Translate

Selasa, 13 Maret 2012

Ilmu Tauhid

ILMU TAUHID

A.   Eksistensi Allah

Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi.? Dia menyeru kamu (untuk beriman) agar Dia mengampuni dosa-dosamu dan menangguhkan-(siksaan)mu sampai waktu yang di tentukan?” Mereka berkata, “kamu hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu ingin menghalangi kami (menyembah) apa yang dari dahulu disembah nenek moyang kami. Karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Qs. Ibrahim:10)

Percaya adanya Allah adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Karena sesungguhnya percaya adanya Allah merupakan bagian dari rukun iman yang pertamakali diimani dari keenam rukun iman lainnya. Maka dari itu, bilamana seseorang bisa dikatakan dia muslim, tapi tidak ada rasa iman atau percaya akan adanya rukun iman yang enam itu?. Maka, tentunya Orang muslim sudah pasti dia juga mu’min. Namun, bisa jadi tidak sebaliknya. Orang yang mu’min (hanya percaya adanya Allah, malaikat, kitab suci, Rasul-rasul) belum tentu disebut muslim. Boleh jadi hal itu merupakan bagian dari golongan orang-orang atheis.

Nah, untuk itu, kita sebagai orang islam dan tentu saja orang yang beriman, dan agar itu tidak hanya sebagai rasa kepercayaan di hati saja, kiranya kita juga wajib menyibak rahasia dibalik kebenaran-kebenaran adanya Allah itu dengan pengkajian-pengkajian ilmu Allah, baik yang tertulis maupun tersurat dari apa yang Allah ciptakan di alam semesta ini.

Wujud (adanya) Allah

“Allahlah yang menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya”

Nikmat yang paling besar yang di berikan Allah kepada manusia adalah diberikannya akal yang mampu berfikir melebihi dari mahluk-mahluk lainnya. Maka kiranya, sebagai orang yang mampu menghargai akal-fikiran, kita tak akan pernah mau untuk tidak mengunakannya dalam berfikir pada perspektif yang benar. Dan itu termasuk dari memikirkan akan kebesaran-kebesaran Allah swt.

Mencari bukti akan adanya Allah, merupakan pangkal dari soal-soal lainnya, disisi lain seperti tentang masalah keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Sebagaimana hal ini merupakan sesuatu yang serius yang menjadi kajian para cerdik cendikia muslim, baik aliran-aliran ilmu kalam, maupun filosof-filosof islam.

Untuk itu, kesadaran adalah masalah yang harus dijaga sehubungan seorang hamba yang sedang bergejolak ingin mengetahui dan membuktikan wujud penciptanya. Karena dengan kesadaran diri seseorang itulah yang mampu mengantarkannya menemukan suatu eksistensi yang besar yang berkaitan dengan wujud dirinya dan yang mengatur alam semesta.





Dalam mengartikan wujud Allah adalah bukan berarti kita memaknainya sebagaimana keadaan yang kita inginkan. Bukan berarti wujud Allah itu langsung dapat di indra. Melainkan, wujud Allah adalah kepastian adanya Allah. Allah pasti ada. Dan bukti bahwa Allah ada, adalah wujudnya mahluk dan alam semesta. Maka, kalau Allah tidak ada, tentu semua mahluk dan alam semesta pasti tidak ada pula. Sebagaimana firmannya: “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Dan untuk mengaris bawahi wujud Allah swt. yang dapat dibuktikan melalui ciptaan dan perbuatan-Nya, Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan: “Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku ingin di kenal, maka Ku ciptakan mahluk agar mereka mengenal-Ku.” Maka, oleh karenanya, setiap orang muslin wajib mengetahui dengan jelas sifat-sifat yang wajib bagi Allah, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat yang menjadi kehendak-Nya.

Sifat wajibnya Allah atau sifat yang pasti bagi Allah dikelompokkan menjadi empat bagian:
1.      Sifat Nafsiyyah, yaitu sifat yang berhubungan dengan dzat Allah swt. Dan sifat yang tergolong dalam kelompok ini adalah sifat al-Wujud (ada).
2.      Sifat Salbiyyah, yaitu sifat Allah yang menolak sifat-sifat yang tidak sesuai atau tidak layak bagi Allah swt. adapun sifat yang tergolong dalam kelompok ini adalah:
Ø  al-Qidam (dahulu),
Ø  al-Baqa’ (kekal),
Ø  al-Mukhallafatu lil hawadisi (berbeda dari mahluk),
Ø  al-Qiyamuhu binafsihi (mandiri),
Ø  al-Wahdaniyyah (esa).
3.      Sifat Ma’ani, yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia, serta dapat meyakinkan orang lain, lantaran kebenarannya dapat dibuktikan dengan panca indra. Dan sifat yang termasuk kelompok ini adalah:
Ø  al-Qudrah (mampu),
Ø  al-Iradah (bebas),
Ø  al-Ilmu (tahu),
Ø  al-Hayah (hidup),
Ø  al-Sam’u (mendengar),
Ø  al-Basar (melihat),
Ø  al-Kalam (berfirman).
4.      Sifat Ma’nawiyyah, yaitu sifat-sifat yang berhubungan dengan sifat-sifat ma’ani, atau keaktifan sifat-sifat tujuh diatas. Termasuk kelompok ini adalah:
Ø  Kaunuhu Qadiran (sungguh zat yang mampu)
Ø  Kaunuhu Muridan (sungguh zat yang bebas)
Ø  Kaunuhu Aliman (sungguh zat yang tahu)
Ø  Kaunuhu Hayyan (sungguh zat yanghidup)
Ø  Kaunuhu Sami’an (sungguh zat yang mendengar)
Ø  Kaunuhu Bashiran (sungguh zat yang melihat)
Ø  Kaunuhu Mutakalliman (sungguh zat yang berbicara).

Dalam kajian ilmuTauhid, sifat disini hanyalah sebagai sesuatu yang menempel pada zat, maka oleh karenanya, tidak bisa di ungkapkan zat itu sama dengan sifat. Dan sifat Allah itu lah yang menempel pada zat Allah. Bukan kok zat Allah ya sifat Allah itu.



 Dan kiranya jika kita masih sulit untuk mengenali eksistensi Allah melalui sifat wajibnya, maka kita bisa mengenali-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya. Yaitu:


§  al-Adam (tidak ada)
§  al-Hadas (baru)
§  al-Fana’ (sirna)
§  al-Mumasalatuhu lilhawadisi (sama seperti mahluk)
§  al-Ihtiyajuhu li ghoiri (butuh pada yang lain)
§  al-Ta’adud (berbilang/lebih dari satu)
§  al-Ajzu (lemah)
§  al-Ikrahah (dipaksa)
§  al-Jahlu (bodoh)
§  al-Mautu (mati)
§  al-Syamamu (tuna rungu)
§  al-‘Ama (tuna netra)
§  al-Bukmu (tuna wicara)
§  Kaunuhu Ajizan (ada-Nya lemah)
§  Kaunuhu Mukrahan (ada-Nya dipaksa)
§  Kaunuhu Jahilan (ada-Nya bodoh)
§  Kaunuhu Mayyitan (ada-Nya mati)
§  Kaunuhu Asyamma (ada-Nya tuna rungu)
§  Kaunuhu A’ma (ada-Nya tuna netra)
§  Kaunuhu Abkama (ada-Nya tuna wicara).



Demikianlah kiranya cara yang mungkin bisa kita lakukan dalam menemukan dan mengenali wujud adanya Allah swt. dengan membandingkan sifat-sifat yang wajib dengan yang mustahil.

Pembuktian eksistensi Allah

“Allah pun bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Dia”

Dalil yang digunakan dalam mencari bukti adanya Allah dalam ilmu tauhid adalah:
1.      Dalil Aqli, yaitu dalil atau bukti yang dapat diterima oleh akal pikiran yang sehat(ratio).
2.      Dalil Naqli, yaitu dalil yang berupa firman Allah dan sabda Nabi (al-Quran dan as-Sunnah).

Meski banyak langkah dalam menunjukkan adanya jejak-jejak atas sifat-sifat dan sifat-sifat atas zat Allah, namun menurut Mulla Shadra, ada dua metode yang di anggapnya paling baik:
 Pertama, Mengenal diri kemanusiaan. Artinya, mengenali unsur-unsur terbentuknya wujud diri. Secara jasmaniahnya (materi) dan rohaniahnya (nafs). “Dan dibumi terdapat tanda-tanda  (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) didalam dirimu sendiri, tidakkah kalian memperhatikan?” (Qs.al-Zariyat:20-21).
 Kedua,  Memperhatikan cakrawala dan diri sendiri. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami dicakrawala dan didalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa apa yang dijelaskan al-Qur’an tentang Allah adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Qs. fussilat: 53).

Jadi, dapat kita simpulkan bahwasannya, dengan kita melihat wujud kita dan di ciptakannya alam semesta, kita akan bisa menemukan eksistensi Allah swt. Mulla shadra menambahkan, eksistensi Allah adalah eksisitensi itu sendiri dan tanpa campuran dan tidak berbilang. Karena wujud Allah adalah wajibul wujud atau pasti adanya. Dan eksistensi-Nya adalah eksistensi semua yang berwujud dan Dia adalah hakikat yang paling murni tanpa ada campuran.segala sesuatu yang wujud tak lepas dari pantauan-Nya, yang besar maupun yang kecil. “Dan jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang selain Allah. Tidak ada Tuhan yang berhak di sembah selain Dia. segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. Segala keputusan menjadi wewenangnya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan” (Qs. Al-Qasas: 88).


Meskipun secara indrawi, kita tidak pernah melihat secara langsung bentuk eksistensi dzatiyyah Allah, namun kepercayaan kita membenarkan wujud ada-Nya. Dan hal ini bisa dibuktikan dengan wujud adanya kita dan alam semesta. “Allah lah dzat yang menciptakan langit dan bumi serta apa saja yang ada diantara keduanya”.

            namun, bilamana orang tahu eksistensi Allah sedang saat itu al-Qur’an belum diturunkan?.

Sebelum lahirnya Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw. Sudah begitu banyak ahli-ahli fikir (filsuf) yang dengan akal dan fikiran mereka dapat membenarkan adanya Allah dengan berbagai cara. Ada 4 cara yang mereka yakini untuk dapat menemukan dan mempercayai adanya Allah:

1.    Teori metafisik, teori yang berdasarkan pada pembenaran rasio.
Menurut akal, alam yang maha luas yang terdiri dari bumi, bulan, matahari dan berjuta-juta bintang, tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Jangankan bumi dan matahari yang begitu besar, seekor nyamuk yang kecil dan sehelai bulu rambutpun tidak akan mungkin terjadi dengan sendirinya saja. Pasti ada yang menjadikan atau menciptakan yaitu Tuhan.

2.    Teori fisik, teori yang terdiri dari wujud alam.
            Teori ini dapat dibuktikan dari pengamatan benda-benda yang mengalami pergantian keadaan yang bemacam-macam, baik bentuk, warna, gerak, berkembang dan perubahan-perubahan lainnya. Yang tiada lain mereka yakini bahwa itu semua pasti ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan.

3.    Teori Teleologi, teori yang diambil dari susunan dan keindahan alam.
Dari banyaknya pengamatan yang telah mereka lakukan dengan melihat susunan alam raya yang begitu stabil dan kondusif, begitu bagus nan indah. Tentunya semua itu ada yang mengatur perjalanannya. Dan itu pasti Tuhan.

4.      Teori Moral, teori yang di ambil melalui bentuk tingkah laku atau akhlak.
Perubahan sikap individu yang terjadi di suatu wilayah tertentu nampak begitu membuktikan bahwa selain mahluk diberi kebebasan bergerak dalam langkahnya menun mereka juga masih memiliki sikap ketidak stabilan yang boleh jadi datang dari faktor lingkungannya. Diantara manusia ada yang hidup senang, ada kesedihan, ada kejayaan, ada penindasan, ada kebaikan dan ada keburukan, dan itu semua pasti ada yang mengendalikannya. Siapa lagi kalau bukan Tuhan.

“Allah, tiada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Miliknya apa yang dilangit dan apa yang di bumi, tidak ada yang memberi syafaat disisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada dihadapan mereka dan apa yang ada dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apapun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduannya, dan Dia maha tinggi lagi maha besar.”(Qs.al-Baqarah:255)



B.  Kemaha Esaan Allah

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa”. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Qs. Al-Ihlas: 1-4)

Setelah mengkaji dalam mengetahui dan membuktikan wujud adanya Allah, membahas kemaha esaan-Nya merupakan langkah wajib pula yang juga harus kita imani. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, didalam al-Qur’an dikemukakan tiga pokok bukti kemaha Esaan Allah, yaitu:
1.      Kenyataan wujud yang tampak.
2.      Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3.      Dalil-dalil logika.
Keesaan Allah disini maksudnya adalah keesaan dalam kemestian Allah. Untuk itu dalam mengkaji masalah keesaan Allah kita tak lepas dari meliput eksistensi Allah. Karena wujud dan esanya Allah adalah sesuatu yang tak mungkin dipisahkan.

1.        Kenyataan wujud yang tampak.

Dalam hal ini, al-Qur’an mengunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya keberadaan alam raya ini. Allah selalu memperingatkan manusia untuk melakukan Nazhar, fikr, dan berjalan dipermukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang  mewujudkan, yaitu Allah Yang Maha Esa. “Maka tidakkah mereka melihat unta bagaimana ia diciptakan?. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (Qs. Al-Ghasyiyah: 17-20).
Diuraikannya pula tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya. Sebagaimana dalam Qs. Qaf: 6-8. “tidakkah mereka melihat ke langit diatas mereka, bagaiman Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?. Dan Kami hamparkan bumi serta kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Itu semua untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada-Nya)”

“Allahlah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, maka tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?. Kemudian, pandanglah sekali lagi, maka niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu  tanpa menemukan cacat dan penglihatanmu pun dalam keadaan payah.” (Qs. Al-Mulk:3-4)

2.        Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an misalnya mengingatkan manusia, sebagaimana dalam Qs. Yunus: 22. “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan berlayar di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya. (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo’a kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

3.        Dalil-dalil logika

Begitu banyak ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliyah tentang keesaan Allah, antara lain: “Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-An’am: 101)
“seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa.” (Qs. Al-Anbiya’: 22)

jadi, seandainya ada dua pencipta, maka akan kacaulah segala ciptaan. Karena  masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lainnya dan Saling mengalahkan. Maka, yang kalah bukanlah Tuhan, karena Tuhan itu tak tertandingi oleh selainnya, mahluk. Begitupun bila kok kedua Tuhan itu saling bersepakat, maka itu bukti kebutuhan dan kelemahan mereka. Sedang Tuhan itu bersifat mandiri. Tuhan tidaklah mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu.

Macam-macam keEsaan

“Tuhanmu adalah Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain Dia, Dialah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 163)

Keesaan Allah meliputi empat bagian, yang antara lain adalah:
1.      Keesaan Zat-Nya.
2.      Keesaan Sifat.
3.      Keesaan Perbuatan.
4.      Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

1.        Keesaan Zat-Nya.

Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya kepada Allah swt. yang tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian. Karena, bila Zat Yang Maha Kuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih –betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- maka, berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain, unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya.

Allah tidak membutuhkan semua unsur atau bagian itu, karena itu adalah muhal bagi Allah. “wahai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah, dan Allah Maha Kaya tidak membutuhkan sesuatu dan Dia Maha Terpuji” (Qs. Al-Fatir: 15). Allah adalah segala sumber sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu apapun. “Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Al-Syura: 11). Ayat ini memberi penegasan bahwasannya, yang serupa dengan Allah pun tidak ada, apalagi yang sama dengan-Nya. Baik secara faktual maupun imajinatif.

2.        Ke Esaan sifat-Nya.

Mengandung pengertian bahwa Allah swt memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat mahluk. Walaupun dalam segi bahasa, kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut itu sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah. Tapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang mahluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat mahluk-Nya.

3.        Ke Esaan perbuatan-Nya.

Mengandung arti bahwa, segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerja maupun sebab dan wujudnya, kesemuannya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang di kehendaki-Nya, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, tidak akan terjadi.
Tiada daya (untuk memperoleh manfaat), tiada pula kekuatan (untuk menolak madharat), kecuali bersumber dari pada-Nya. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah swt. berlaku sewenang-wenang, atau bekerja tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya.

Dalam mewujudkan kehendak-Nya, Allah tidak membutuhkan apapun. “sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata, “jadilah!” maka jadilah ia.” (Qs. Yasin: 82). Tetapi ini bukan berarti juga bahwa Allah membutuhkan kata “jadilah”. Dan ayat ini hanya bermaksud mengambarkanbahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu, Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa esgala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai kehendak-Nya.

4.        Ke Esaan dalam beribadah kepada-Nya.

Setelah kita meyakini ketiga keesaan tersebut, maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan itu. Mengesakan Allah dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (wajib) maupun selain itu. Sebagaiman tergambar dalam Qs. Al-An’am: 162 “katakanlah, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, (semuanya) demi karena Allah, Pemelihara seluruh alam.”

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuaannya bernilai ibadah kepada Allah swt. dan jiwanya tak akan mudah tergoyahkan oleh keadaan yang ditemuinya. Karena “orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengigat Allah. Ingatlah! Dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. Al-Ra’d: 28).

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam itu, ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Qs. Yusuf: 39)

KESIMPULAN

Adanya manusia dan terciptanya alam semesta adalah bukti adanya Allah, Sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana bisa hati kita masih di bumbui rasa keraguan akan eksistensi dan kemaha Esaan-Nya, bila kita dengan akal-fikiran kita mau mencari kebenaran itu dengan baik.  “apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Qs. Ibrahim: 10).

Meskipun entitas mahluk adalah merupakan eksistensi wujud Allah, namun Allah bukanlah mahluk, bukan zat yang terdiri dari unsur-unsur materi dan bilangan. Semua mahluk adalah baru, sedang Allah adalah Dzat Yang Maha Dahulu lagi Maha Abadi. Semua mahluk memiliki batas, namun Allah adalah Dzat Yang Maha Bebas Tanpa Batas lagi Maha Mandiri. “adakah yang mengadakan dapat disamakan dengan yang tidak mengadakan? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata,”ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat Engkau”. Allah berfirman:”Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu akan dapat melihat-Ku. Dan tatkala Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, maka gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”

            Bukan derajat kita, bila kita mengharapkan bukti wujudnya Allah sebagaimana yang di kisahkan dalam al-Qur’an. Setingkat Para Nabi dan Rasul pun tak mampu di melihat dikala Allah hendak memperlihatkan wujud-Nya. Karena merea dapat berbicara dengan Allah pun melalui banyak hijab-hijab. Itulah kita mahluk ciptaan yang lemah dan banyak keterbatasan. Maka, oleh karena, dengan bisa merenungkan akan keindahan dan kuasa-Nya itu merupakan suatu kenikmatan yang tak lagi terkirakan.



















DAFTAR PUSTAKA

1.        Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya.
2.        Al-Aqqad, Mahmud, Abbas, “Tuhan disegala zaman”: Pustaka firdaus, 1991
3.        Al-Marzuqy, Ahmad, “Terjemah dan syarah Aqidatul Awam”: al-Hidayah.
4.        Arifin, Bey,”Mengenal Tuhan”: PT. Bina ilmu,1994
5.        Hanafi, A, “Theology Islam (ilmu kalam)”: N.V. Bulan Bintang:1982
6.        Shadra, Mulla, “Teosifi Islam”: Pustaka Hidayah, Bandung, 2005
7.        Shihab, Quraish, M, “wawasan al-Qur’an: tafsir tematikatas pelbagai persoalan umat”: Mizan pustaka, 2007.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menerima Kritik Dan Saran