu filsuf Jerman IMMANUEL KHAN (1724-1804). Pada mulanya KHAN mengikuti rasionalisme, kemudian menurut katanya sendiri terjagakan oleh HUME (empirisme) dari impiannya, rasionalisme.
Tetapi sebaliknya empirisme tidaklah diterimanya begitu saja karena diketahuinya bahwa empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. KHAN mengakui kebenaran ilmu, budi dapat mencapai kebenaran. Maka KHAN akan menyelidiki pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya maka pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme.
b.      Hal putusan
Pengtahuan ini dipaparkan denga putusan, maka yang diselidiki dulu ialah sifat-sifat putusa. Putusan itumerupakn pengertian: subjek dan predikat. Rangkaian ini mungkin analitik, yaitu jika predikatnya telah tercantum dengan niscaya pada subjeknya. Misalnya ada putusan: tiap-tiap benda memunyai keluasan , keluasan ini tercantum dengan niscaya pada pengertian benda. Benda itu harus memiliki keluasan. Barang siapa mengerti akan ‘benda’ maka dengan sendirinya mengerti pula ia bahwa beda itu berkeluasan.
‘Keluasan’ yang merpakan predikat dari putusan sudahlah tercantum dengan niscaya (keharusan) pada ‘benda’ yang merupakan subjek. Dari menganalisa pengertian yang merupakan subjek itu, mengertilah kita akan keluasannya. Dari analisa subyek timbulah predikatnya, itulah sebabnya maka putusan yang demikian itu disebut putusan analitik.
Oleh karena predikat dengan niscaya tercantum pada subyek, maka hubungan subyek dengan predikat itu niscaya pula atau mutlak, oleh karena ituumumdan berlaku pasa maccamnya secara mutlak. Ada kemungkinan pada suatu putusan yang predikatnya tidakntercantum dengan niscayadi dalam subyeknya. Predikat memberi pengertian baru bagi subyek, Jadi adalah sintesa antara subyek dan predikat.
Sebagai contohputusan sintetik: tembok itu tua. “Tua” merupakan predikat putusan itu tidak terdapat dengan niscaya pada “tembok”(S), sebab itu sungguh-sungguh tembok yang tidak tua. Walaupun bagaimana pengertian “tembok”itu dianalisis tak akan muncul “tua” dengan niscaya!
Yang menjadi pertanyaan: sungguh tiap-tiap putusan sintetik itu a posteriori? KHAN tidaklah demikian.
c.       Putusan sintetik
Dalam ilmu misalnya, KHAN adalah memberikan putusan-putusan umum yang mutlak dan ini haruslah diterima, karena ilmu mengenai yang umum itu. Terapi dalam ilmu itu ternyata, bahwa predikat sesungguhnya memberi keterangan tambahan kepada subyek.
Jadi adalah sintesa antara subyek dan predikat, misalnya dalam putusan: tiap-tiap hal itu menjadi memerlukan sebab, pengetian “kesebaban” yang merupakan predikat ini tentulah tidak terdapat pada subyek. Dan bagaimana “menjadi” itu kita analisa, tidaklah muncul pengertian “sebab”. Maka harulah ada putusan-putusan yang predikatnya menambah suatu yang baru kepada subyek jadi sintetik, akan tetapi yang bersifat umum dan mutlak, jadi a priori. Maka diajukan oleh KHAN putusan sintetik a priori.
d.      Kritik dereinen Vernunft
Maka di tulisnya buku Kritik der reinen Vernuft (kritik budi murni), untuk mennyelidiki kemungkinan dan mengajukan syarat-syarat putusan ssintetik a priori ini. Di situ diselidikinya,demikian kata KHAN sendiri; bagaimana ada mungkin keharusan pengetahuan yang disebutnya transendental. Maksudnya: pengetahuan yang tidak berhubungan langsung dengan obyeknya, tetapi pengetahuan yang membentangkan cara tahu itu.
Penyelidikan ini dibagi menjadi dua:
1.      Transcedentale Elementarlehre
Ini menyelidiki unsur-unsur a priori pada pengetahuan kita, kemudian dibagi menjadi dua lagi:
·         Transcedentale Aesthetik
·         Transcedentale Logik
2.      Transcendentale Methodenlehre
e.       Bentuk pengamatan
Kata aesthetik berarti pengetahuan – dibentangkan syarat-syarat pengetahuan indra. Bai KHAN bhawa segala waktu pengetahuan indra ini memerlukan unsur a prioriyng dinamainya bentuk pengalaman, yaitu dan ruang. Bukanlah benda-benda yang kita amati mempunyai ruang dan waktusudah ada pada budi kita sebelum ada pengalaman atau pengamatan (a priori).
Maka menurut KHAN bukanlah budi (pengetahuan) kita terarahkan kepada benda (obyek), melainkan obyeklah yang terarahkan pada budi kita dalam ruang dan waktu. Isinya memang dari obyek, alkan tetapi bentuknya dari budi. Halnya sendiri yang sesungguhnya (das Ding an sich)  tidaklah kita kenal, yang kita kenal hanyalah gejala-gejala yang tak teratur (die Erscheinung).
f.       Bentuk pengetahuan budi: Kategori
Adapun pengetahuan budi diterangkan pada bagian yang diseebutnya Transcendentale Logik. Di situ diselidiki unsur-unsur a priori yang ada pada pengetahuan budi. Dlam budi ini dibentangkan pengetian dan putusan a priori. Seperti diterangkan di atas persentuhan dengan indra (Anschuung) itu memberikan kepada kita perbanyakan yang tidak teratur (Erscheinungen). Kalau terbentuk dalam ruang dan waktu saja, merupakan pengetahuan indra. Bagaimana ada pengetahuan yang umum itu?
Maka haruslah dibentuk oleh bentuk pengetahuan budi. Adapun pengetahuan budi ini disebut KHAN kategori, yang di antaranya: Kuantitas kualitas, relasio, dan modalitas. Kuantitas itu nampak pada kesatuan kebanyakan dan keseluruhan; kualitas nampak pada realitas;, pengingkaran dan pembatasan; relasi ternyata pada substansi, sebab-akibat serta persalingan;adapun modalitas nampak pada kemungkinan, kesungguhan dan keharusan.
Kategori ini disebutnya juga cara (bentuk) berpikir bagi aku transendental itu. Aku transendental ini merupakan syarat kestuan dalam pemikiran. Kesatuan pemikiran ini merupakan tempat bertemunya semua pengetauan dan itu disebutnya Apperception, yang mengatur segala gejala dengan mempergunakan kategori.
Bagaimana kategori ini dipergunakan atas gejala-gejala untuk mengaturnya? Dalam manusia adalah schema putusan atau aturan a priori yang membawa gejala itu pada macamnya masing-masing. Maka demikian adalah dalam pengamatan, ialah waktu dan ruang, empat kategori dan empat putusan a priori serta apperception yang merupakan kesadaran dapat membedakan aku yang bepikir atau mengenal (subyek) dengan hal yang dikenal (obyek).
g.      Metafisika murni
Manusia kenal akan dunia ini melalui pengalaman, dunia ini diketahuinya seperti sesungguhnya, malinkan seperti nampaknya. Tetapi bagaimana halnya dengan ide-ide seperti Tuhan, jiwa dan kosmos? Ketiga ide tersebut tidak dapat dialami persentuhan indra, tak dapat diatur dengan bentuk waktu dan ruang. Maka dari itu, demikianlah kata KHAN budi murni tak mungkin membuktikan, bahwa hal-hal tersebut di atas sungguh-sungguh ada. Metafisika murni tak mungkinlah berdasarkan atas budi murni saja.
h.      Kritik der praktischen Vernunht
Tetapi KHAN seorang yang percaya kepada Tuhan serta mengakui adanya kesusilaan. Bagaima ini diselesaikannya? Ia mengajukan buudi praktis, maka ditulisnya Kritik der praktischen Fernunft. Tidak amat mudah mengikuti jalan pikiran KHAN dalam hal ini, kita lihat pada pembahasan di bawah ini:
i.        Wajib; Tuntutan budi praktis
Tiap-tiap orang sadar, demikian juga KHAN bahwa ia harus memenuhi kewajibannya. Adalah pada kata hatinya yang mengatakan, bahkan memerintahkan: engkau harus! Keharusan ini adalah pada budi. Sebaliknya pada manusia ada nafsu bermacam-macam coraknya. Keharusan yang berupa perintah itu tidaklah berdasarkan atas keperluan manusia masing-masing. Dasar “keharusan” ini bukanlah misalnya karena merasa, bahwa yang harus silakukannya menyenangkannya, atau yang baik baginya saja.
Sebab jika ini sekiranyaa yang menjadi pedoman dan ukuran tindakan manusia dalam kesulitan, maka kesulitan itu merupakan suatu yang subyektif belaka dan tak dapat berlaku bagi semua dan tiap-tiap manusia.
Sebab itu pedoman dan ukuran kesulitan ialah: berbuatlah demikian, sehingga dasar dan pedoman tingkahmu itu berlaku bagi seluruh manusia. Manusia umumlah yang menjadi pedemon dan ukuran tingkah laku, bukan individu. Barang siapa menggunakan pedoman ini bagi tingkah lakunya, maka susila ia. Hormat pada hukum susila ialah hormat pada hukum dan derajat manusia. Brtindak menurut kesadarannya akan kewajibannya itulah yang baik.
Kesadaran akan wajib ini menurut KHAN menuntutu tiga hal yaitu: kemerdekaan (kehendak), ketidak-matian jiwa dan Tuhan. Kalau sekirannya tidak ada kemerdekaan kehendak, demikianlah KHAN, maka tindakan itu hanya merupakan kehrusan (paksaan) semata-mata, dan lenyaplah kesusilaan. Kesusilaan berdasarkan kemerdekaan dalam pilihan.
Usaha untuk bertindak baik ini tidak berguna, jika sekirannya tidak ada ketidak-matian. Sebab di dunia yang fana ini susila dan senang tidak selalu merupakan hal yang bersama-sama adanya. Hasil kesusilaan ini haruslah jiwa itu tak kena mati. Ketidak matian jiw aini menuntut adanya Tuhan. Sebab hanya Tuhanlah yang dapat memberi upah yang benar-benar layak kepada manusia yang berbuat baik. Ketiga hal itu tak terbuktikan oleh budi murni ,melainkan merupakan tuntutan dari budi praktis.
3.      PENGARUH KHAN
KHAN besar sekali pengruhnya dalam alam pikiran terutama di Jerman. Semasa KHAN ada beberapa murinya yang melanjutka sistem KHAN ini menjadi metodos dan pendapatnya sendiri. Timbul di Jerman bermacam-macam sistem yang di Eropa pengrunya boleh dikatakan sampai dewasa ini.
  
DAFTAR PUSTAKA

Poedjawijatna I, R. 1997. PEMBIMBING KE ARAH ALAM FILSAFAT. Jakarta: Rineka Cipta Hal. 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menerima Kritik Dan Saran