Translate

Minggu, 02 Desember 2012

FILSAFAT FENOMENOLOGI


A.    PENGERTIAN FENOMENOLOGI

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan Ilmu Hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomenologi.
Secara harfiah, fenomenologi fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suku melihat suatu gejala tertentu dengan ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Manusia menumpukkan dirinya sebagai hal yang transenden (menonjolkan hal yang bersifat kerohanian), sintesa (paduan) dan obyek dan subyek. Manusia sebagai entri quman de (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya untuk melihat suatu hal. Manusia harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang ingin dilihat.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu "zuruck zu den sachen seibst", kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaaan (kajian atas Kitab Suci).


B.     FENOMENOLOGI PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Secara epistemologi dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek.
Walaupun secara tegas keduanya berbeda, akan tetapi untuk membentuk sebuah pengetahuan keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan keduanya wajib ada karena merupakan suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Dalam hal ini pengetahuan dan ilmu pengetahuan, subyek adalah manusia dengan akal budinya, sedangkan obyek adalah kenyataan yang diamati dan dialami di alam semesta ini. Suatu kenyataan bahwa supaya ada pengetahuan, subyek harus terarah kepada obyek, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terarah kepada subyek.
Pengetahuan adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Maka tanpa ingin meremehkan peran penting dari obyek pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan memegang peranan penting. Keterarahan manusia terhadap obyek jadinya merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia.
Pengetahuan terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari obyek. Dari realitas alam semesta ini, berkat unsure jasmaniyah, manusia mampu menangkap obyek yang ada di sekitarnya karena tubuh jasmani manusia adalah bagian dari realitas alam semesta ini, serta dengan bantuan jiwa dan akal budinya, manusia mampu mengangkat pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain serta bersifat temporal, konkrit, jasmani-inderawi tadi ke tingka abstrak dan karena itu universal.
Pengetahuan manusia tidak hanya berkaitan dengan obyek konkrit, khusus yang dikenalnya melalui pengamatan inderawinya, melainkan juga melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain secara teoritis dapat dijangkau oleh akal budi manusia.
Pengetahuan manusia yang bersifat umum dan universal itulah memungkinkan untuk dirumuskan dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat umum dan universal untuk bias dipahami oleh siapa saja dari waktu dan tempat mana saja.
Berkat refleksi ini pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dilakukan secara sistematis sedemikian rupa, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela, maka lahirlah apa yang kita kenal sebagai Ilmu Pengetahuan.
Jadi Ilmu Pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.


C.     METODE FENOMENOLOGI HISTORIS AGAMA

Metodologi adalah studi tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk memperoleh pengetahuan mengenai pokok persoalan dari ilmu itu, menurut aspek tertentu dari penyelidikan. Metodologi berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut oleh persoalan-persoalan yang muncul dari cirri pokok studi itu. Dapat dikatakan bahwa suatu metode adalah kombinasi sistematik dan proses-proses kognitif dengan menggunakan teknik-teknik khusus, klasifikasi, konseptualisasi, abstraksi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, argumen dan analogi, dan akhirnya pemahaman itu sendiri adalah pross-proses kognitif. Fenomenologi historis agama menggunakan metode ilmiah sebagaimana telah dipaparkan, kalau dia mempelajari fenomena religius. Bidang studi meliputi fakta religius yang bersifat subyektif, seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar.
Pertama-tama agama adalah fenomena yang terjadi dalam subyek manusia serta terungkapkan dalam tanda dan simbol. Kita dapat mengulangi tindakan pemahaman dari pengamat-pengamat lain dan menyimpulkan bahwa X adalah suatu tindakan kebaktian, bahwa Y adalah tindakan kurban, dan bahwa Z adalah kegiatan doa. Fakta ini mengandaikan perlunya obyektivitas. Dengan kata lain, fenomena religius adalah fenomena yang sungguh obyektif, meski faakta yang sebenarnya berdasarkan pada subyektivitas. Bagaimana saya tahu bahwa X adalah tarian ritual? Hal ini tidak saya simpulkan hanya dengan melihat gerakan-gerakan, namun saya menangkap tindakan-tindakan yang penuh arti.
Fakta religius bersifat subyektif, artinya merupakan keadaan mental dari manusia religius, dalam caranya melihat hal-hal atau menginterpretasikannya fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat obyektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir melainkan sebagai sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh para pengamat yang independent. Obyektivitas di sini berarti membiarkan fakta berbicara untuk dirinya inilah prinsip epoche dalam fenomenologi historis agama, artinya penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena sendiri bicara untuk dirinya.
Prinsip kedua dari visi eidehk dalam metodologi agama mengarah pada pencarian makna hakiki dan fenomena religius. Pemahaman makna femomena religius diperoleh selalu dan hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan. Umngkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda apapun jenisnya dan tingkah laku yang ekspresif seperti tarian, hanya melalui ekspresilah kita menangkap pikiran-pikiran religius orang lain. Dan hanya dengan memikirkan serta mengalaminya kembali dengan empati atau wawasan imajinatif, kita memasuki pemikiran mereka.
Pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari orang lain dan sebagainya. Tindakan memahami ini tidak akan diperoleh lewat pengalaman reproduktif dari emosi dan pemikiran orang lain. Mengalami dengan cara imitative atau reproduktif bukan merupakan kondisi untuk memahami pengalaman orang lain. Misalnya, orang dapat tetap bersikap tenang ketika dia menyampaikan bahwa orang lain sangat gembira, atau seseorang dalam keadaan gembira bisa mengerti bahwa ada orang lain sedang sedih. Namun, orang haruslah lebih dahulu mengalami kesedihan untuk sunggung-sungguh memahami kesedihan orang lain.
Tujuan keseluruhan tipe pemahaman tingkah laku orang beragama ini tepatnya untuk menangkap makna lebih dalam dan intensionalitas dari data  religius orang lain yang merupakan ekspresi-ekspresi dari pengalaman religius dan imannya lebih dalam. Seperti kita lihat sejarah agama membahas aspek-aspek yang paling pokok dari kehidupan manusia sampai menjadi dasar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah sesuatu yang paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual dan intelektual manusia. Meskipun disadari batas-batasnya dalam tuga memasuki kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius. Kalau seorang siswa yang belajar agama tidak tahu tentang pengalaman pribadi dari hidupnya sendiri apa artinya berdoa, pandangannya tentang doa menjadi tak ternilai.


D.    TUJUAN FENOMENOLOGI HISTORIS AGAMA

Ada berbagai cara dalam mempelajari fenomena agama, filolog berusaha menginterpretasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat-tepatnya. Arkeolog berusaha merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno atau menerang.
Fenomenologi agama tidak membatasi diri pada verifikasi dan penjelasan analisis dari masing-masing data. Sebagaimana yang dipelajari terpisah oleh berbagai disiplin ilmu khusus. Ilmu ini berusaha mengkoordinasikan data religius, untuk menentukan hubungan dan mengelompokkan fakta menurut hubungan tersebut. Kalau menyangkut hubungan-hubungan formal, fenomenologi agama akan mengklasifikasikan data religius di bawah tipe-tipe kalau hubungan itu bersifat kronologis. Data itu masuk dalam serial atau rangkaian dalam hal yang pertama, ilmu agama hanya bersifat deskriptif. Dalam hal yang kedua kalau perhubungan yang diselidiki tidak hanya bersifat kronologis, dengan kutukan jika rangkaian kejadiannya dalam waktu berhubungan dengan suatu perkembangan dari dalam, maka ilmu agama menjadi ilmu sejarah, sejarah agama.
Sejarah agama pertama-tama berurusan dengan agama dalam lingkupnya masing-masing. Perkembangannya dalam lingkup yang sama, oleh karena itu sejarah agama mempelajari data religius dalam kaitan historisnya bukan saja dengan data religius lain, tetapi juga dengan data yang bukan religius, apakah itu kesusatraan, kesenian, kemasyarakatan, dan sebagainya. Lebih dari itu tidaklah cukup hanya mengetahui apa yang tepatnya terjadi dan bagaimana fakta itu didapatkan yang ingin kita ketahui terutama adalah makna dari kejadian itu.


DAFTAR PUSTAKA

Maksum Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: PusApom Press, 2007
Dhavomony Mariasuasi, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menerima Kritik Dan Saran