PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah filsafat yang mengandung
segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi.. Pada umunya kata eksistensi
berarti keberaduan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan
eksistensi mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di
dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara
berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu
berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara manusia
berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu
menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia berada bersama-sama
dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat
eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia
“bereksistensi”. Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan
sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh
karena itu, kata eksistensi diartikan
menusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia
sadar bahwa dirinya ada.[1] Bereksistensi oleh Heidegger disebut
Dasein, dari kata da (di sana) dan sein (berada) sehingga kata ini berarti
berada di sana, yaitu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri di
tengah-tengah dunia sekitarnya sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan
bersati dengannya. Sekalipun demikian menusia tidak sama dengan dunia
sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya
itu. Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme
adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai
macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga
ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem itu di antaranya adalah sebagai
berikut.[2]
Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu
cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah
cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena
itu, bersifat humanistis.
1.
Bereksistensi harus diartikan secara
dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi
berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih
atau kurang dari keadaannya.
2.
Di dalam eksistensialisme manusia
dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai., yang
masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terlebih-lebih sesama manusia.
3.
Eksistensialisme memberi tekanan
kepada pengalaman yang konkret., pengalaman yang eksistensial. Hanya arti
pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang
menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers
kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan,
perjuangan dan kesalahan.[3]
Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger
Martin Heidegger (1889-1976)
di lahirkan di Baden, Jerman, dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa
filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang
filsafat dalam bidang filsafat dari universitas Freiburg di mana ia mengajar
dan menjadi asisten Edmund Husserl (pencetus fenomenologi). Menurut M.
Heiddegger, eksistensialisme lebih dikenal sebagai bentuk gaya
berfilsafat, pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya di tengah-tengah
makhluk lainnya. Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak
dapat diabaikan terhadap eksistensialisme. Ia berusaha mengartikan makna
keberadaan atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Pertanyaan ini
adalah salah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi (ajaran
tentang yang berada).[4] Karangannya
yang sangat berkesan ialah Being and Time dan Introduction
to Metaphysics. Kebanyakan tulisannya membahas persoalan-persoalan seperti
“What is being?” (apa maknanya bila suatu entitas dikatakan ada?), “Why is
there something rather than nothing at all?” Begitu juga judul-judul tentang
eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.
Heidegger sangat kritis pada manusia pada zaman
sekarang. Manusia yang hidup pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat
memperhatikan kepada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia modern
tidak mempunyai akar dan kosong oleh karena telah kehilangan rasa hubungan
kepada wujud yang sepenuhnya. Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga
manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud. Hanya dengan menemukan watak
dinamis dari eksistensilah, manusia dapat diselamatkan dari kekacauan dan
frustasi yang mengancamnya. Seseorang hanya hidup secara otentik sebagai suatu
anggota dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan hidup
sehari-hari. Tetapi, jika ia mau, manusia dapat hidup secara otentik dan memusatkan
perhatiannya pada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya, menghayati
kehidupan dalam contoh kematian, dan begitu memandang hidupnya dengan
perspektif yang baru.[5] Beberapa
Sifat Eksistensialisme
1.
Eksistensialisme pada dasarnya
adalah gerakan protes terhadap filsafat barat tradisional dan masyarakat
modern.
2.
Eksistensialisme menolak untuk untuk
bergabung kepada sesuatu aliran. Mereka menolak watak teknologi
totalitarianisme yang impersonal.
3.
Eksistensialisme membahas soal-soal
kedudukan yang sulit dari manusia.
4.
Eksistensialisme menekankan
kesadaran “ada” (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan Nampak
melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan
bukan “It”.
5.
Eksistensialis percaya bahwa tak ada
pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran
dalam diri kita sendiri. Kebenaran tak dapat dicapai secara abstrak. Oleh
karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk
mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
6.
Eksistensialisme menekankan
individual, kebebasannya dan pertanggungjawabannya.
7.
Seperti Nietzsche, Sartre
mengingkari adanya Tuhan. Manusia tidak diarahkan; ia menciptakan kehidupannya
sendiri dan oleh sebab itu ia bertanggung jawab seluruhnya atas
pilihan-pilihannya.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan protes dan berontak
terhadap filsafat Barat tradisional dan masyarakat modern terhadap
pemecahan masalah yang dilakukan mereka. Aliran eksistensialis cenderung
menolak watak teknologi dan totalitarianisme yang yang impersonal. Dan lebih
menekan individual, kebebasan dan pertanggungjawabannya. Eksistensialis percaya
bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kita
mengetahui kebenaran yang ada dalam diri kita sendiri dan kebenaran tidak capai
secara abstrak. Oleh karena ditu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk
sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Rasjidi,
Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984).
Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: P.T.Bumi Aksara, 1995).
Surajiyo,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran