![]() |
Kurikulum dalam Pendidikan
Dalam usaha
pencapaian tujuan pendidikan, peran kurikulum dalam pendidikan formal di
sekolah sangatlah strategis. Bahkan kurikulum memiliki kedudukan dan posisi
yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, serta kurikulum merupakan
syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri,
karena peran kurikulum sangat penting maka, menjadi tanggung jawab semua pihak
yang terkait dala proses pendidikan.
Bagi guru,
kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Bagi kepala sekolah dan pengawas berfungsi sebagai pedoman supervisi atau
pengawasan.
Bagi orang tua kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk
memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan. Sedangkan bagi siswa
kurikulum sebagai pedoman pelajaran.
Dalam
pengertian kurikulum yang dikemukakan tersebut harus diakui ada kesan bahwa
kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang
telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak
memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian
tersebut memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan
secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi
sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan
yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik,
sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap
interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan
pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan
kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi
maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap
masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka
untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga
pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic accountability” dan “legal
accountability” berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji
dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu
lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang
ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi
di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus
mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam
pengertian “intrinsic” kependidikan maka kurikulum adalah jantung
pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah
didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah
kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum.
Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah
didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas,
di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan
kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan
sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang
dicantumkan dalam kurikulum.
Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas
apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu
lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi
peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan
akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan
pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini
hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum
dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup,
dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga
menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan
dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum
harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi
kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan
kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan
masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat
baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat,
posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah
kurikulum adalah “construct” yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan
atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis
perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Posisi
kedua adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan
berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini
dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi
progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan
masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana
pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan
kehidupan masa depan.
Secara
formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan
pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan
lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan
bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila
pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus
tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia.
Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara
karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh
setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah
kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki
hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang
Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program
Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang
berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam
pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas.
Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs
baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang
kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3)
menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
- a.
peningkatan iman dan takwa;
- b.
peningkatan akhlak mulia;
- c.
peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- d.
keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- e.
tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- f.
tuntutan dunia kerja;
- g.
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- h.
agama;
- i.
dinamika perkembangan global; dan
- j.
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini
jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang
menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan
agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global.
Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan
menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang
diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat 2).
Secara
formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk
rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa
di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system
pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti
sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat
kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap
senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan
fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat
diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan
pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya,
kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi
sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme
dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi
dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan
teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata
pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang
dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan
Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan
daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang “penting”. Alokasi waktu ini
adalah “construct” para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap
permasalahan yang ada.
Kiranya
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan
spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian
(kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan
matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS
atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan
dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian
kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar
dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang
digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja,
masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi
kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam
mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum
merupakan “construct” yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan
sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa.
Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan
masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya
menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan
kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas
yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan
yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia
yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan
harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal
yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika
mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang
religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal
lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif,
kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras,
menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya
maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang
menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa
depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik
yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk
memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya.
Jika
penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan
untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan
itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model
penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model
baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah
pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi
mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang
berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada
pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi
berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini
menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan
kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu
atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan
tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas
kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja.
Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin,
taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam
kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999
mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran