A. Pengertian ‘Ulum Al- Hadis dan Sejarah Perkembangannya
Istilah “ulum al-hadis berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas
dua kata, yaitu ‘ulum dan al-hadis. Kata ‘ulum merupakan bentuk jama’ dari kta
‘ilm yang berarti gambaran sesuatu tentang akal. Dalam kaca mata Nur al-Din
‘Itr, diartikan dengan sesuatu yang
membedakan dengan ma’rifat. Ilmu diungkapkan secara keseluruhan (kulliyah)
sedangkan ma’rifat diungkapkan secara juz’iyah. Sedangkan istilah al-hadis
secara etimologi berarti lawan qadim, sesuatu yang baru, kabar atau berita dari
seseorang. Arti yang cocok dalam kaitan ini adalah tentang berita atau kabar
dari seseorang.
Dengan demikian, istilah ‘ulumul al-hadis adalah ilmu yang
berkaitan dengan masalah hadis dengan berbagai aspeknya. Pengertian ini
didasarkan atas banyaknya ragam dan macam keilmuan yang bersangkut paut dengan
hadis. Dari sinilah ulama mutaqaddimin merumuskan ilmu hadis dengan ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai
kepada Rasulullah saw.
Secara global ruang lingkup kajian ‘ulum al-hadis menyangkut dua
bagian, yaitu ilmu hadis riwayat dan ilmu hadis dirayah.
-
Ilmu hadis riwayat adalah suatu ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang datang
dari nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
ataupun yang lainnya.
Dari
pengertian itu dapat dikatakan bahwa obyek pembahasan ilmu hadis riwayat adalah
pribadi nabi Muhammad saw, dari perkataan, perbuatan, maupun ketetapan dan
sifat-sifat lainya.
-
Ilmu hadis dirayat adalah sekumpulan dari kaidah-kaidah dan masalah-masalah yang di
dalamnya dapat diketahui keadaan riwayat dan periwayat dari sisi diterima atau
ditolaknya.
Dari
definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek kajian ilmu hadis tersebut
adalah sanad, rawi, dan matan hadis. Adapun tujuan mempelajari ilmu hadis
dirayat adalah untuk mengetahui dan menetapkan diterima atau ditolaknya suatu
hadis. Kajian tersebut semakin penting karena di dalamnya merupakan kajian
historis analis atas segala perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad saw serta
ketetapannya.
Secara lengkap perkembangan kajian ilmu hadis dapat diuraikan
menjadi :
a.
Tahap pertama
Yaitu
tahap kelahiran ‘ulum al-hadis yang terjadi pada masa sahabat sampai penghujung
abad pertama hijrah. Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadis dan para
penerusnya dalam mengatasi pemalsuan hadis dengan berbagai bukti tertulis hadis
Nabi Muhammad saw. Pencarian sanad hadis dan karakteristik periwayatnya,
mengadakan perjalanan ke berbagai daerahsekedar mendengar orang yang
mendapatkan hadis langsung dari nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, tahap ini
sudah muncul sejumlah cabang ‘ulum al-hadis seperti hadis marfu’, mawquf, maqtu
dan sebagainya.
b.
Tahap kedua
Adalah
tahap penyempurnaan. Cabang-cabang keilmuan di dalam ‘ulum al-hadis telah
berdiri sendiri. Tahap ini mulai awal abad ke-2 sampai awal abad ke-3 Hijrah.
Al-Zuhri disebut sebagai peletak ‘ulum al-hadis.
c.
Tahap ketiga
Adalah
tahap pembukuan ‘ulum al-hadis secara terpisah: berlangsung abad ke-3 sampai
pertengahan abad ke-4 Hijrah. Masa ini merupakan masa keemasansebab sunnah dan
ilmu-ilmunya sudah dibukukan.
d.
Tahap keempat
Adalah
tahap penyusunan kitab-kitab induk ‘ulum al-hadis dan penyebarannya.
Pertengahan abad ke-4 sampai ke-7 Hijrah.
1.
Al- Muhaddis al-Fasil bain al-Rawi wa al-Wa’I karya Abu Muhammad
al- Rahamurmuzi
2.
Al- Kifayah fi Ilm al-Riwayah karya al-Khatib al-Bagdadi
3.
Al-Ilm fi ‘ulum al-Riwayat wa al-Sima’ karya al-Qadhi Iyadh idn
Musa al-Yashubi.
e.
Tahap kelima
Adalah
tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘ulum al-Hadis abad ke-7 sampai
abad ke-10 Hijrah. Pelopornya adalah Ibnu Salah. Keistimewaan: komprehensif,
adanya pemberiaan komentar terhadap berbagai pendapat.
f.
Tahap kebekuan dan kejumudan ( abad ke-10 sampai awal abad ke-14 )
Ijtihad
dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Lalu
lahirlah kitab-kitab ilmu hadis yang ringkas dan praktis baik dalam bentuk
syair maupun prosa.
1.
Al-Manzumat al-Baiquniyah karya Umar ibn Muhammad ibn Futuh
al-Baiquni
2.
Taudih al-Azkar karya al-San’ani
3.
Syarah Nuzhat al-Nadar karya al-Harawi
g.
Tahap kebangkitan kedua (awal abad ke-14 H)
1.
Qawaid al-Tahdis karya Jamaluddin al-Qasimi
2.
Tarikh al-Funun fi l-hadis, karya Abd al-Aziz al-Khuli
3.
Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami karya Mustafa
al-Siba’i
4.
Al-Hadis wa al-Muhaddisun karya Muhammad Abu Zahwun
5.
Al-Manhaj al-Hadis fi ‘ulum al-Hadis karya Muhammad al-Simahi.
Nama-nama yang
disandarkan pada ilmu hadits dapat bermacam-macam, namun nama yang popular
dalam pembahasan ilmu hadis yaitu ‘ulum al-Hadis dan Ilmu Dirayah. Disamping kedua
nama tersebut , dikalangan ahli hadis terdapat nama lain yang berkaitan dengan ilmu hadis yaitu ‘Ilm Usul al-Hadis, ‘llmu
Mustalah al-Hadis, ‘Ilmu Mustalah Ahl al-Asar. AL-‘Asqalani lebih memilih
istilah ‘llmu Mustalah Ahl al-Asar dan Tahir al-Jazari menyebutnya dengan
Mustalah Ahl Asar.
Ciri-ciri suatu
ilmu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan :
1.
Memiliki obyek studi yang spesifik dan eksplisit yang membedakan
dengan disiplin lain. Dari sisi ini ‘ulumul al-hadis memiliki obyek material yaitu hadis dan obyek
formalnya yaitu sanad, rawi, dan matan hadis dari sisi diteeima atu ditolaknya.
Oleh karena itu di dalam ‘Ulum al-Hadis ini ada serangkaian kaidah-kaidah yang
spesifik yang dijadikan pedoman dalam menentukan status suatu hadis beserta pemahamannya.
2.
Memiliki sistematika dan struktur keilmuan tersendiri.
Demikian
pula dengan ‘ulum al-Hadis di dalam keilmuanan tersebut adanya satuan kesatuan
keilmuan yang berada di cabangnya sehingga memungkinkan satu dengan yang
lainnya saling berhubungan. Seperti untuk menilai suatu hadis, maka perlu
pengetahuan yang cukup atas keilmuan yang menyangkut atas sanad dan matan
hadis.
3.
Memiliki metode pengembangan. Dari sisi ini , kajian ‘ulum al-Hadis
ternyata berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masanya.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam perjalanan panjang kajian ‘ulum
al-Hadis.
4.
Memiliki evisiensi empiris.
Kajian
semacam ini , membuktikan bahwa dalam matan hadis terutama yang terkait erat
dengan dunia yang terus berkembang seperti kedokteran, farmasi, dan sebagainya
dapat diakses untuk memberikan pemahaman atas hadis Nabi Muhammad saw yang
berbeda dengan pemahaman yang dilakukan oleh ulama terdahulu.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka dapat dikatakan bahwa’Ulum
al-Hadis, dapat disejajarkan sebagai ilmu pengetahuan karena telah memiliki
cici-ciri dari ilmu pengetahuan.
B.
Cabang-cabang Ulumul Hadits
a.
Pengertian Cabang - cabang Ilmu Hadits
1.
Ilmu Rijallil Hadits
Ilmu
Rijallil Hadits ialah "Ilmu yang membahas para perawi hadits-hadits, baik
dari sahabat, dari tabi'in maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya." *1
Sedangkan menurut Mudatsir dalam bukunya Ilmu Hadits, ilmu rijallil hadits ialah:
"Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadits." Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena objek kajian hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad.*
Sedangkan menurut Mudatsir dalam bukunya Ilmu Hadits, ilmu rijallil hadits ialah:
"Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadits." Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena objek kajian hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad.*
2.
Imu Jarhi Wat Ta'dil
Pada
hakikatnya ilmu jahi wat ta'dil merupakan suatu bagian dari ilmu rijallil hadits,
akan tetapi ilmu ini dipandang bagian yang terpenting, yang kemudian menjadi
ilmu yang berdiri sendiri. Dari segi bahasa berarti luka atau cacat adalah ilmu
yang mempelajari tentang kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan
kedabitannya.
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarhi dengan: "Kecacatan pada perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitannya."
Adapun at-ta'dil, yang dari segi bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), sedangkan menurut istilah berarti lawan dari al-jarh, yaitu pembersih atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit.*3
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarhi dengan: "Kecacatan pada perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitannya."
Adapun at-ta'dil, yang dari segi bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), sedangkan menurut istilah berarti lawan dari al-jarh, yaitu pembersih atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit.*3
3.
Ilmu Fannul Mubhamat
Yang dimaksud dengan ilmu ini ialah: "Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang
yang tidak disebut didalam sanad."
4.
Ilmu Tashhif Wat Tahrif
Ilmu tashhif wat tahrif adalah ilmu ilmu yang berusaha menerangkan
hadits-haditas yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushhaf). "Ilmu yang menerangkan hadits-hadits
yang sudah diubah titiknya (yang dinamai mushahhaf), dan bentuknya yang dinamai
muharraf."
5.
Ilmu Ilalil
Hadits
Kata Ilal adalah bentuk jama dari kata al-illah yang menurut bahasa
berarti "al-marrad (penyakit atau sakit), menurut ulama muhaddisis,
istilah "illlah" berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang
berakibat tercemarnya hadits, akan tetrapi yang kelihatan adalah kebaikannya,
yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
"Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusak hadits." Adapun dalam buku Mudasir: "Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati, menyebut marfu terhadap hadits mauquf, memasukkan hadits kedalam hadits lain, dan hal-hal yang seperti itu."
"Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusak hadits." Adapun dalam buku Mudasir: "Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati, menyebut marfu terhadap hadits mauquf, memasukkan hadits kedalam hadits lain, dan hal-hal yang seperti itu."
6.
Ilmu nasikh Wal
Mansukh
Yang dimaksud ilmua an-nasikh wal mansukh disini ialah terbatas
sekitar nasikh dan mansukh pada hadits. An-naskh menurut istilah menurut pendapat
ulama usul ialah "syari" mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara
dengan menggunakan dallil syary yang datang kemudian. Sedangkan menurut Endang
Soetari ilmu nasikh wal mansukh ialah ilmua yang menerngakan hadits-hadits yang
sudah diamasukkan dan menassakhkannya.
7.
Ilmu Gharibil Hadits
Menurut Ibn Salah yang dimaksud dengan gharib al hadits ialah:
"ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafadz-lafadz hadits yang jauh dan sulit dipahami, karena (lafadz-lafadz tersebut) jarang digunakan."
"ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafadz-lafadz hadits yang jauh dan sulit dipahami, karena (lafadz-lafadz tersebut) jarang digunakan."
8.
Ilmu Asbab Wurud Al Hadits
Asbab adalah jama dari sabab yang menurut ahli bahasa, asbab
diartikan dengan al-habl (tali). Yaitu yang menurut lisan al-arab berarati
saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan suatu benda
dengan benda lainnya. Adapun menurut istilah “Segala sesuatu yang mengantar pada
tujuan." Menurut Muhammad Hasbi Ash
Shiddiqy ilmu asbab wurud al hadits ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab
nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu.
9.
Ilmu Talfiqil Hadits
Ilmu talfiqil hadits ialah "Ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlainan lahirnya."
10. Ilmu
Mushthalah ahli hadits
Ilmu mushthalah ahli hadits ialah: "Ilmu yang menerangkan
pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits)."
11. Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits
Ilmu mukhtalif al-hadits ialah: "Ilmu yang membahas tentang
hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar
pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya
sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami isi dan kandungannya
dengan menghilangkan kemusyikitan atau kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya."
b.
Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1.
Ilmu Rijalil Hadits
Permulaan lahirnya ilmu hadits ini yaitu disaat para ulama menyusun
kitab riwayat ringkas para sahabat , ialah; Al Bukhary (256 H). kemudian usaha
itu dilaksanakan oleh muhammad Ibn Sa'ad (230 H). Sesudah itu bangunlah
beberapa ahli lagi. Di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibn Abdil Barr
(463 H). kitabnya bernama Al Istiab.
Pada permualaan
abad ketujuh Hijriah izzuddin Ibn Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang
telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul
Ghabah. Ibnul Atsir ini adalah saudara dari Majduddin Ibnul Atsir pengarang An
Nihayah fi Gharibil Hadits.
Kitab Izuddin diperbaiki oleh Az Dzahaby (747 H) dalam kitab At Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijriah, bangunlah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkanAl Istiab dengan usdul Ghabah dan ditambah dengna yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Kitab Izuddin diperbaiki oleh Az Dzahaby (747 H) dalam kitab At Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijriah, bangunlah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkanAl Istiab dengan usdul Ghabah dan ditambah dengna yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Kitab ini telah
diringkas oleh As Sayuthy dalam kitab Ainul Ishabah. Al Bukhary dan Muslim
telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama shahaby yang hanya
meriwayatkan suatu hadits saja yang dinamai Wudhdan
2.
Ilmu Jarhi wat Ta'dil
Menurut keterangan Ibn Ady (365 H) dalam muqadimah kitabnya Al
kamil, para ahli telah membahas keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman
sahabat. Di antara para sahabat yang membahas keadaan para perawi hadits ialah
Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibn Shamit (34 H) dan Anas ibn Malik (94 H).
Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dicela. Mulai abad kedua barulah banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakala karena mengirsalkan hadits, adakala karena me-rafakan hadits, yang sebenarnya mauquf, dan adakala karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, semisal Abu Harun Al'Abdary (143 H).
Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dicela. Mulai abad kedua barulah banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakala karena mengirsalkan hadits, adakala karena me-rafakan hadits, yang sebenarnya mauquf, dan adakala karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, semisal Abu Harun Al'Abdary (143 H).
Sesudah
berakhir masa tabiin, yaitu kira-kira pada tahun 150 H, bergeraklah para ahli
memperkatakan keadaan-keadaan perawi, menta'dil dan mentajrihkan mereka. Maka di antara ulama besar yang memberikan
perhatian pada urusan ini, ialah Yahya ibn Sa'id Al Qaththan (189 H), dan
Abdurrahman ibn Mahdy (198 H).
Sesudah itu barulah barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan ta'dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak. Dan setelah itu tereus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada ibn Hajar Al Asqalany (852 H).
Sesudah itu barulah barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan ta'dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak. Dan setelah itu tereus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada ibn Hajar Al Asqalany (852 H).
3.
Ilmu Fannul Mubhamat
Di antara yang menyusun kitab ini, Al Khatib Al Baghdady. Kitab Al
Khatib itu diringkaskan dan dibersihkan oleh An Nawawy dalam kitab Al Isyarat
ila bayani asmail Mubhamat. Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhary
diterangkan dengan selengkapnya oleh ibn Hajar Al Asqalany dalam Hidayatus Sari
Muqaddamah Fathul Bari.
4.
Ilmu Tashhif wat Tahrif
Di antara kitab yang menerangkan ilmu ini, ialah kitab Ad
Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al
Askary (283 H).
5.
Ilmu Ilalil Hadits
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan kesahihan hadits. Tak dapat
diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai
pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai
malakah yang kuat terhadap sanad dan matan hadits.
Di antara ulama yang menulis ilmu ini, ialah: Ibnul Madiny (234 H),
IbnI Abi Hatim (327 H),. Kitab beliau ini sangat baiknya dinamai Kitab Ilalil
hadits. Dan diantara yang menulis kitab ini pula, Al Imam Muslim (261 H), Ad
Daraquthny (375 H) dan Muhammad ibn Abdillah Al Hakim.
6.
Ilmu Gharibil Hadits
Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu
Ubaidah Ma'mar ibn Al Mutsanna (210 H). kemudian usaha itu diluaskan lagi oleh
Abdul Hasan Ala Maziny (204 H). Di awal abad ketiga Hijriah berusahalah Abu Ubaid Al Qasim ibn
Sallam (224 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu Gharibil Hadits, yang
diusahakan dalam tempo 40 tahun. Maka dengan
terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari kata-kata yang gharib.
Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli sehingga sampai kepada masa Al
Khaththaby (378 H). beliau menulis kitabnya yang terkenal. Dan setelah selesai
kitabnya itu, terdapatlah tiga induk kitab dari segala kitab Ghariebil Hadits.
Kemudian Abu Ubaid Ahmad ibn Al Harawy (40 H) menusun kitabnya dengan
mengumpulkan antara Ghariebiil Qur'an dan Ghariebil Hadits. Sesudah itu berusaha pula Az Zumakhsyary menyusun kitabnya yang
dinamai Al Faiq. Kitab ini tinggi nilainya, disusun setiap abjad.
Sesudah itu
bangun pula Abu Bakar Al Ashbahany (581 H), menyusun kitabnya dengan mengikuti
sistem Al Hawary. Sesudah itu datanglah Ibnul Atsier (606 H) lalu menyusun
kitabnya An Nihayahb. Kitab inilah sebesar-besar kitab Ghariebil Hdits yang
terdapat dalam masyarakat Islam. Kitab ini di ikhtisyarkan oleh As Sayuthy (911
H) dalam kitabnya yang dinamai As Durrun Natsier.
Kiranya, kitab An Nihayah ini mencukupi bagi seseorang didalam mempelajari kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-matan hadits.
Kiranya, kitab An Nihayah ini mencukupi bagi seseorang didalam mempelajari kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-matan hadits.
7.
Ilmu Nasikh wal Mansukh
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasikh dan mansukh ini.
Di antaranya, Ahmad ibn Ishaq Ad Dienary (318 H), Muhammad ibn Bahar Al
ashbahany (322 H), Ahmad ibn Muhammad An Nahhas (338 H). dan seudah beberapa
uloama lagi menyusunnya, datanglah Muhammad ibn Musa Al Hazimy (584 H) menyusun
kitabnya, yang dinamai Al I'tibar. Kitab ini mudah diperoleh, kitab ini telah
diringkaskan oleh Ibnul Abdil Haq (744 H).
8.
Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Ulama yang mula-mula menyusub kitab ini, yang ada kitabnya dalam
masyarakat, ialah Abu Hafash Umar ibn Muhammad ibn Raja Al Ukbary, dari murid
Ahmad (309 H). Dan kemudian ditulis pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang
terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husainy (1120 H), dalam kitabnya Al Bayan
wat Ta'rif yang telah dicetak dalam tahun 1329 H.
9.
Ilmu Talfiqil Hadits
Di antara ulama yang telah berusaha menyusun ilmu ini, ialah: Al
Imamusy Syafi'y (204 H), Ibnu Khutaibah (276 H), Ath Thahawy (321 H) dan Ibnul
Jauzy (597 H). kitabnya bernama At Tahqiq. Kitab ini sudah disyarahkan oleh Al
ustadz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
10.
Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Ilmu ini yang mula-mula mengusahakannya ialah Abu Muhammad Ar
Ramaharmuzy (360 H). kitab ini boleh dikatakan hampir lengkap isinya. Sesudah
itu barulah para ulama meluaskan gelanggang ilmu ini. Yang mula-mula
mengusahakannya, Al Hakim Muhammad ibn Abdillah An Naisabury.
Ulama-ulama yang datang sesudahnya, boleh dikatakan berpegang kepada kitab-kitabnya. Sesudah itu datang Al Hafidz Ibn Shalah (463 H) menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Muqaddamah ibn Shalah. Kitab ini mendapat sambutan hangat dari ulama. Ada ulama yang membantahnya. Ada ulama yang mempertahankan isinya. Ada yang menadhamkannya. Ada yang mengihktisarkannya. Ada yang mensyarahkannya. Ada yang membantah sedikit-sedikit isinya.
Ulama-ulama yang datang sesudahnya, boleh dikatakan berpegang kepada kitab-kitabnya. Sesudah itu datang Al Hafidz Ibn Shalah (463 H) menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Muqaddamah ibn Shalah. Kitab ini mendapat sambutan hangat dari ulama. Ada ulama yang membantahnya. Ada ulama yang mempertahankan isinya. Ada yang menadhamkannya. Ada yang mengihktisarkannya. Ada yang mensyarahkannya. Ada yang membantah sedikit-sedikit isinya.
Di antara yang
memukhtasarkannya, An Nawawy (676 H) dalam kitabnya Al Irsyad. Kemudian di
ikhtisharkan lagi mukthasharnya itu kedalam kitab At Taqrieb. At Taqrieb ini
telah diayarahkan oleh As Sayuthy dalam kitab Tadriebur Rawi. Zainuddin Al Iraqy (805 H) menadhamkan kitab
ibnush Shalah dengan memberi beberapa tambahan dalam seribu baris. Kitab ini
diselesaikan pada tahun 768 H dan disayarahkan dengan sebuah kitab yang dinamai
Fathul Mughits yang selesai dikerjakan pada tahun 771 H. kitab ini kemudian
diberi komentar oleh Al Biqay (855 H) dalam kitabnya yang dinamai An Nukatul
Waiyah. Di
antara kitab-kitab ringkas yang mengenai ilmu ini, ialah Nukhbatul Fikar dan
syarahnya Nuzhatunnadhar, susunan Al Asqalany yang telah disyarahkan lagi oleh
bnyak ulama yang datang sesudahnya. Di antara kitab
Musthalah yang tinggi nilainya, ialah Taujihun Nadhar Fi Ushullil Atsar
karangan Asy Syaikh Thahir Al Jazairy dan Qawaidul Tahdiets karangan Allamah
Jamalluddien Al Qasimy.
C.
Urgensi Ulumul Hadits
Urgensi merupakan keutamaan belajar ulumul
hadits. Keutamaannya antara lain :
- Memelihara sunnah shahih (yang benar)
- Mencegah pemalsuan sunnah
- Menjalankan agama yang benar
- Meminimalisir ikhtilaf (perbedaan)
- Untuk mengetahui hadits tersebut berasal dari rosullullah atau tidak.
- Untuk menilai periwayat yang terlibat dalam suatu hadits sehingga dapat diketahui apakah hadits itu shahih atau tidak.
- Memberikan kemantaban dalam beramal.
- Mempermudah dalam melaksanakan kontekstualisasi hadits dan menentukan kapan hadits itu dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual.
D. Struktur Hadits
1.
Sanad
Sanad secara bahasa dapat diartikan dengan sandaran atau sesuatu
yang di jadikan sandaran. Sedangkan
menurut istilah sebagaimana diungkap oleh al-Badr Ibd al-Jama’ah dan al-Tibby,
keduanya mengatakan bahwa sanad adalah pemberitaan tentang munculnya suatu matan
hadis. Sedangkan ulama lain memberi pengertian yaitu silsilah atau rentetan
para periwayat yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama. Dengan
demikian dapat dikatakan sanad adalah jalan yang menghubungkan matan hadis
kepada nabi Muhammad saw. Pentingnya sanad dalam kajian hadits dapat diliht
dari ungkapan Ibnu Sirin yang mengsejajarkan sanad dengan agama. Sanad,
memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Sebuah hadits dapat memiliki
beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya,
lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan
penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal
ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu
dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Ø Keutuhan sanadnya
Ø Jumlahnya
Ø Perawi akhirnya
2. Rawi
(Periwayat)
Periwayat (Rawi)
hadits adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalm suatu kitab
apa yang pernah diteranya dari seorang gurunya. Periwayat hadits dapat disebut
juga dengan orang yang memberitakan suatu hadits atau meriwayatkannya.
3. Matan
Matan menurut
bahasa adalah punggung jalan, tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan dalam
istilah hadits matan adalah sabda nabi yang disebut setelah sanad atau
penghubung sanad atau materi hadits atau dapat disebut dengan teks hadits.
Terkait dengan matan atau redaksi,
maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
· Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah
berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
· Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya
dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang
bertolak belakang).
DAFTAR PUSTAKA
·
Muhsin Imam
M.Ag, dkk.Al-Hadis.2005.Yogyakarta :POKJA AKADEMIK.
·
Ash-shalih Subhi.Membahas
Ilmu-ilmu Hadis.1995.Jakarta:Pustaka Firdaus.
·
Mujio, Drs.’Ulum
Al-Hadis.1994.Bandung:PTRemaja Rosdakarya.
·
Nieujik.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menerima Kritik Dan Saran