A. PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu
fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu
ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara harfiah, fenomenologi
fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme
(gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat
suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Manusia menumpukkan dirinya sebagai
hal yang transenden (menonjolkan hal yang bersifat kerohanian), sintesa (paduan)
dan obyek dan subyek. Manusia sebagai entri quman de (mengada pada alam)
menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya untuk melihat
suatu hal. Manusia harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan
mengfiksasikan hal yang ingin dilihat.
Salah seorang tokoh fenomenologi
adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas
tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu "zuruck zu
den sachen seibst", kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti
dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan
itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi,
antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).
B. FENOMENOLOGI PENGETAHUAN DAN ILMU
PENGETAHUAN
Secara epistemologi dalam gejala
terbentuknya pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub
yang dikenal, atau antara subyek dan obyek.
Walaupun secara tegas keduanya
berbeda, akan tetapi untuk membentuk sebuah pengetahuan keduanya tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, dan keduanya wajib ada karena merupakan suatu
kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Dalam hal ini pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, subyek adalah manusia dengan akal budinya, sedangkan obyek adalah
kenyataan yang diamati dan dialami di alam semesta ini. Suatu kenyataan bahwa
supaya ada pengetahuan, subyek harus terarah kepada obyek, dan sebaliknya obyek
harus terbuka dan terarah kepada subyek.
Pengetahuan adalah peristiwa yang
terjadi dalam diri manusia. Maka tanpa ingin meremehkan peran penting dari
obyek pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan memegang peranan penting.
Keterarahan manusia terhadap obyek jadinya merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia.
Pengetahuan terwujud kalau manusia
sendiri adalah bagian dari obyek. Dari realitas alam semesta ini, berkat unsure
jasmaniyah, manusia mampu menangkap obyek yang ada di sekitarnya karena tubuh
jasmani manusia adalah bagian dari realitas alam semesta ini, serta dengan
bantuan jiwa dan akal budinya, manusia mampu mengangkat pengetahuan abstrak
tentang berbagai obyek lain serta bersifat temporal, konkrit, jasmani-inderawi
tadi ke tingka abstrak dan karena itu universal.
Pengetahuan manusia tidak hanya
berkaitan dengan obyek konkrit, khusus yang dikenalnya melalui pengamatan
inderawinya, melainkan juga melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada
pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain secara teoritis dapat dijangkau
oleh akal budi manusia.
Pengetahuan manusia yang bersifat
umum dan universal itulah memungkinkan untuk dirumuskan dan dikomunikasikan
dalam bahasa yang bersifat umum dan universal untuk bias dipahami oleh siapa
saja dari waktu dan tempat mana saja.
Berkat refleksi ini pula pengetahuan
yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dilakukan secara
sistematis sedemikian rupa, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, atau
dapat pula dikritik dan dibela, maka lahirlah apa yang kita kenal sebagai Ilmu
Pengetahuan.
Jadi Ilmu Pengetahuan muncul karena
apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur
secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.
C. METODE FENOMENOLOGI HISTORIS AGAMA
Metodologi adalah studi tentang
metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk memperoleh pengetahuan
mengenai pokok persoalan dari ilmu itu, menurut aspek tertentu dari penyelidikan.
Metodologi berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut oleh
persoalan-persoalan yang muncul dari cirri pokok studi itu. Dapat dikatakan
bahwa suatu metode adalah kombinasi sistematik dan proses-proses kognitif
dengan menggunakan teknik-teknik khusus, klasifikasi, konseptualisasi,
abstraksi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi,
argumen dan analogi, dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah pross-proses
kognitif. Fenomenologi historis agama menggunakan metode ilmiah sebagaimana
telah dipaparkan, kalau dia mempelajari fenomena religius. Bidang studi
meliputi fakta religius yang bersifat subyektif, seperti pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang yang diungkapkan dalam
tindakan luar.
Pertama-tama agama adalah fenomena
yang terjadi dalam subyek manusia serta terungkapkan dalam tanda dan simbol.
Kita dapat mengulangi tindakan pemahaman dari pengamat-pengamat lain dan
menyimpulkan bahwa X adalah suatu tindakan kebaktian, bahwa Y adalah tindakan
kurban, dan bahwa Z adalah kegiatan doa. Fakta ini mengandaikan perlunya
obyektivitas. Dengan kata lain, fenomena religius adalah fenomena yang sungguh
obyektif, meski faakta yang sebenarnya berdasarkan pada subyektivitas.
Bagaimana saya tahu bahwa X adalah tarian ritual? Hal ini tidak saya simpulkan
hanya dengan melihat gerakan-gerakan, namun saya menangkap tindakan-tindakan
yang penuh arti.
Fakta religius bersifat subyektif,
artinya merupakan keadaan mental dari manusia religius, dalam caranya melihat
hal-hal atau menginterpretasikannya fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus
bersifat obyektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir melainkan
sebagai sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh para pengamat yang
independent. Obyektivitas di sini berarti membiarkan fakta berbicara untuk
dirinya inilah prinsip epoche dalam fenomenologi historis agama, artinya
penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena sendiri
bicara untuk dirinya.
Prinsip kedua dari visi eidehk dalam
metodologi agama mengarah pada pencarian makna hakiki dan fenomena religius.
Pemahaman makna femomena religius diperoleh selalu dan hanya lewat pemahaman
ungkapan-ungkapan. Umngkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda
apapun jenisnya dan tingkah laku yang ekspresif seperti tarian, hanya melalui
ekspresilah kita menangkap pikiran-pikiran religius orang lain. Dan hanya
dengan memikirkan serta mengalaminya kembali dengan empati atau wawasan
imajinatif, kita memasuki pemikiran mereka.
Pemahaman suatu fenomena religius
meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari orang lain
dan sebagainya. Tindakan memahami ini tidak akan diperoleh lewat pengalaman
reproduktif dari emosi dan pemikiran orang lain. Mengalami dengan cara imitative
atau reproduktif bukan merupakan kondisi untuk memahami pengalaman orang lain.
Misalnya, orang dapat tetap bersikap tenang ketika dia menyampaikan bahwa orang
lain sangat gembira, atau seseorang dalam keadaan gembira bisa mengerti bahwa
ada orang lain sedang sedih. Namun, orang haruslah lebih dahulu mengalami
kesedihan untuk sunggung-sungguh memahami kesedihan orang lain.
Tujuan keseluruhan tipe pemahaman
tingkah laku orang beragama ini tepatnya untuk menangkap makna lebih dalam dan
intensionalitas dari data religius orang lain yang merupakan
ekspresi-ekspresi dari pengalaman religius dan imannya lebih dalam. Seperti
kita lihat sejarah agama membahas aspek-aspek yang paling pokok dari kehidupan
manusia sampai menjadi dasar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah sesuatu yang
paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual dan
intelektual manusia. Meskipun disadari batas-batasnya dalam tuga memasuki
kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius. Kalau seorang siswa yang belajar
agama tidak tahu tentang pengalaman pribadi dari hidupnya sendiri apa artinya
berdoa, pandangannya tentang doa menjadi tak ternilai.
D. TUJUAN FENOMENOLOGI HISTORIS AGAMA
Ada berbagai cara dalam mempelajari
fenomena agama, filolog berusaha menginterpretasikan suatu teks berkenaan
dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya. Arkeolog berusaha
merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno atau menerang.
Fenomenologi agama tidak membatasi
diri pada verifikasi dan penjelasan analisis dari masing-masing data. Sebagaimana
yang dipelajari terpisah oleh berbagai disiplin ilmu khusus. Ilmu ini berusaha
mengkoordinasikan data religius, untuk menentukan hubungan dan mengelompokkan
fakta menurut hubungan tersebut. Kalau menyangkut hubungan-hubungan formal,
fenomenologi agama akan mengklasifikasikan data religius di bawah tipe-tipe
kalau hubungan itu bersifat kronologis. Data itu masuk dalam serial atau
rangkaian dalam hal yang pertama, ilmu agama hanya bersifat deskriptif. Dalam
hal yang kedua kalau perhubungan yang diselidiki tidak hanya bersifat
kronologis, dengan kutukan jika rangkaian kejadiannya dalam waktu berhubungan
dengan suatu perkembangan dari dalam, maka ilmu agama menjadi ilmu sejarah,
sejarah agama.
Sejarah agama pertama-tama berurusan
dengan agama dalam lingkupnya masing-masing. Perkembangannya dalam lingkup yang
sama, oleh karena itu sejarah agama mempelajari data religius dalam kaitan
historisnya bukan saja dengan data religius lain, tetapi juga dengan data yang
bukan religius, apakah itu kesusatraan, kesenian, kemasyarakatan, dan
sebagainya. Lebih dari itu tidaklah cukup hanya mengetahui apa yang tepatnya
terjadi dan bagaimana fakta itu didapatkan yang ingin kita ketahui terutama
adalah makna dari kejadian itu.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta:
PusApom Press, 2007
Dhavomony Mariasuasi, Fenomenologi Agama,
Yogyakarta: KANISIUS, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran